Share

Part 6 Rintik Senja

Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang.

"Senja." Suara ibu kostnya memanggil.

Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu."

"Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri.

"Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos.

"Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."

Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa."

"Kalian berantem?"

"Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin.

"Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup pintu. Baru saja duduk hendak sarapan, ponselnya yang sedang di charge berdering. Ibunya yang menelepon.

"Assalamu'alaikum, Buk."

"W*'alaikumsalam. Kamu udah berangkat kerja?"

"Belum. Masih mau sarapan ini. Ada apa, Buk? Ibuk sehat, 'kan?"

"Alhamdulillah, sehat. Hari ini Pak Malik mau nyambung sewa sawah. Kita akan dapat tambahan uang tabungan. Kamu mau di belikan apa?"

"Nggak ada, Buk. Beberapa hari lagi aku juga gajian."

"Ya sudah, uangnya di tabung saja ya. Kalau kamu butuh apa-apa bilang ke Ibuk."

"Iya, ibuku sayang," jawab Senja. Membuat Bu Hanum terkekeh di seberang.

"Terus hubunganmu dengan Sabda gimana?"

"Ya ... ya seperti sebelumnya, Buk."

"Oh, tapi jangan dibiarkan berlarut-larut. Sebenarnya kalau ikutkan hati, Ibu ingin kalian jadi pasangan beneran. Cuman ibu nggak bisa maksain, 'kan? Udah di tolong malah nuntut yang enggak-enggak. Jujur saja Ibu kepikiran, Ja. Kalian lho beneran nikah waktu itu. Jika berpisah, statusmu juga janda."

"Iya, Buk. Aku ngerti."

"Kalian belum ngapa-ngapain, 'kan?"

Senja tertawa. "Kami nggak tinggal bersama, Buk."

"Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa kabari Ibu. Ini Ibu mau belanja. Assalamu'alaikum."

"Ya, Buk. W*'alaikumsalam."

Setelah meletakkan ponselnya Senja cepat-cepat sarapan dan berangkat kerja. Dia tidak boleh telat, karena nunggu angkot kadang juga lama.

Senja tergesa-gesa melangkah di trotoar. Dia harus berjalan dari kosan ke jalan raya untuk menunggu kendaraan umum. Rok span tiga per empat warna hitam menyulitkannya untuk melangkah cepat. Sudah seharusnya dia memikirkan saran ibunya agar merubah penampilan. Toh di tempat kerjanya para karyawan perempuan juga banyak yang berhijab.

Gadis itu tidak menyadari bahwa ada kendaraan yang mengikuti dari belakang. Dipikirnya seperti mobil lain yang sedang lewat, makanya dia tidak menoleh. Senja terus melangkah hingga menjangkau jalan besar dan berhenti di halte.

Tempat pemberhentian yang biasanya ramai orang yang menunggu angkot, saat itu sepi. Hanya ada dua siswi SMA yang sibuk dengan gadget sambil menunggu kendaraan umum.

"Senja," panggil seorang pria yang berjalan menghampiri Senja. Namun gadis itu tak mendengar karena fokus melihat arah datangnya angkot.

"Rintik Senja Maheswari." Kali ini Senja mendengar dan menoleh saat nama lengkapnya di sebut.

"Mas Sabda. Sepagi ini sudah di sini!" Senja heran. Di pandangnya pria atletis dengan setelan kerja rapih yang membalut tubuh tingginya. Aroma mint yang khas tercium ketika pria itu makin mendekat.

"Aku lewat sini. Ayo, sekalian kuantar ke kantor." Bukan sekedar lewat, Sabda memang sengaja hendak menjemput.

Senja tampak ragu. Bukan apa-apa, bagaimana jika nanti rekan-rekannya ada yang tahu kalau dia di antar pria lain. Bukan pria biasanya. Mereka akan cepat sekali menyebarkan gosip di kalangan rekan-rekannya.

"Ayolah ... istriku!" ajakan Sabda dengan nada menggoda membuat wajah Senja bersemu merah. Dua gadis SMA yang sedang menunggu angkot menoleh, kemudian saling berbisik sambil tersenyum. Senja beranjak dan mengikuti Sabda masuk mobil.

