"Oh ya?"
"Kamu nggak percaya?"Senja tersenyum. Pria tampan, sukses, dari keluarga berada mustahil tidak punya kekasih. Tentu banyak perempuan yang ingin mendekatinya."Kalau aku punya pacar, tak mungkin nikahi kamu meski itu cuma pura-pura. Tentu aku akan memprioritaskan dia dan aku akan cari penjelasan lain untuk keluargamu."Senja terpaku oleh ucapan Sabda. Punya kekasih yang menjaga perasaan pasangannya seperti ini tentu akan membahagiakan bagi tiap perempuan. Tak ada kata terluka dan kecewa pastinya. Tapi setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Setiap hubungan pasti ada ujian. Jalan tak akan selamanya lurus tanpa rintangan."Aku pernah punya pacar, pernah merancang masa depan bersama, pernah sangat serius. Tapi sayangnya setahun yang lalu telah selesai.""Kenapa, Mas?""Karena kami tak berjodoh," jawab Sabda sambil tersenyum. Itu saja jawaban yang tepat, untuk apa mengorek luka lama yang baginya amat menyakiti.Senja pun tak ingin bertanya banyak, tentu ada sesuatu yang tidak ingin diceritakan oleh Sabda daripada mengoyak hal yang sudah terkubur. Mungkin Sabda sangat mencintainya sehingga luka yang tertoreh pun cukup dalam dan berbekas.Malam terus beranjak naik. Para pengunjung satu per satu meninggalkan tempat itu. Saking asyiknya berbincang mereka tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sabda yang sekilas melirik jam tangannya sengaja diam tak memberitahu gadis di depannya. Dia masih membiarkan Senja melihat kesibukan di pelabuhan. Hingga gadis itu menyadari sendiri perubahan waktu, di ambilnya ponsel dalam sling bag, Senja terbeliak saat melihat jam. 21.35."Mas, ayo kita pulang. Udah malam ternyata," ajak Senja gugup. Buru-buru gadis itu berdiri. Sabda dengan tenang ikut berdiri. Mereka turun lewat tangga, karena orang yang antri di lift cukup banyak.Pintu pagar pasti sudah di kunci. Kali ini Senja tak enak hati mau nelepon ibu kos. Wanita itu sangat disiplin kepada para penghuni kos putri, walaupun mereka sudah dewasa dan punya hak masing-masing menentukan apa yang mereka mau. Tapi sudah jadi peraturan di sana juga kalau para penghuni kos putri tidak boleh memasukkan laki-laki kecuali kerabat. Ah, seperti peraturan anak SMA saja. Namun bagus juga, tentu ibu kos tidak menghendaki ada zina di tempatnya.Kecuali di kosan ibu kos yang berada di gang sebelah. Di sana bebas karena penghuninya orang-orang yang sudah berumah tangga."Sampai kosan jam berapa ya, Mas?" tanya Senja gelisah sambil melangkah ke parkiran mobil."Perjalanan kita kurang lebih sejam.""Wah, pasti sampai kosan udah mau setengah sebelas.""Kenapa?""Aku nggak enak sama ibu kos.""Nggak usah pulang ke kosan. Kita nginap lagi di apartemen."Mendengar kata apartemen sudah membuat Senja merinding. Padahal ke tempat semewah itu, bukan mau ke rumah kosong dan berhantu. Keduanya masuk mobil dan meninggalkan pelabuhan.Selama tiga tahun setengah tinggal di kos itu, baru dua kali ini Senja pulang telat ke kosan. Kalau ke luar dengan Arga, kekasihnya itu akan mengantarkan pulang sebelum jam sembilan malam. Sebab dia yang akan bawel kalau tak segera di antar pulang.Sabda yang mengemudi paham kalau Senja gelisah. Kentara sekali kalau gadis itu bukan perempuan yang suka keluyuran tak kenal waktu. Padahal dia juga bukan remaja lagi, usianya sudah dua puluh lima tahun."Selama ini kamu jarang pulang telat, ya?" tanya Sabda setelah cukup lama saling diam."Hampir nggak pernah. Waktu tahun baru kemarin, aku juga keluar jalan. Tapi pulangnya nginap di rumah Nina.""Tahun baruan sama Arga?"Senja tersenyum samar. Kenangan itu, kini melukakan baginya. Entah dengan sebutan apa dia menamai keadaannya dengan Arga sekarang. Arga seolah bilang kalau dia bukan sengaja mengkhianati Senja. Dia bilang akan memulihkan apa yang sudah terkoyak kemarin? Semudah itukah? Tentunya tidak. Pun tak sesederhana hubungannya dengan Sabda. Bagaimana jika keluarga Sabda pada akhirnya