"Bismillah, laris manis, tanjung kimpul. Penumpang berbaris, duit kumpul."
Abah mengibaskan handuk birunya ke pintu dan kemudi angkot. Aku tersenyum lalu mengambil posisi duduk di dekat pintu.
Abah mengawasi lalu lintas. Bola matanya menatap ke arah depan dan spion angkot bergantian. Setelah dirasa sepi, Ayah Wulan segera membelokkan kemudi. Angkot kembali melewati rute yang sama menuju terminal Bojong Gede.
Angkot menjauh dari Pasar Anyar. Kerumunan orang terlihat semakin kecil seperti semut. Ah, lelahnya. Sepertinya baru kali ini aku merasakan bekerja dengan keras.
"Ali …."
"Busyeet, ini anak ngelamun aja!"
Aku menoleh, Abah menatapku dari spion di hadapannya yang menghadap ke arah penumpang.
"Apa, Bah?"
"Yaelah, dia lupa!"
Aku mengernyitkan alis. Menatap Abah tanpa rasa bersalah.
"Tereak Ali, cari penumpang!" perintah Abah lagi.
"Ahh, iya, Bojong Gede … Bojong Gede."
Beberapa kali aku berteriak, sekadar menuruti perintah Abah, lalu kembali diam menatap lalu lintas di luar angkot. Orang-orang berjalan hilir mudik memenuhi jalanan.
Hal yang aneh bukan? Bukankah di bagian depan angkot sudah diberi kode, menandakan kemana tujuan angkot ini? Tak perlu berteriak pun, yang ingin naik, pasti akan naik angkot ini. Jika mereka tak ingin naik sekeras apa pun aku berteriak takkan ada yang menaiki angkot Abah.
Hari yang terik dan sangat sialan bagiku.
Kerongkongan terasa kering. Terik matahari membuatku dehidrasi. Es kelapa muda di pinggir jalan terlihat begitu menyegarkan.
Melewati rute perjalanan pulang tak banyak penumpang yang menaiki angkot Abah. Seorang lelaki paruh baya, dan dua orang remaja mengenakan seragam putih biru turun setiba di Terminal Bojong Gede . Mereka mengulurkan selembar uang dua ribuan.
Angkot telah kosong. Tinggal aku seorang menatap lembaran uang tadi.
"Alhamdulilah, sampai juga. Sekarang kita pulang dah," ucap Abah.
Dari kejauhan tampak Wulan berjalan mendekat ke arah angkot kami terparkir. Di tangan kanannya menenteng kresek hitam.
Refleks dua sudut bibirku terangkat naik. Eh, kenapa aku tersenyum? Senangkah aku melihat gadis cempreng itu? Ada apa denganku? Cepat-cepat aku menurunkan dua sudut bibir.
Dua orang lelaki terlihat menghadang langkah Wulan. Firasatku mengatakan akan ada yang terjadi. Aku segera berjalan dengan cepat menuju gadis cempreng itu.
"Ali, mau ke mana elu?" tanya Abah.
Tak ada waktu menjawab pertanyaan dari Abah. Aku harus segera menolong Wulan. Kaki terayun lebih cepat. Aku berlari mendekat pada gadis bersuara cempreng itu.
"Mau ke mana cantik?"
Dari jarakku berdiri dapat kudengar lelaki yang berambut gondrong mendekat, ia berusaha memegang pipi Wulan, menggodanya. Wulan mundur selangkah. Menjauhkan wajah dari jari telunjuk si lelaki berambut gondrong.
"Temani Abang, dulu di sini, yuk!"
Kini giliran lelaki dengan tato di lengan kiri dan kanannya itu mendekat. Ia menatap Wulan dari atas sampai ke bawah. Bagaikan tatapan liar seekor singa yang akan memangsa buruan. Aku risih.
"Jauhi gadis itu!" perintahku dengan suara tegas.
Kedua lelaki yang menghadang langkah Wulan segera berbalik badan. Menatap dengan mata berkilat tajam.
"Anak bau kencur, berani ikut campur urusan kami?" sergah lelaki berambut gondrong. Warna kulitnya cokelat gelap, terlalu sering berjemur di bawah terik matahari sepertinya.
"Kuperingatkan sekali lagi, menyingkir dari gadis itu!" pekikku lantang.
"Kalo kita gak mau, loe mau apa?"
Lelaki bertato di kedua lengannya itu mendorongku mundur dengan keras. Aku terjerembab, jatuh di atas aspal hitam.
"Kurang ajar!" pekikku.
Entah dari mana datangnya keberanian dalam diri. Aku bangkit dan membalas dorongan dari lelaki bertato. Lelaki itu tersenyum menyeringai. Ia meludah, "Cih, mau ngelawan?"
"Hentikaan, Ali. Jangan ladeni mereka," teriak Wulan. Gadis itu berlari ke arahku, berusaha memegangi tangan. Aku menoleh ke arah Wulan, "Tenanglah."
Lelaki gondrong mengarahkan tinju ke arah wajah. Tepat mengenai bibir bagian kanan bawah. Aku tak siap, kembali terjatuh. Kepala terasa berat, pandangan berputar-putar.
"Berani ngelawan kami? Rasakan itu!"
Saat aku mendongak menatap si lelaki gondrong. Wajahnya berubah, lebih tampan dengan rambut cepak. Dalam pandanganku lelaki itu mengenakan jas berwarna hitam, dan celana jeans berwarna biru. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Memperjelas pandangan.
