Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang.
Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum fokus merawat Senja, karena sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Ibunya bisa sekuat itu karena seluruh keluarga men-support dan banyak membantunya.Sabda membiarkan Senja yang diam. Memberi peluang pada gadis berkulit bening melayan perasaan. Sudah lama dia mengenal Senja, sejak gadis itu dipacari sepupunya. Namun belum pernah sedekat ini dan memperhatikannya. Ternyata gadis itu sangat lembut, sopan, dan cantik tentunya. Hidungnya runcing, rambutnya hitam legam, dan bibirnya mungil. Sabda menarik napas sambil membuang pandang.Gadis itu miliknya sekarang. Bahkan tak ada sekat yang memberi jarak baginya, Senja halal untuk di sentuh kulitnya. Bahkan lebih dari itu. Tak ada batas di antara mereka.Kalau tidak sadar dia berada di mana, ingin rasanya Sabda menertawakan diri sendiri dengan segala khayalan yang berkelindan dalam benak. Angan liar yang mengiringnya pada sensasi pria dewasa. Sabda menyugar kasar rambutnya, agar pikiran mesum itu luruh berjatuhan."Senja." Dipanggilnya gadis yang masih sibuk memperhatikan sekeliling dengan tatapannya yang penuh pemikiran."Ya." Senja menoleh."Kirimkan nomer rekening kamu.""Untuk apa?" Senja heran."Sebagai suami aku punya kewajiban ngasih nafkah ke kamu. Berapa pun itu."Senja ingin tertawa, tapi Sabda bicara sangat serius. Akhirnya gadis itu tersenyum. "Kayaknya nggak wajib dengan pernikahan model kayak kita ini, Mas.""Sudahlah, jangan buat aku makin nggak enak sama, Mas Sabda. Ini malah bikin aku makin bersalah saja.""Ada ya, istri merasa bersalah di nafkahi sama suami?"Senja tersenyum getir sambil menunduk. Kadang ingin segera memperjelas hubungan mereka seperti saran ibunya tadi pagi. Tapi dia tidak ingin dianggap punya pikiran yang tidak-tidak oleh Sabda. Atau bahkan mungkin di anggap terlalu berlebih-lebihan. Wait, bukankah ini haknya juga, biar segalanya jelas dan tidak berlarut-larut."Aku tunggu pesanmu besok. Setidaknya aku ingin jadi suami yang baik sebelum semua selesai."Selesai? Ah kenapa getir sekali mendengar kalimat itu, walaupun dia sadar sepenuhnya kalau cepat atau lambat keputusan akan tetap dibuat. Senja menelan saliva."Nggak usah, Mas." Keukeuh Senja."Kenapa nggak usah? Kamu takut aku akan menuntut kamu melakukan kewajiban?"Degup jantung Senja kian tak beraturan. Mungkin wajahnya juga sudah berubah warna dan dia pun rasanya menggigil. Gadis itu menarik napas panjang. Setelah ritme dalam benaknya mulai kalem, Senja memandang Sabda yang sedari tadi menatapnya."Ibuku tadi pagi telepon. Beliau bilang, kalau ...." Senja tak sanggup meneruskan ucapannya. Kenapa berat sekali rasanya.Sabda masih menunggu Senja menyelesaikan kata-katanya. "Kalau apa?" tanya Sabda pelan, setelah Senja masih membiarkan kalimatnya menggantung di udara."Kalau kita harus segera memutuskan bagaimana akhir pernikahan ini. Maaf, Mas. Tentu ibuku khawatir dengan anak perempuannya.""Iya, aku paham. Nantilah aku bicara sama ibu. Kalau ada waktu nanti kita ke sana sebelum puasa. Tapi minggu depan aku mulai sibuk. Kadang lembur sampai malam untuk pemutakhiran data keuangan."Senja cukup mengerti pekerjaan Sabda. Menyangkut soal keuangan butuh konsentrasi dan ketelitian.Percakapan mereka terhenti saat mendengar suara peluit panjang. Senja mencari arah sumber suara. "Suara apa, Mas, itu?""Itu suara blast. Suara dari klakson kapal atau ship’s whistle. Mungkin ada kapal yang hendak sandar," jawab Sabda lantas mengajak Senja berdiri. Mereka melangkah mendekati pagar pembatas. Benar saja, ada satu kapal besar sedang persiapan hendak menepi. Beberapa petugas pelabuhan bersiap menyambut kedatangannya."Ayo, kita masuk ke dalam. Minum dulu baru pulang."Senja mengikuti Sabda. Mereka memesan dua hot capuccino, terang bulan, dan mengambil tempat duduk paling pinggir. Dari dinding kaca tinggi itu mereka bisa melihat kesibukan di luar. Beberapa penumpang kapal turun bergiliran."Kayaknya tempat ini punya kenangan tersendiri buat, Mas, ya?"Sabda tersenyum getir. Kenangan lalu melintas cepat dalam ingatan. Kemudian meninggalkan perih dalam dada. Sabda memilih tak menjawab pertanyaan Senja. Dan gadis itu tak lagi bertanya."Mas, tadi katanya mau ngomong sesuatu? Ngomong apa?""Ya, apa