Share

9. Kenyataan Yang Tak Bisa Kuterima

"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ...."

"Maksud, Papa?"

Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat.

"Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."

Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.

"Papa …."

Papa dan aku menoleh bersamaan. Suara seorang lelaki, memakai jaket kulit berwarna hitam. Matanya menatap tajam padaku.

Ah, iya. Dia adalah lelaki yang tadi terburu-buru keluar dari rumah, menabrak pundakku dengan keras saat kami bersisipan di pintu.

"Jhonny, kenapa kamu kembali?"

Apa? Jhonny? Dia adalah Jhonny? Si bedebah itu?! Kenapa dia bisa ada di rumahku? Bukankah ini lelaki yang ada dalam ingatanku? Dia yang memukuliku, juga selingkuhan Tamara. 

"Ah, itu Den Jhonny. Kami pamit, kembali ke pos depan lagi, Tuan."

Ah, iya, aku baru teringat dua security tadi memanggilnya dengan sebutan Den Jhonny. Kupikir dia Jhonny yang lain. Ternyata!

Aku berdiri, menatap balik lelaki itu dengan tajam, "Kenapa kamu ada di rumahku?"

Jhonny tersenyum menyeringai, 

"Rumahmu?"

Jhonny mengernyitkan alisnya. Maju beberapa langkah mendekat, menatapku dengan sinisnya, "Karena ini juga rumahku."

"Apa? Bagaimana mungkin? Papa …."

Aku menunggu penjelasan dari Papa. Lelaki yang secara hukum masih menjadi Papaku itu, menunduk dalam. Tak berani menatap.

"Pa, tolong jelaskan semua ini."

Kembali aku mengulangi pertanyaan. Dadaku rasanya bergemuruh. Ingin menghantam wajah si bedebah itu.

"Biar aku yang menjelaskan. Aku adalah Jhonny Prince Abraham. Putra tertua di keluarga ini."

"Cukup Jhonny, pergilah bekerja," perintah Papa. Ia berusaha berdiri dari duduknya. Memegang dada, napasnya tersengal.

"Tenang Papa, aku hanya kembali karena ponselku tertinggal."

Jhonny melewatiku. Menaiki tangga dengan cepat menuju lantai atas. Masuk ke sebuah kamar.

"Papa, baik-baik saja?" 

Aku segera mendekat pada lelaki yang kesakitan itu. Memapah Papa yang terlihat kembali lunglai.

"Biar kuantar ke kamar."

Kami menaiki tangga. Saling diam tanpa sepatah kata terucap. Dari tangga, langkah kaki Papa berbelok ke arah kanan. Papa menunjuk pada sebuah kamar yang ukurannya lebih besar dari yang lain. 

Aku membuka pintu dan memapah Papa menuju sebuah ranjang berukuran king. Membantu ia duduk di atas ranjangnya. Aroma melati terhidu. Mesin pendingin ruangan tertempel di dinding menghadap ranjang. 

Sebuah rak kayu penuh buku-buku ada di sebelah pintu masuk tadi. Di pojok kamar ada meja belajar yang menghadap ke luar jendela, banyak tumpukan map. Di atasnya juga ada sebuah laptop dan mesin printer.

Kuperkirakan usia Papa sekitar empat puluhan tahun dan di usianya saat ini ia masih suka membaca. Sepertinya ia juga mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Benar-benar tipe lelaki pekerja keras.

"Tutup pintunya!" perintah Papa dengan suara berat dan parau.

Aku berjalan ke arah pintu mengikuti perintah Papa. 

"Kemarilah Alex, Papa akan menjelaskan semuanya."

Aku duduk di sebuah kursi sofa kecil. Menunggu Papa bercerita.

"Jhonny, dia adalah sebuah kesalahan yang Papa lakukan di masa lalu. Ibunya, sekretaris pribadi Papa. Paula Stephanie, gadis cantik dan pintar. Entah bagaimana awalnya, saat itu kami terbangun di ranjang yang sama. Beberapa bulan kemudian dia mengaku hamil."

Papa menghentikan ceritanya. Tampak semburat merah di matanya. Sebuah penyesalan.

"Sejak itu, hubungan Papa dan Mamamu tak pernah baik. Kami selalu bertengkar, Papa bersalah pada Mamamu. Hingga dua tahun kemudian, kamu terlahir. Sejak itu, Papa mengakhiri hubungan dengan Ibu dari Jhonny. Mengusirnya dari perusahaan Papa."

"Apa?"

Kejujuran dan fakta yang terlalu menyakitkan. Haruskah aku mendengarnya? Si bedebah itu ternyata saudara tiriku? Lebih tepatnya si anak haram Papa dan sekretarisnya.