Lalu lintas sangat ramai. Aktivitas para pekerja dan anak-anak yang berangkat ke sekolah, saling berebut cepat agar tidak telat. Senja sudah terbiasa dengan pemandangan di kota ini sejak dia kuliah dulu. Dia juga bisa mempercepat masa studinya sehingga dapat lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Lulus lebih cepat menjadi harapan banyak mahasiswa sejak pertama masuk kuliah. Sebab jika bisa menempuh kelulusan lebih cepat bisa menghemat biaya kuliah dan biaya hidup. Juga lebih cepat terjun ke dunia kerja.

Di kota ini juga, dia mengenal Arga. Pria yang menemukan dompetnya saat benda itu jatuh di parkiran sebuah mall. Waktu itu Senja baru saja lulus kuliah dan masih menjadi karyawan magang di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Kenangan yang manis saat jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Kamu mikirin apa?" tanya Sabda membuyarkan lamunan Senja. Gadis itu menoleh dan tersenyum. "Nggak ada."

"Nggak usah bohong. Kamu lagi mikirin Arga?"

Senja tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan lantas tersenyum. Dia menunjukkan tulisan di belakang truk molen pada Sabda. Pria itu pun ikut tersenyum saat membaca tulisan yang begitu jelas di depannya.

TERIMA JASA NGE-COR MANTAN

"Kamu mau pakai jasa mereka?" tanya Sabda. Senja tertawa. Sabda juga ikut tersenyum. Bukan tersenyum melihat tulisan itu, tapi tersenyum karena melihat Senja bisa tertawa.

"Aku ingin mengajakmu dinner malam ini di dekat pelabuhan. Nanti kujemput jam tujuh malam."

Senja terkejut dengan ajakan Sabda. Gadis itu tak lantas menjawab, karena bingung harus menolak atau mengiyakan. Entah kenapa yang ada perasaan tak enak hati. Dia takut tanpa sadar akan menyakiti hati gadis lain, perempuan yang mungkin sekarang sedang dekat dengan Sabda. Tunggu, andai pria di sebelahnya ini tengah dekat dengan seseorang, tak mungkin akan mengajaknya. Ia yakin, Sabda bukan tipe pria seperti itu.

"Bagaimana?"

Senja mengangguk pelan. "Baiklah."

Sabda tersenyum. "Oke, kujemput habis Salat Magrib.

Mungkin ini kesempatan untuk membicarakan mengenai pernikahan mereka. Ibunya juga menyarankan agar segera membicarakan tentang hubungan itu.

💦 💦 💦

Setelah seharian berkutat dengan setumpuk pekerjaan, Senja bisa bernapas lega saat jarum jam menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh menit sore. Setengah jam lagi pulang. Gadis itu mengemas mejanya.

Netranya memandang kalender di meja. Dua hari lagi tanggal dua puluh tujuh, dia akan gajian. Senyum terukir di bibirnya yang ranum.

"Hei, ngapain senyum-senyum sendiri!" tegur Nina yang duduk di kursi depannya.

"Nggak ada apa-apa," jawab Senja sambil mengemas pena dan perlengkapan tulis lainnya.

"Seneng ya, mau di ajak kencan?" Nina masih terus menggoda.

Senja tersenyum tapi tidak bersuara. Di rapikannya file di filling cabinet dan membiarkan Nina menunggu sambil mencermati ponselnya. Sore itu mereka bisa santai karena beberapa kepala divisi sedang ada urusan keluar dengan big bos.

Ponsel yang sudah dimasukkan ke dalam tas berdenting. Senja masih sibuk memeriksa beberapa berkas sebelum di simpan dalam map.

"Ja, ayang Sabda telepon tuh!" Dengan dagunya, Nina menunjuk tas Senja di meja kerja.

Sontak senjak melotot pada Nina, suara gadis itu cukup keras hingga membuat salah seorang rekan di sebelah mereka yang hanya tersekat papan pendek memandang heran. "Hayo, Senja. Punya gebetan baru, ya?" seloroh rekan di sebelah yang usianya jauh di atas mereka. Senja tersenyum sambil menggeleng. "Jangan dengerin Nina, Mbak."

Senja membuka tasnya. Mengambil benda pipih yang nyalanya belum padam. Ada satu pesan masuk, bukan dari Sabda tapi dari Arga.

[Senja, aku tunggu di dekat Halte.] Bunyi pesan yang dikirim pria itu.