kamu menemui Arga?" tanya Sabda. Membuat gadis di depannya kaget dan bertanya-tanya, apakah Arga cerita ke Sabda?"Mas, tahu dari mana?""Aku hanya bertanya. Mungkin saja dia menemuimu lagi.""Iya, dia menjemputku sepulang kerja tadi.""Untuk apa?""Dia hanya menjelaskan tentang perjodohannya dengan gadis itu.""Jika apa yang di ceritakan itu benar dan dia masih mencintaimu, apakah kamu mau kembali padanya?""Aku nggak ingin merusak hubungan mereka.""Walaupun kamu masih memiliki perasaan pada Arga?""Aku nggak ingin menjadi perusak apa yang telah mereka rajut, Mas. Meski katanya itu perjodohan yang di paksakan."Diam. Senja memandang jauh ke luar. "Hubungan dua keluarga akan terpecah belah karena kehadiranku yang sebenarnya nggak bisa di terima keluarga Mas Arga." Senja beralih menatap Sabda. "Seperti hubungan kita juga. Aku nggak ingin merusak hubungan Mas dengan pacar Mas Sabda. Sebelum di ketahui orang lain, bukankah lebih baik kita segera mengambil keputusan.""Aku tidak punya pacar," jawab Sabda cepat.Next ...."Oh ya?""Kamu nggak percaya?"Senja tersenyum. Pria tampan, sukses, dari keluarga berada mustahil tidak punya kekasih. Tentu banyak perempuan yang ingin mendekatinya."Kalau aku punya pacar, tak mungkin nikahi kamu meski itu cuma pura-pura. Tentu aku akan memprioritaskan dia dan aku akan cari penjelasan lain untuk keluargamu."Senja terpaku oleh ucapan Sabda. Punya kekasih yang menjaga perasaan pasangannya seperti ini tentu akan membahagiakan bagi tiap perempuan. Tak ada kata terluka dan kecewa pastinya. Tapi setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Setiap hubungan pasti ada ujian. Jalan tak akan selamanya lurus tanpa rintangan."Aku pernah punya pacar, pernah merancang masa depan bersama, pernah sangat serius. Tapi sayangnya setahun yang lalu telah selesai.""Kenapa, Mas?""Karena kami tak berjodoh," jawab Sabda sambil tersenyum. Itu saja jawaban yang tepat, untuk apa mengorek luka lama yang baginya amat menyakiti.Senja pun tak ingin bertanya banyak, tentu ada sesuatu yang tida
Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas."Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?""Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat.""Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra.""Aku pinjamnya ya, Mas?""Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup.Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu.Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu.[Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30[Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45[Kami sudah dapa
"Mas, berhenti dulu. Ada Mas Arga di depan." Senja bicara pada Sabda ketika mereka baru berbelok dari jalan raya. Dadanya berdegup kencang, takut terjadi kegaduhan antar sepupu. Senja tidak suka kekerasan, alangkah baiknya jika semua dibicarakan dengan duduk bersama. Sabda mengurangi laju kendaraan dan menepi. Benar, sekitar seratus meter di hadapan, ada mobil berhenti di depan pagar kosan. "Sekarang atau nanti Arga pada akhirnya akan tahu, Senja."Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ponsel di sling bag-nya juga bergetar berulang kali. Tentu Arga yang menghubungi. "Aku nggak ingin ada keributan di sini, Mas. Apalagi jika ibu kosku tahu, aku yang nggak enak sama beliau. Aku nyaman di kosan itu, karena aku juga masih kerja. Kerjaan ini sangat penting buatku. Biar aku berhenti di sini saja." Senja memang takut kalau terjadi baku hantam di sini yang akan jadi tontonan warga. Dia sangat mengenal karakter kerasnya Arga. Sementara dia juga belum tahu bagaimana Sabda. Bisa jadi mereka sama-
Pagi ini hati Senja keruh, larut dalam pusaran rasa yang campur aduk. Matanya pun mulai berkabut. Antara perasaan cinta Arga dan Sabda yang menikahinya. Walaupun dia berpikir kalau yang dilakukan Sabda hanya berdasarkan rasa iba.Akhirnya kaki itu menjejak di pertigaan. Arga masih mengikuti dengan mobilnya. Senja berhenti, menarik napas dalam-dalam untuk menghalau kaca-kaca yang memenuhi kelopak mata. Di sebelah kiri dekat dengan halte, ada mobil Sabda yang terparkir di sana. Bahkan pria itu keluar setelah melihat Senja berdiri di trotoar.Arga yang masih di dalam mobil memandang heran karena melihat sepupunya ada di sana. Perasaannya mulai tak enak. Hatinya merasa kalau ada sesuatu yang terjadi. Dia mencari-cari tempat agar bisa memarkir mobil. Akhirnya tak sabar pria itu keluar dari mobil dan membiarkan kendaraannya terparkir begitu saja.Senja mulai panik ketika Arga melangkah mendekati Sabda yang juga melangkah ke arahnya. Satu angkot lewat tidak dihentikan, dia harus tahu apa yan