tahu? Sementara pria itu tak juga membuat keputusan, mau di bawa ke mana hubungan mereka. Senja tak enak hati banyak bicara, dia ingat siapa yang menolongnya ketika itu.Mobil kembali melaju di tengah jalan tol, menerabas malam yang kian dingin karena AC mobil yang menyala kuat. Senja memeluk tubuhnya. Sabda yang menyadari itu segera menaikkan suhu pendingin. Biasanya ada jaketnya di mobil, tapi kali ini tidak ada. Pasti sopir pribadi papanya yang memindahkan setelah membersihkan mobilnya tadi pagi.Tanpa bertanya, Sabda melajukan mobilnya ke arah apartemen. Tampaknya Senja juga tidak keberatan, karena dia diam saja.Seorang satpam yang berjaga mengangguk hormat saat Sabda melewati pos penjagaan. Mobil melaju naik ke parkiran tingkat dua dan berhenti dekat lift.Sabda heran karena sejak tadi Senja diam saja. Bahkan diajak pulang ke apartemen pun tak menolak. Sabda heran."Ayo, kita turun."Senja membuka pintu mobil dan turun. Sabda yang menunggu mendadak cemas saat melihat wajah senja yang agak pucat. "Kamu sakit?" tanya Sabda sambil memperhatikan wajah gadis di depannya."Nggak, hanya kedinginan saja tadi," elak Senja. Sebenarnya sejak siang tadi dia sudah merasakan tak enak badan. Biasanya kalau mendekati tanggal haidnya, Senja terbiasa seperti itu. Di tambah lagi terpaan angin laut yang cukup kencang tadi, membuatnya agak meriang seperti masuk angin.Setelah pintu lift terbuka, Sabda memberi kesempatan Senja masuk lebih dulu. Dari pantulan cermin di lift, Sabda bisa dengan jelas melihat kalau Senja tidak baik-baik saja. Lift di komplek apartemen mewah itu bisa dikatakan lift yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Sebagian besar dinding dan pintu lift ini terbuat dari kaca dan senantiasa dibersihkan secara berkala."Habis ini kamu langsung saja istirahat. Aku yakin kamu lagi tak enak badan," kata Sabda setelah mereka masuk apartemen. "Biar aku buatkan teh hangat, sekalian kamu minum obat. Sepertinya kamu masuk angin." Sabda membukakan pintu kamar yang kemarin di tempati Senja."Nggak usah, Mas. Nggak usah bikin teh, aku ngambil air hangat saja untuk minum.""Baiklah aku ambilkan.""Biar aku ngambil sendiri." Senja hendak melangkah, tapi tangannya di raih oleh Sabda. "Masuklah istirahat, biar aku yang ngambilkan air minum sekalian ngambilin obat buat kamu." Sabda baru beranjak pergi setelah Senja mau masuk kamar.Pria itu mencari obat masuk angin di kotak P3K yang ada di pantry. Untungnya masih ada dan tanggal kadaluarsanya juga masih lama. Di bawanya obat beserta air hangat dari dispenser masuk kamar Senja. "Minum ini dan kamu segera istirahat.""Maaf, karena aku kamu jadi masuk angin. Aku juga lupa tak menyuruhmu bawa jaket tadi." Sabda merasa bersalah."Nggak apa-apa. Ini bukan karena di dermaga. Sebab sudah sejak kemarin aku udah nggak enak badan. Tapi hal kayak gini udah biasa, kok."Sabda mengernyitkan dahi, membuat alis tebal itu hampir saling bersentuhan satu sama lain. "Sakit kok kamu bilang biasa?"Senja mengangguk pelan. "Ya nggak apa-apa." Gadis itu jadi canggung menjawabnya. Ini urusan kaum wanita dan hanya mereka saja yang paham hal demikian."Besok aku antarkan ke dokter kalau gitu.""Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa. Nanti juga akan baik sendiri.""Sakit harus berobat, Senja. Jangan mengandalkan sembuh sendiri. Iya kalau sembuh, kalau makin menumpuk dan berlarut-larut gimana?""Tapi aku nggak apa-apa. Beneran aku nggak apa-apa.""Kalau kamu bilang sudah kebiasaan sakit begini, sebaiknya diperiksakan pada ahlinya. Kamu jangan meremehkan tanda-tanda kecil begini."Senja malah dibuat bingung dengan paksaan Sabda. Tapi bukan salahnya pria itu juga, karena Sabda tidak paham. Sedangkan dirinya juga tidak bisa bicara alasannya. "Sudah Mas, aku nggak apa-apa.""Kalau kamu enggak ke klinik. Biar aku panggilkan dokter langganan yang mau datang ke sini.""Enggak deh, Mas. Aku nggak apa-apa. Tiap mau datang bulan aku suka gini." Akhirnya Senja memberitahu daripada muter-muter dan berbelit-belit. Sabda akhirnya diam menatap senja. Baru tahu juga dirinya."Setiap perempuan pasti akan ngalami hal begini.""O ... oke. Kalau gitu kamu istirahat saja."Next ....Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas."Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?""Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat.""Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra.""Aku pinjamnya ya, Mas?""Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup.Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu.Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu.[Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30[Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45[Kami sudah dapa
"Mas, berhenti dulu. Ada Mas Arga di depan." Senja bicara pada Sabda ketika mereka baru berbelok dari jalan raya. Dadanya berdegup kencang, takut terjadi kegaduhan antar sepupu. Senja tidak suka kekerasan, alangkah baiknya jika semua dibicarakan dengan duduk bersama. Sabda mengurangi laju kendaraan dan menepi. Benar, sekitar seratus meter di hadapan, ada mobil berhenti di depan pagar kosan. "Sekarang atau nanti Arga pada akhirnya akan tahu, Senja."Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ponsel di sling bag-nya juga bergetar berulang kali. Tentu Arga yang menghubungi. "Aku nggak ingin ada keributan di sini, Mas. Apalagi jika ibu kosku tahu, aku yang nggak enak sama beliau. Aku nyaman di kosan itu, karena aku juga masih kerja. Kerjaan ini sangat penting buatku. Biar aku berhenti di sini saja." Senja memang takut kalau terjadi baku hantam di sini yang akan jadi tontonan warga. Dia sangat mengenal karakter kerasnya Arga. Sementara dia juga belum tahu bagaimana Sabda. Bisa jadi mereka sama-
Pagi ini hati Senja keruh, larut dalam pusaran rasa yang campur aduk. Matanya pun mulai berkabut. Antara perasaan cinta Arga dan Sabda yang menikahinya. Walaupun dia berpikir kalau yang dilakukan Sabda hanya berdasarkan rasa iba.Akhirnya kaki itu menjejak di pertigaan. Arga masih mengikuti dengan mobilnya. Senja berhenti, menarik napas dalam-dalam untuk menghalau kaca-kaca yang memenuhi kelopak mata. Di sebelah kiri dekat dengan halte, ada mobil Sabda yang terparkir di sana. Bahkan pria itu keluar setelah melihat Senja berdiri di trotoar.Arga yang masih di dalam mobil memandang heran karena melihat sepupunya ada di sana. Perasaannya mulai tak enak. Hatinya merasa kalau ada sesuatu yang terjadi. Dia mencari-cari tempat agar bisa memarkir mobil. Akhirnya tak sabar pria itu keluar dari mobil dan membiarkan kendaraannya terparkir begitu saja.Senja mulai panik ketika Arga melangkah mendekati Sabda yang juga melangkah ke arahnya. Satu angkot lewat tidak dihentikan, dia harus tahu apa yan
Jemari Sabda memegang dagu Senja, wajahnya menunduk tepat di atas wajah gadis yang tangannya kini gemetar. Satu kecupan saja tidak cukup hingga membuatnya melumat bibir mungil itu untuk beberapa lama.Sesaat itu detak jantung Senja serasa berhenti. Napasnya juga tersekat di tenggorokan. Tidak tahu harus merespon bagaimana dengan tindakan spontan Sabda. Gadis itu membeku. Jujur ini kali pertama seorang pria mencium bibirnya. Pria yang telah halal baginya.Sabda melihat wajah gadis di depannya yang memucat dan diam bak patung. "Maaf!" ucap Sabda sambil tersenyum, jemarinya mengusap bibir yang telah di ciumnya.Senja jadi salah tingkah dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Pipinya yang putih merona merah. Seandainya Sabda tidak ingat ada Mbak Nur yang sedang beres-beres di dalam, mungkin dia bisa melakukan lebih sepagi itu."Kamu pasti belum sarapan. Aku pesankan makanan ya. Kamu mau makan apa?" Sabda mengambil ponsel di saku celananya. Membuka aplikasi dan menunjukkan layar
