Share

Part 7 Malam Di Pelabuhan

Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.

Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar.

"Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.

Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku."

"Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi."

"Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum.

"Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?"

"Seorang akuntan pasti cerdas. Ilmu matematika pasti hafal di luar kepala."

"Matematika ilmu pasti sedangkan akuntansi ilmu terapan. Dalam akuntansi matematik digunakan sebagai sarana berhitung dan berpikir logis. Seorang akuntan hanya harus mampu mempraktikan profesi akuntasi. Mampu melakukan fungsi bisnis dan mampu menerapkannya di dunia kerja. Fleksibel menurutku. Kurasa kamu pun tahu, kamu juga kuliah di jurusan ekonomi."

"Enak ya ngomong sama orang cerdas tuh!"

"So, pasti. Beruntunglah kamu memiliki suami yang cerdas." Tawa berderai mewarnai percakapan mereka. Candaan yang membuat denyar aneh dalam benak Senja.

"Ada yang ingin kubicarakan sama kamu. Tapi nanti saja setelah kita sampai di pelabuhan."

Senja mengangguk menanggapi kalimat Sabda yang berubah serius dan menimbulkan riak penasaran di hati gadis itu. Ada apa? Apakah pernikahan mereka akan berakhir?

Lantas mereka membicarakan tentang pekerjaan masing-masing, hingga mobil keluar jalur tol dan memasuki area pergudangan dengan kontainer-kontainer besar yang berjajar.

Sabda memarkir mobilnya dan mengajak Senja masuk ke sebuah bangunan yang menjadi ruang tunggu para penumpang kapal. Senja melihat beberapa orang duduk lesehan di lantai dengan beralaskan tikar atau kain panjang. Ada juga yang tidur. Tas-tas besar dan barang bawaan ada di sekitar mereka. Anak-anak kecil berlarian di ruangan yang lumayan luas itu. "Mereka penumpang yang menunggu kapal datang." Sabda memberitahu Senja.

"Karena takut telat atau mungkin rumah mereka jauh, makanya datang lebih awal," tambah pria itu sambil mengajak Senja masuk ke dalam lift.

Di bagian atas adalah tempat kuliner yang cukup ramai di kunjungi orang-orang yang ingin melihat suasana malam di pelabuhan sekaligus kulineran. Ada kios-kios yang di bangun dari bambu dan rumbai-rumbai sebagai atapnya.

"Mau makan apa?" tanya Sabda.

"Atau kita lihat-lihat dulu." Sabda mengajak senja melihat kios demi kios yang menjual aneka makanan.

"Mau makan nasi uduk dan ayam panggang? Enak banget, aku nggak bohong," kata Sabda menunjuk sebuah kios yang di padati pengunjung.

"Kita pesan dulu, nanti kita ambil setengah jam lagi." Sabda mendekati seorang pemuda yang menjadi pelayan di kios Nasi Uduk Bu Darmi. Pemuda itu mencatat pesanan Sabda.

Mereka keluar lewat pintu kaca dan langsung disambut angin dermaga. Di beranda ramai pengunjung malam itu. Mereka duduk-duduk di bawah payung besar, di bangku besi, dan ada yang duduk lesehan di atas hamparan rumput sintetis. Sabda dan Senja berdiri di pinggir beranda yang berpagar stainless.

Ombak laut tampak berkilat dari pantulan sinar bulan purnama dan dari lampu-lampu dermaga. Di kejauhan terlihat beberapa benda besar mengapung dengan cahaya lampu di beberapa bagiannya. Itu kapal yang sedang bersandar. Di sebelah kiri, Senja melihat satu kapal barang yang sedang bongkar muatan. Beberapa kuli panggul tak kenal lelah memindahkan barang.

"Mereka bekerja tak kenal waktu. Kapan pun kapal datang, mereka harus siap membongkar barang. Bekerja siang malam untuk siapa? Demi orang-orang tercinta tentunya." Sabda berkata sambil memandang kegiatan di geladak kapal.

Perasaan Senja tersentuh. Antara kagum dan kasihan. Inilah pengorbanan seorang kepala rumah tangga demi dapur di rumahnya tetap mengepul.

"Pemandangan sore sangat indah di sini. Apalagi kalau cuaca cerah dengan langit merona jingga di sebelah barat. Senja memang indah, walaupun datangnya hanya sebentar. Hanya kamu senja yang abadi."

