Share

Bukan Pernikahan Biasa
Bukan Pernikahan Biasa
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Pengkhianatan Kekasih

"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Senja cemas pada pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi. Gadis yang semula diam saja, kini cemas saat mobil telah jauh meninggalkan kota.

Laki-laki bernama Sabda menoleh sejenak. Tidak menjawab.

"Mas, kita mau ke mana?" pekik Senja mulai geram sambil memukul bahu laki-laki itu. Sabda tetap bergeming dan fokus pada jalanan yang menanjak. Senja terlihat mulai panik. Mobil terus melaju di jalan berkelok dan makin menanjak. Di kiri kanannya hutan pinus dan jurang.

"Jawablah kamu mau membawaku ke mana?" suara senja tetap meninggi sambil menatap Sabda dengan mata memerah, antara marah dan hendak menangis. "Kamu mau apa?"

Sabda tetap fokus pada jalanan. "Kamu akan tau setelah kita sampai nanti," jawab tenang pria muda itu.

"Awas kalau Mas macem-macem sama aku," ancam Senja dengan sengit. Sabda membuka dasbor dengan tangan kiri. Di keluarkannya sangkur dari sana dan meletakkan di pangkuan Senja. "Pegang ini! Jika kamu takut aku akan macam-macam."

Bukannya tenang, Senja makin gemeter. Sepagi ini banyak hal tak terduga. Harusnya dia janjian dengan Arga, kekasihnya. Untuk beli baju buat acara pertunangan mereka besok, tapi pria itu hilang begitu saja. Di hubungi juga tak bisa. Terus tiba-tiba saja Sabda datang menemuinya di restoran tempat Senja janjian dengan Arga. Pria itu memaksanya pergi dari sana dan sekarang membawanya naik ke daerah pegunungan. Satu jam perjalanan dari pusat kota.

Mobil menapak di jalan yang mulai landai. Melewati beberapa vila yang sepi. Kemudian berhenti di sebuah vila megah bercat putih dengan beberapa kendaraan yang terparkir di halamannya.

"Hapus air matamu." Sabda menyodorkan sekotak tisu pada Senja. "Kamu harus kuat menghadapi apapun yang terjadi di dalam sana nanti."

"Ada apa?" Senja makin penasaran dan bingung.

"Ayo, kita turun. Kamu akan tahu nanti."

Senja membuka pintu mobil. Hawa dingin pegunungan menyapa tubuhnya. Gadis itu memperhatikan sekeliling, semua terlihat menghijau dan sungguh menyegarkan. Namun dia terdiam ketika melihat ada mobil Arga terparkir di halaman vila. Di tenda besar yang di dominasi warna putih dan kuning keemasan. Beberapa kursi berjajar rapi dan berlapis kain putih. Wangi bunga melati, mawar, dan kasturi menyapa penciuman. Di bagian pinggir ada meja besar tempat hidangan.

Senja memandang Sabda. Pria itu memberi isyarat agar Senja mengikuti langkahnya. Canda dan tawa terdengar dari dalam vila. Senja terus mengekori Sabda hingga masuk lewat pintu utama. Semua yang ada di dalam memandang ke arah pintu. Di mana Sabda dan Senja berdiri tegak. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Arga dan Citra sedang melakukan tukar cincin di depan backdrop bernuansa putih dan merah jambu.

Senja menutup mulutnya untuk meredam tangis dan teriakan yang hendak meledak.

"Kamu tahu kan sekarang," bisik Sabda.

"Sabda," panggil seorang wanita setengah baya yang memakai gamis brokat warna saleem.

"Ma," balas Sabda sambil sekilas memandang Mama dan Papanya yang duduk di deretan tamu undangan. Papanya Sabda adalah adik dari papanya Arga. Jadi mereka sepupuan.

Pada saat yang bersamaan Arga memandang ke arah Senja. Pria itu berdiri kaku, sedangkan gadis di sebelahnya menatap tak paham. Para undangan memandang ke arah Senja dan Sabda yang berdiri dengan kedua tangan di masukkan di saku celana.

Seorang wanita bergaun merah jambu menghampiri Senja. "Pergilah, jangan mengacaukan acara ini dan mempermalukan dirimu sendiri. Kamu lihat, bukan kamu yang layak bersanding dengan adikku." Tidak hanya tatapannya saja yang tajam, tapi kalimat yang keluar dari mulut kakak perempuannya Arga lebih tajam dari sebilah silet.