Bagaimana kabarnya Arga? Dia terlihat sangat kecewa tadi. Senja bisa melihat kehancuran dalam kilatan amarahnya. Apalagi yang kini bersama mantan kekasihnya adalah sepupunya sendiri. Sudah pasti dia tidak akan terima begitu saja. Apa yang akan terjadi esok hari?"Hai, kenapa melamun di situ?" Sabda memanggil Senja yang bengong di depan sebuah lukisan. Gadis itu menoleh dan kembali menghampiri Sabda."Kamu mikirin apa?" tanya Sabda lagi setelah Senja duduk di sebelahnya."Bagaimana jika Mas Arga menceritakan tentang kita pada keluarga, Mas?""Kita lihat saja nanti. Kita tunggu, dia cerita atau nggak."Senja menunduk. Banyak kemungkinan yang bakal terjadi setelah ini. Bagaimana jika keluarga Sabda tak menyukai hubungan mereka? Tentu pada akhirnya harus berpisah juga. Tak mengapa? Hubungannya dengan Sabda juga belum terlanjur jauh. Gadis itu kembali memandang pria di depannya. "Rahang Mas, kelihatan lebam gitu. Sakit nggak? Gimana ngobatinnya?" Senja baru menyadari kalau rahang Sabda ba
"Hai," sapa Bela ketika Sabda masuk dari pintu kaca. Pria itu hanya tersenyum sebentar meski sebenarnya terkejut dengan kehadiran gadis itu di kantornya. Pakaian Bela rapi, resmi perempuan kantoran. Ada tas kerja yang diletakkan di sofa.Bela bangkit dan mengulurkan tangan. Saat tangannya tersambut, gadis itu heran melihat lebam di rahang Sabda. "Rahangmu kenapa, Mas?""Nggak apa-apa," jawab Sabda datar. "Ada urusan apa hari ini ada di sini?" Sabda duduk di sofa depan gadis itu."Aku ada janji ketemuan dengan Pak Guntur. Tapi beliau masih breafing." Pak Guntur ini menjabat manajer pelaksana di kantor Sabda."Mulai hari ini aku wakil dari perusahaan papa yang handle pekerjaan proyek baru yang akan di mulai.""Oke. Kalau gitu aku tinggal dulu." Sabda berdiri lantas masuk lift untuk ke ruangannya yang ada di lantai tiga. Pekerjaan di lapangan bukan urusannya. Tugas dasarnya di perusahaan adalah mengawasi, menghitung, dan membuat laporan keuangan perusahaan. Dia hanya wajib mematuhi kode
Suasana di rumah besar dan megah itu sangat semarak. Campuran gaya tradisional dengan desain mewah modern terihat sangat unik yang menjadi hunian keluarga Tedjo Suryantoro, konglomerat yang terkenal kerendahan hatinya. Meski segala perabot di dalam sangat modern, tapi laki-laki yang masih sehat di usia senjanya tetap mempertahankan rumah joglo di bagian paling depan. Rumah yang mempunyai ciri khas atap seperti limas, dengan pendopo di bagian depan. Kilauan kuning keemasan merupakan pantulan dari warna lampu yang mengarah ke dinding dan lantai kayu rumah. Beberapa elemen rumah didominasi oleh bahan kayu yang terpilih.Jam tujuh malam seluruh keluarga dan para undangan sudah datang di pendopo depan. Para cicit asyik bermain di rumah bagian dalam yang berlantaikan marmer. Mereka di awasi oleh pengasuh.Sabda yang baru turun dari mobilnya segera masuk. Seluruh kerabat yang sedang menikmati hidangan memperhatikannya, termasuk orang tuanya sendiri. Tampaknya Sabda memang datang paling akhi
Dari cara Sabda memandang, Senja menyadari apa yang dipikirkan oleh pria di hadapannya itu. Tahu apa yang diinginkan seorang laki-laki terhadap perempuan. Terlebih mereka adalah pasangan halal.Tubuh Sabda mendekat dan berhasil memagut bibir Senja. Gadis itu terkesiap dan menggeser duduknya. Sabda tersenyum. Andai saja yang di dekati seperti ini bukan Senja, andai itu Bela, pasti sudah terjadi sesuatu di antara mereka.Ternyata gadis pemalu memiliki kualitas lain yang jauh lebih menarik. Sabda seperti tertantang untuk menaklukkannya. Sabda laksana singa yang kelaparan tapi harus sabar menunggu hingga buruannya menyerah kalah tanpa banyak drama."Aku tahu siapa yang mengirimkan video itu padamu." Sabda bicara setelah berhasil mengendalikan gejolak dalam dirinya. Membuat Senja mengangkat wajah untuk menatapnya."Video itu memang bukan rekayasa. Itu yang diinginkan oleh keluarga. Mereka menginginkan aku kembali dan bertunangan dengan Bela."Senja teringat dengan nama yang di sebut oleh Mb