"Lalu, kenapa dia bisa ada di rumah ini sekarang, Pa?"

Aku menggebrak meja. Emosi. Sebuah kenyataan pahit harus kuterima. Hanya beberapa hari aku menghilang dan tempatku sudah digantikan seorang bajingan yang merebut semua hal dariku.

"Itu, apa kamu ingat? Di malam saat pesta pertunanganmu dengan Tamara Hilton. Perusahaan kita juga menandatangani perjanjian kerjasama."

Kembali lelaki kurus itu mengembuskan napas berat dan kasar.

"Saat Papa, mendengar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Papa Kaget, penyakit jantung Papa kumat seketika. Papa, tak sadarkan diri selama beberapa hari. Sementara, perusahaan goyah. Tak ada yang memimpin. Jhonny tampil, dan memperkenalkan diri sebagai anak Papa."

"Omong kosong apa ini? Aku Alexander Ibrahim, anak kandung, Papa. Bagaimana mungkin anak haram seperti Jhonny mengambil tempatku?"

"Tenanglah Alex, nanti kita urus semuanya agar kembali seperti semula." 

Papa terbatuk beberapa kali. Ia memegang dadanya, urat di wajahnya timbul seketika.

"Apa rasanya sangat sakit, Pa?" 

Aku mendekat, ikut memegang dada Papa. Dadanya terlihat kembali turun naik. Napasnya tersengal-sengal.

"Kata dokter, Papa menderita Penyakit jantung koroner yang jika tidak tertangani dapat memicu komplikasi. Menimbulkan penyakit lain seperti angina. Angina atau nyeri dada disebabkan oleh menyempitnya arteri, sehingga jantung Papa tidak mendapatkan cukup darah."

Komplikasi? Penyakit yang sangat serius sepertinya, "Berbaringlah Pa." 

Lelaki kurus itu mencoba merebahkan badan. Aku menaikkan selimut tebal di ranjang hingga ke dadanya.

Hanya beberapa hari aku pergi dan banyak hal telah berubah. Banyak tugas yang harus kukerjakan. Aku tak terima anak haram itu merebut tempat yang seharusnya jadi milikku. Aku harus bertindak sebelum semuanya menjadi kian runyam. 

"Tolong matikan AC-nya kalau kamu keluar!" perintah Papa sebelum ia memejamkan mata.

Tanpa menjawab aku memindai kamar. Segera meraih remot AC di atas nakas sebelah ranjang Papa. Mematikan mesin pendingin ruangan itu.

"Alex keluar dulu."

"Kak Alex?"

Pintu kamar Papa terbuka. Seorang gadis muda dan cantik mengenakan rok abu-abu melangkah dengan cepat. Dua sudut bibirnya terangkat naik melihatku.

"Kakak, sudah pulang? Bener, 'kan kata Alicia. Aku yakin Kak Alex, masih hidup. Kakak gak boleh ninggalin Alicia sendirian."

Gadis itu memelukku erat. Ia mulai terisak. Menangiskah?

"Hei, hei … jangan mengotori baju mahalku dengan air matamu."

"Iiih, Kakak jahat!" 

Gadis itu memukul dadaku pelan. Dua sudut matanya menitikkan air bening namun, bibirnya menampakkan sederet gigi putih. Ia terlihat sangat bahagia bertemu denganku.

"Anak baik!" 

Aku mengelus rambutnya yang berombak dengan kasar. Jika aku tak salah tebak, dia adalah Alicia Ibrahim, adikku semata wayang.

"Alicia rindu, Kakak!"

Aku menangkap bayangan di depan pintu. Seseorang sedang mendengarkan percakapan kami. Alicia masuk tanpa menutup pintu tadi. Siapa itu?

"Kakak haus, mau minum. Tolong ambilkan air minum untuk kakak tersayangmu ini," perintahku.

Mataku masih memicing menatap celah pintu.

"Ahsiyaaap, Bos."

Alicia menaruh telapak tangannya di atas kepala. Menghormat ala anak sekolah sedang upacara. Sekelebat bayangan berlalu dengan cepat, dari depan kamar Papa. Masih dapat kulihat pakaian atas berwarna hitamnya. Cih.

Alicia berbalik badan menuju pintu. Aku memegang tangan gadis itu, menahannya pergi.

"Tidak usah, duduklah di sini. Rasa haus Kakak sudah hilang."

"Papa sakit, Kak."

Alicia menatap Papa yang terbaring lemah di atas ranjangnya. Gadis itu terlihat khawatir. 

"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.

Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali. 

Tunggu pembalasanku Jhonny.

***

Hai-hai, anyeong. Bagaimana kabar para readers? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan bisa mengikuti kisah si Alex.

Ikuti terus kisahnya ya ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status