Sabda menatap tajam kakak sepupunya itu atas kekasarannya bicara pada Senja. Lantas menatap tajam Arga dan gadis di sebelahnya, kemudian berbalik dan mengandeng Senja keluar dari vila. Senja masuk ke dalam mobil dan tangisnya pecah di sana. Sabda menyalakan mesin mobil dan membawa Senja pergi. Tak ada percakapan hingga mobil turun dan berhenti di sebuah rest area. "Kamu sekarang tahu apa yang terjadi. Selama ini kamu nggak percaya setiap aku coba kasih tahu."

Tangis senja makin menjadi. Sungguh tak menyangka kalau dia akan di khianati kekasih yang menjanjikan akan datang melamar Senja besok pagi. Bahkan keluarga Senja sekarang telah bersiap untuk menerima lamaran. Tadi ibunya telepon dan bilang kalau para kerabat jauh sudah di kabari.

"Minumlah!" Sabda menyodorkan sebotol air mineral yang telah di buka tutupnya. Senja meminumnya sedikit. Tenggorokannya terasa tersekat karena rasa sakit yang menghujam dada dan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada orang tuanya.

"Kenapa dia nggak berterus terang saja kalau mau tunangan sama perempuan lain. Kenapa juga dia menyuruhku menunggu di tempat biasa kami bertemu?" Senja menyeka air matanya. "Padahal hari ini aku mau pulang dan besok dia hendak melamarku."

Sabda menoleh pada Senja di sebelahnya. Dia memahami kebingungan gadis itu.

Hening. Senja menghela napas dalam-dalam hingga bisa menguasai emosi. Ini hari Minggu terburuk dalam kisah asmaranya. Arga yang selama ini memperlakukannya dengan baik, bisa setega itu terhadapnya. "Antarkan aku ke kosan, Mas!" Pinta Senja pada Sabda. Tanpa banyak bicara laki-laki itu segera kembali menyalakan mesin mobil.

Satu setengah jam perjalanan dalam diam. Senja tak lagi menangis seperti tadi. Kini hatinya ganti di landa resah, bagaimana harus memberitahu keluarganya di kampung kalau tidak akan ada lamaran esok hari.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Sabda setelah mobil memasuki kota. Senja menggeleng. "Entahlah!" Tentu saja gadis itu bingung, dia akan mempermalukan ibunya di hadapan keluarga besar mereka. Rasanya tidak tega membuat ibunya yang janda itu menanggung semua ini.

Baru saja berhenti menjawab pertanyaan Sabda. Ponsel di dalam tas Senja berdering. Ibunya sedang menelepon.

"Assalamu'alaikum, Buk."

"W*'alaikumsalam. Senja, apa kamu sudah di perjalanan, Nduk?"

Senja menunduk, bagaimana harus memulai bicara pada ibunya. Ada rasa takut, tidak tega, dan bingung. Sabda memperhatikan gadis di sampingnya.

"Senja, kamu jadi pulang hari ini apa sekalian besok?" cecar ibunya.

Air mata senja mengalir deras. Dia menjauhkan telepon agar sang ibu tidak mendengar isaknya. Wanita di seberang memanggil-manggil namanya.

"Bilang saja kamu akan pulang. Aku akan mengantarmu dan menjelaskan pada mereka," ucap Sabda lirih. Pria itu meyakinkan Senja dengan mengangguk saat gadis itu menatapnya.

"Iya. Aku akan pulang hari ini, Buk."

"Baiklah, hati-hati di jalan. Ibu tunggu ya! Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Senja menggenggam erat ponselnya dan menghapus air mata dengan tisu.

"Kamu mau pulang sekarang?"

"Nggak apa-apa aku pulang sendiri saja daripada nanti ngrepotin, Mas. Tolong antarkan ke terminal saja. Aku bisa jelasin ini ke keluargaku."

"Aku bisa mengantarmu. Perjalanan empat jam saja kan dari sini?" tanya Sabda sambil melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul satu siang. Dia punya banyak waktu hari ini. Tak dipedulikannya ponsel yang bergetar dalam saku celananya. Pasti orang tua dan saudaranya yang lain sedang sibuk menghubungi. Apalagi setelah kejadian di vila tadi.

Senja akhirnya setuju di antar sepupu dari kekasihnya. Dia juga butuh orang untuk membantunya bicara dengan ibu dan kerabatnya yang lain.