Jemari Sabda memegang dagu Senja, wajahnya menunduk tepat di atas wajah gadis yang tangannya kini gemetar. Satu kecupan saja tidak cukup hingga membuatnya melumat bibir mungil itu untuk beberapa lama.Sesaat itu detak jantung Senja serasa berhenti. Napasnya juga tersekat di tenggorokan. Tidak tahu harus merespon bagaimana dengan tindakan spontan Sabda. Gadis itu membeku. Jujur ini kali pertama seorang pria mencium bibirnya. Pria yang telah halal baginya.Sabda melihat wajah gadis di depannya yang memucat dan diam bak patung. "Maaf!" ucap Sabda sambil tersenyum, jemarinya mengusap bibir yang telah di ciumnya.Senja jadi salah tingkah dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Pipinya yang putih merona merah. Seandainya Sabda tidak ingat ada Mbak Nur yang sedang beres-beres di dalam, mungkin dia bisa melakukan lebih sepagi itu."Kamu pasti belum sarapan. Aku pesankan makanan ya. Kamu mau makan apa?" Sabda mengambil ponsel di saku celananya. Membuka aplikasi dan menunjukkan layar
Bagaimana kabarnya Arga? Dia terlihat sangat kecewa tadi. Senja bisa melihat kehancuran dalam kilatan amarahnya. Apalagi yang kini bersama mantan kekasihnya adalah sepupunya sendiri. Sudah pasti dia tidak akan terima begitu saja. Apa yang akan terjadi esok hari?"Hai, kenapa melamun di situ?" Sabda memanggil Senja yang bengong di depan sebuah lukisan. Gadis itu menoleh dan kembali menghampiri Sabda."Kamu mikirin apa?" tanya Sabda lagi setelah Senja duduk di sebelahnya."Bagaimana jika Mas Arga menceritakan tentang kita pada keluarga, Mas?""Kita lihat saja nanti. Kita tunggu, dia cerita atau nggak."Senja menunduk. Banyak kemungkinan yang bakal terjadi setelah ini. Bagaimana jika keluarga Sabda tak menyukai hubungan mereka? Tentu pada akhirnya harus berpisah juga. Tak mengapa? Hubungannya dengan Sabda juga belum terlanjur jauh. Gadis itu kembali memandang pria di depannya. "Rahang Mas, kelihatan lebam gitu. Sakit nggak? Gimana ngobatinnya?" Senja baru menyadari kalau rahang Sabda ba
"Hai," sapa Bela ketika Sabda masuk dari pintu kaca. Pria itu hanya tersenyum sebentar meski sebenarnya terkejut dengan kehadiran gadis itu di kantornya. Pakaian Bela rapi, resmi perempuan kantoran. Ada tas kerja yang diletakkan di sofa.Bela bangkit dan mengulurkan tangan. Saat tangannya tersambut, gadis itu heran melihat lebam di rahang Sabda. "Rahangmu kenapa, Mas?""Nggak apa-apa," jawab Sabda datar. "Ada urusan apa hari ini ada di sini?" Sabda duduk di sofa depan gadis itu."Aku ada janji ketemuan dengan Pak Guntur. Tapi beliau masih breafing." Pak Guntur ini menjabat manajer pelaksana di kantor Sabda."Mulai hari ini aku wakil dari perusahaan papa yang handle pekerjaan proyek baru yang akan di mulai.""Oke. Kalau gitu aku tinggal dulu." Sabda berdiri lantas masuk lift untuk ke ruangannya yang ada di lantai tiga. Pekerjaan di lapangan bukan urusannya. Tugas dasarnya di perusahaan adalah mengawasi, menghitung, dan membuat laporan keuangan perusahaan. Dia hanya wajib mematuhi kode
Suasana di rumah besar dan megah itu sangat semarak. Campuran gaya tradisional dengan desain mewah modern terihat sangat unik yang menjadi hunian keluarga Tedjo Suryantoro, konglomerat yang terkenal kerendahan hatinya. Meski segala perabot di dalam sangat modern, tapi laki-laki yang masih sehat di usia senjanya tetap mempertahankan rumah joglo di bagian paling depan. Rumah yang mempunyai ciri khas atap seperti limas, dengan pendopo di bagian depan. Kilauan kuning keemasan merupakan pantulan dari warna lampu yang mengarah ke dinding dan lantai kayu rumah. Beberapa elemen rumah didominasi oleh bahan kayu yang terpilih.Jam tujuh malam seluruh keluarga dan para undangan sudah datang di pendopo depan. Para cicit asyik bermain di rumah bagian dalam yang berlantaikan marmer. Mereka di awasi oleh pengasuh.Sabda yang baru turun dari mobilnya segera masuk. Seluruh kerabat yang sedang menikmati hidangan memperhatikannya, termasuk orang tuanya sendiri. Tampaknya Sabda memang datang paling akhi