Senja tersenyum mendengar ucapan Sabda. Gadis itu masih memandang jauh ke laut lepas, rambutnya yang di kuncir satu bergerak-gerak di embus angin. Dia suka tempat yang baru dikunjunginya kali ini.

"Mas Sabda, sering ke sini?"

"Lumayan sering."

"Makanya Mas kenal baik dengan pelayan kedai nasi uduk tadi."

"Karena aku suka makan di sana."

"Sendiri atau bersama pacar?"

Sabda tersenyum. "Pernah sendiri, pernah juga bersama pacar," jawab pria itu sambil memandang Senja. Sedangkan gadis itu hanya menoleh sejenak. Batinnya tergelitik oleh sesuatu yang aneh. Berarti pria yang menikahinya memang punya kekasih.

"Oh ya, tadi Mas bilang mau bicara sesuatu?"

"Ya. Nanti setelah kita makan malam. Sekarang aku ambil pesanan tadi. Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Pesan Sabda lantas melangkah pergi. Senja memandang punggung kokoh itu hingga hilang di balik dinding kaca.

Perasaan Senja jadi tak enak. Mungkin Sabda mengajaknya bertemu malam itu untuk membicarakan hubungan mereka. Bisa jadi akan memberitahu kalau dirinya telah memiliki kekasih dan pernikahan mereka harus di akhiri.

"Hai, cewek. Sendirian, ya?" Goda seorang laki-laki di antara sekelompok rombongan cowok yang melangkah di belakang Senja. Dan sedikit pun gadis itu tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus jauh di hadapan, pada kerlip lampu-lampu kapal.

"Kok diam aja, sih?" Itu suara dari yang lainnya.

"Ku temani, mau?" Entah suara pemuda yang mana lagi, sekitar ada lima orang di dekat Senja. Sepertinya mereka ini sekelompok mahasiswa.

Ada seorang yang berani mendekat dan bersandar pada pagar besi sambil menatap Senja. Membuat gadis itu menggeser tubuhnya ke kiri. Mungkin karena dia terlihat sendirian makanya di dekati pemuda-pemuda iseng yang baru datang itu.

"Dia istriku, mau apa kalian?" Suara bariton membuat kelima pemuda tadi menoleh. Sabda menghampiri Senja dengan menunjukkan wajah marah pada pemuda-pemuda itu. Di tengah ramai pengunjung begini masih sempat pula mereka mengganggu perempuan. Tanpa bicara kelima orang melangkah pergi.

"Ayo, kita duduk di sini!" Sabda melangkah ke arah hamparan rumput sintetis. Di pilihnya tempat kosong agak menepi dari pengunjung lainnya.

Mereka duduk di rerumputan. Sabda meletakkan dua kotak nasi uduk berlaukkan ayam panggang dan dua botol teh dingin.

"Sudah sejak tadi kamu di goda sama mereka?" tanya Sabda.

"Nggak, Mas. Aku juga diam saja tadi."

"Banyak pemuda iseng di sini."

Keduanya membuka kotak dan mulai makan. Angin laut makin kencang berembus. Bulan di atas mayapada terang bersinar. "Aku tadi lupa mengingatkanmu untuk membawa jaket. Aku sendiri juga nggak bawa." Sabda berkata sambil mengunyah.

"Anginnya kenceng di sini. Apa tempat ini selalu ramai oleh pengunjung ya, Mas?"

"Ya. Apalagi waktu senja dan akhir pekan."

Keduanya menikmati makan hingga selesai dan mencuci tangan di wastafel yang tersedia di sana. Lantas kembali duduk.

"Kenapa cincinnya nggak kamu pakai?" tanya Sabda sambil memandang jemari Senja yang tanpa perhiasan.

Gadis itu tersenyum. "Teman-temanku akan bertanya-tanya kalau aku pakai cincin semahal itu. Lagian kenapa Mas nggak beli cincin yang biasa saja?"

"Perempuan pasti suka di istimewakan."

Senja tersenyum. "Tentu saja. Tapi ini bukan pernikahan biasa."

"Pernikahan luar biasa," sahut Sabda cepat sambil memandang gadis yang akhirnya menunduk, antara malu dan sungkan.

Next ....

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
senja emang takdirnya sabda
goodnovel comment avatar
Melati
ya Ahir nya catu cinta uga ...
goodnovel comment avatar
Ati Husni
sudah mulai ada tanda-tanda....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status