"Aku sebenarnya sudah janjian dengan Nina, Mas. Dia mau ikut aku pulang. Bisakah kita ke rumahnya, nanti dia menunggu-nunggu."

Sabda mengiyakan.

💦 💦 💦

Arga mendapati kosan Senja sepi sore itu. Beberapa kali dihubungi tapi ponsel Senja tidak aktif lagi. Dari gestur tubuhnya terlihat sekali kalau pria itu resah dan cemas.

"Nak Arga," panggil wanita setengah baya, ibu pemilik kos-kosan yang sudah mengenal Arga.

"Bu." Dengan sopan pria muda itu menyalami wanita bertubuh subur yang sangat ramah padanya.

"Saya nyari Senja, Bu."

"Senja sudah pamitan sama Ibu sejak pagi tadi. Katanya mau pulang dalam dua hari ini. Apa dia nggak memberitahu, Nak Arga?"

Arga menjawab pertanyaan ibu kos Senja dengan senyuman. Bukannya dia tidak tahu. Bahkan sangat-sangat tahu. Semua peristiwa pagi tadi kembali masuk dalam ingatan, membuat gejolak, dan sangat pedih di dalam sana. "Baiklah, kalau gitu saya pamit dulu." Arga kembali menyalami wanita yang sebenarnya heran melihat tingkah pemuda di depannya.

Ibu kosan itu tahu hubungan Arga dan Senja. Hubungan yang sudah lama terjalin. Tiga tahun. Sejak Senja menjadi penghuni kosannya

Cukup lama Arga duduk di belakang kemudi sambil kembali menelepon Senja juga pada Sabda. Namun semuanya nihil tanpa jawaban. Arga juga menghubungi Nina, teman dekatnya Senja. Tapi juga tidak ada jawaban. Di ketiknya pesan pada Senja, terlihat kalau pesan sedang pending. Arga memukul stang mobil dan telungkup lama di sana. Kejadian hari ini memporak-porandakan hatinya, juga hati kekasihnya.

💦 💦 💦

"Senja, kamu serius dengan apa yang kamu ceritakan ini?" tanya Nina tak percaya dengan cerita Senja saat mereka dalam perjalanan. Kedua wanita itu duduk di bangku tengah dan Sabda menyetir di depan.

Gadis yang tampak kusut itu mengangguk. Mata ber-iris cokelat milik Senja itu sesekali mengerjab, menghalau pedih air mata yang mengaburkan pandangannya. Nina seperti tak percaya mendengar cerita itu. Dia tahu bagaimana hubungan Senja dan Arga. Dia juga tahu bagaimana mereka saling mencintai. Bahkan kedekatan mereka membuat iri rekan-rekan. Namun Nina juga tak menduga kalau diam-diam Arga memiliki kekasih selain Senja, bahkan bertunangan di waktu yang seharusnya menjadi hari bahagia Senja.

Nina memberikan support untuk Senja. Memberikan semangat dan berjanji akan ikut menjelaskan jika keluarga Senja bertanya nanti.

Namun, apakah semuanya akan semudah itu? Empat jam perjalanan dan hanya berhenti istirahat dua kali mereka telah sampai di desa Selopuro. Desa yang masih asri dengan pepohonan yang mengayomi sepanjang jalan masuk desa itu. Suasana pedesaan masih sangat kental terasa. Aktivitas para penduduk menjelang sore terlihat di halaman rumah mereka. Ada yang sibuk dengan padi yang di jemur, ada yang membersihkan kandang ternak, dan ada yang sekedar duduk-duduk di bawah pohon, ngerumpi sambil mencari kutu atau uban bagi kaum ibu-ibu.

Bagi Sabda dan Nina yang biasa sejak kecil hidup di kota, ini menjadi pemandangan baru yang sangat menyenangkan. Ketenangan suasana di sana sangat mereka rasakan.

Senja menyuruh berhenti Sabda ketika telah sampai di rumah doro gepak, yang halamannya lumayan luas. Ada beberapa pohon jambu air dan mangga mengelilingi pekarangan samping dan depan.

Mereka segera turun setelah mobil terparkir di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Seorang wanita setengah baya keluar sambil tersenyum saat melihat putrinya. Senja berusaha menyembunyikan kesedihannya biar sang ibu tidak curiga. Nina yang pernah satu kali ikut Senja pulang segera menyalami dan mencium tangan Bu Hanum, nama dari ibunya Senja.