"Si-siapa kamu?" ucapku dengan terbata. Berusaha mengingat-ingat kejadian yang sama seperti ini.
Pandanganku masih berputar. Ah, pusing sekali rasanya. Sepertinya aku pernah mengalami kejadian ini. Siapa dia?
"Aku malaikat pencabut nyawamu!"
Sebuah tendangan melesat tepat ke perutku. Sial. Aku memegangi perut.
"Hentikaaan, tolooong!"
"Tolong."
Wulan histeris, ia berteriak meminta pertolongan pada orang-orang di sekitar kami.
"Ali, loe gak kenapa-kenapa, 'kan?"
Abah tiba-tiba telah berdiri di belakangku, segera berjongkok. Lalu membantuku berdiri memapah tubuh menjauh dari kedua preman pasar. Orang-orang mulai datang berkerumun. Mengamankan kedua lelaki tadi.
"Ali, Abang, gak kenapa-kenapa, 'kan?"
Abang? Apa aku tak salah dengar? Ini pertama kalinya si cempreng itu memanggilku Abang. Wulan mendekat wajahnya tampak cemas dan khawatir. Matanya berkaca-kaca, tampak akan menangis.
Aku menatap kembali pada kedua lelaki yang memukuliku. Wajah siapa yang kulihat tadi?
Aku merasa pernah merasakan kejadian seperti ini.
"Awas loe bocah ingusan!" ancam lelaki bertato yang menjauh pergi. Matanya melotot tajam ke arahku.
"Sudah jangan diladeni," kata Abah.
Abah memapahku menuju angkotnya. Wulan berjalan di sampingku. Menatap dengan penuh iba dan khawatir.
"Loe, duduk depan."
Abah membuka pintu mobil di samping kemudi. Aku berusaha naik perlahan. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi.
"Dasar Koala, sekalinya kerja aja digebukin orang," sungutnya.
Aku menatap pantulan wajah Wulan padda kaca spion di depan Abah. Wulan naik ke dalam angkot, duduk di belakang tempat Abah mengemudi. Menatapku dari belakang. Ia tak sadar aku mengamatinya lewat kaca spion. Dasar gadis bodoh!
"Bukannya berterimakasih sudah ditolong, malah ngomel!" gerutuku.
"Kalian ini apa gak bisa sehari aja gak bertengkar? Tom and Jerry bisa tersaingi nanti," timpal Abah.
Abah menatapku bergantian dengan wajah Wulan di dalam spion di depannya.
"Kamu juga Wulan, ngapain ke terminal siang-siang?"
"Anu, Wulan, tadi buat pisang goreng. Masih anget, pengen kasih ke Abah juga Ali," ujar Wulan. Gadis itu menunduk menatap kresek hitam di tangannya.
Aku meringis, tangan kananku memegang perut. Tinju si lelaki gondrong terasa perih, sementara tangan kiri memegang bibir bagian bawah. Wajah tampanku dinodai para lelaki berandalan tadi.
"Masih sakit, Ali? Apa mau mampir ke dokter deket pengkolan dulu?"
"Gak, Bah. Besok juga sembuh. Cuma luka luar."
"Yakin?" tanya Abah lagi.
"Iya, Bah," jawabku pelan.
Aku masih mengingat dengan jelas kilasan kejadian juga wajah yang baru saja terputar tadi.
Wajah, tatapan mata itu sepertinya aku mengenalnya.
Lelaki dalam bayanganku tadi juga memukul bibir bagian bawahku. Hingga berdarah.
Apakah ingatanku akan segera kembali?
Sialan. Kilasan kenangan juga kenyataan yang sama-sama menyakitkan. Apakah aku orang yang jahat, sehingga punya banyak musuh?
Seberengsek apa aku ini sebenarnya?
***
Hai-hai, Anyeong.
Ke pasar beli kain perca.
Apa kabar para pembaca?
Ikuti kisah Ali terus ya, jangan lupa tinggalkan jejak. Sepatah dua patah kata penyemangat, atau kritik juga sarannya.
(Rahasia?)Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah. Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia. "Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku. "Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia
"Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.
"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.Tunggu pembalasanku Jhonny."Bagaimana dengan si Jhonny, itu?""Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonn
Matahari telah turun dari langit. Gurat kemerahan terlukis di angkasa. Senja selalu indah. Aku menatap seberkas sinar di luar jendela.Tok … tok … tok …!Terdengar suara seorang perempuan. Mungkin itu asisten rumah tangga tadi, Bik Asih. Mataku memicing menatap jarum pendek benda pipih di dinding yang menunjuk ke angka enam. Waktu yang terlalu cepat untuk makan malam.Aku menutup tirai jendela. Segera melangkah ke pintu. Memutar kenop dan membukanya."Tuan Alex, makan malamnya sudah siap!" ucap Bik Asih setelah pintu terbuka.
"Jhonny, dia minta Papa, menandatangani surat perjanjian. Bahwa The One Property adalah miliknya, Jhonny ingin menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan kita. Jika tidak, kerjasama perusahaan kita dengan Hotel Hilton batal.""Apa? Kurang ajar sekali dia itu? Seorang anak haram, yang ingin menjadi pangeran. Menghalalkan segala cara demi memperoleh keinginan.""Lalu apa Papa, menandatanganinya?"Papa menggelengkan kepala beberapa kali. Ia menunjuk ke lantai, sebuah sobekan kertas berwarna putih terjatuh di bawah ranjang.Ini tak bisa dibiarkan. Tingkah Jhonny