Sabda pun melakukan hal yang sama. Wanita itu tampak berbinar senang menyambut uluran tangan laki-laki itu.

"Eh, ini to calon suaminya Senja?" Seorang ibu muncul dari arah samping di susul oleh beberapa wanita lainnya. Mereka tetangga yang berdekatan dengan rumah Bu Hanum. Setelah menyalami Senja dan dua temannya, tiga orang ibu-ibu itu pun pergi.

"Ganteng, yo!" bisik ibu-ibu yang lain pada rekannya sambil melangkah pergi dan itu masih di dengar oleh Senja. Membuat gadis itu jadi tidak enak hati pada Sabda.

"Mas, maaf ya. Nanti atau besok aku jelaskan pada mereka kalau sebenarnya hanya salah paham saja," ucap Senja saat mereka melangkah masuk rumah. Sabda tersenyum sambil mengangguk.

Sabda dan Nina duduk di ruang tamu. Sementara Senja ikut masuk ibunya untuk membuatkan minum. "Senja, sepertinya laki-laki tadi wajahnya nggak sama dengan foto yang kamu kirimkan ke ibu." Bu Hanum bertanya setelah menyalakan kompor dan Senja yang menyiapkan gelas untuk teh.

Senja mengangguk pelan, menyembunyikan luka yang dalam. Hatinya tambah pedih ketika melihat banyak belanjaan di meja dapur. Tentu ini disiapkan untuk acara besok. Bu Hanum mendekati putrinya. Naluri ibu memang tak pernah salah. Sejak melihat Senja turun dari mobil dalam keadaan kusut tadi pikirannya sudah tidak enak. "Ada apa?"

Tak bisa di bendung lagi, Senja merangkul ibunya dan menangis. Bu Hanum yang kebingungan dengan sikap putrinya masih sabar menunggu hingga Senja tenang.

Sambil terisak, Senja menceritakan kejadian hari ini. Hanya garis besarnya saja karena mereka harus buru-buru membuat teh dan menemui tamunya. Bu Hanum menyimpan kecewa yang dalam, entah bagaimana dia akan menjelaskan pada keluarga besarnya nanti. Padahal wanita itu sudah mengundang mereka agar datang besok pagi dan para tetangga juga sudah banyak yang tahu. Maklumlah, ini di desa. Ada kabar sedikit saja sudah menyebar ke mana-mana.

Senja membawakan nampan berisi tiga gelas teh ke ruang tamu. Diikuti oleh Bu Hanum di belakangnya.

"Ayo, di minum dulu tehnya." Bu Hanum mempersilakan dengan ramah.

"Terima kasih, Bu," jawab Nina.

"Maaf, Bu. Saya mau Salat Asar. Masjidnya di sebelah mana, ya?"

"Deket kok, Nak. Seratus meter jalan ke arah kiri. Masjidnya di pinggir jalan. Nanti Nak Sabda jalan sebentar sudah kelihatan. Senja, kamu antar sampai depan sana!"

Sabda berdiri sambil menarik lengan kemeja warna dark blue yang dipakainya hingga ke siku. Senja melangkah keluar rumah lebih dulu. Mereka berjalan melewati halaman rumah yang lumayan luas. Gadis itu mengantar hingga masjid yang di maksud telah kelihatan pagarnya. "Sampai sini saja, ya Mas. Itu masjidnya udah keliatan."

"Oke." Sabda terus berjalan sedangkan Senja kembali ke rumah.

"O, Mas itu lho, calon suaminya Senja," seloroh seorang wanita yang sedang menyapu halaman, bicara dengan tetangganya. Sabda yang mendengar terus berjalan. Rumah-rumah yang berdekatan membuat penghuninya bisa saling mendengar.

Selesai Salat, Sabda masih duduk terpekur lama di atas karpet bercorak masjid. Ternyata berita pertunangan Senja dengan sepupunya sudah di dengar para tetangga. Bagaimana jika ternyata besok Senja tidak jadi tunangan? Sementara sebagian dari mereka menganggap dirinya yang menjadi tunangan gadis malang itu.

Next ....

Selamat datang di cerbung baru saya, guys.

Selamat membaca 😍

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
Bagus nih ceritanya
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
apakah sabda yang akan menggantikan Arga
goodnovel comment avatar
ghaurii
hadir ya..........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status