Tanpa membalas, Senja memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Sebenarnya dia hanya ingin diam dan tidak ingin ditemui. Menenangkan diri agar bisa memberikan maaf dan melupakan tentang peristiwa kemarin. Arga yang selama ini begitu perhatian dan manis, membuat Senja nyaman bersamanya. Mereka juga tak pernah cekcok selama menjalani hubungan. Bahkan Senja juga baru tahu kalau keluarga Arga menentang hubungan mereka sewaktu di vila. Ucapan kakaknya sangat tajam dan mempermalukan Senja di hadapan tamu undangan di sana. Dipikirnya selama ini semua baik-baik saja.

Beberapa kali bertemu, mamanya Arga sangat baik. Senyum ramah menghiasi bibirnya ketika mengajak Senja bicara. Hanya kakak perempuannya yang memang sinis dan tak pernah bicara apapun dengan Senja. Arga juga selalu meyakinkan, bahwa keluarganya tidak mempermasalahkan hubungan mereka.

Ternyata terjawab sudah semuanya. Senja bukan kriteria yang pantas untuk Arga. Standar yang mereka tetapkan tak ada pada Senja.

"Ja, ayo kita pulang. Sudah jam empat ini." Nina menyentuh bahu temannya yang menyusun file sambil melamun. Senja mengangguk, kemudian melangkah menyusul Nina.

"Aku di jemput di depan," kata Senja saat keluar dari pintu kaca.

"Siapa yang jemput? Mas Sabda?"

"Bukan. Arga yang nunggu di halte."

"Untuk apa menemuimu lagi?"

"Entahlah!"

"Nggak usahlah kamu pedulikan lagi. Dia sudah jadi tunangan orang. Kamu juga sudah jadi istri orang. Menurutku lebih baik kalau kamu membangun hubungan yang lebih intens dengan Mas Sabda." Nina terus bicara sambil menuju gerbang utama.

Senja tak menanggapi ucapan sahabatnya. Keluarga Sabda malah belum di kenalnya. Apa mungkin mereka mau menerima gadis yang pernah di pacari keponakannya? Bukankah mereka satu keluarga yang bisa saja punya standard yang sama untuk calon menantu.

Nina berhenti di depan pintu pagar. Dia membiarkan Senja menghampiri Arga yang berdiri tak jauh dari halte. Sebenarnya mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Sayang orang tua Arga menginginkan menantu yang sama-sama kaya. Oh, mereka belum tahu saja kalau sebenarnya Senja juga cucu dari tuan tanah di desa itu. Nina berhenti memandang Senja saat dia harus menyeberang dan menunggu bis kota.

"Kenapa menungguku di sini?" tanya Senja tanpa menatap pria yang tak mengalihkan pandangan dari wajah cantik yang kelelahan di hadapannya.

"Kita bisa bicara sebentar. Please!"

Senja akur. Dia mengikuti dan masuk mobil Arga. Pria itu membawanya ke sebuah kafe tempat biasa Arga dan Senja menghabiskan waktu bersama di sela kesibukan mereka. Kafe minimalis dengan nuansa rustic. Mereka mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke taman. Ada kaca besar sebagai dinding di hadapan. Material bata pada bagian lain dinding cafe membuat suasana ruangan terasa hangat. Desain lampunya juga unik sebagai pelengkap interior kafe.

Ada kenangan jejak kebersamaan mereka di sana. Membuat Senja terlempar pada beberapa waktu yang lalu sebelum segalanya hancur di Minggu pagi. Andai tempat ini bisa bicara, pasti sudah mengungkapkan banyak hal tentang rancangan masa depan mereka yang pernah di diskusikan di bangku itu.

Arga memesan dua moctail. Minuman favorit mereka. Sejenis minuman dengan karakteristik sama seperti Cocktail, hanya saja Mocktail tidak mengandung alkohol. Kadang hanya berupa soda yang dicampur sirup atau jus buah. Dan dilengkapi dengan potongan daun mint sebagai penyegar. Lemonade menjadi menu moctail pilihan Arga.

"Benarkah hari Minggu itu kamu di antar Sabda pulang?" Arga membuka pertanyaan setelah cukup lama mereka saling diam.

Senja mengangguk. Walaupun dalam hati kaget dan bertanya-tanya. Sabda telah cerita sapa saja. Tapi melihat sikap Arga yang masih tenang, pasti Sabda belum memberitahu sepupunya tentang pernikahan siri mereka.

"Kapan kamu punya waktu untuk mengantarku bertemu Ibu. Aku ingin minta maaf."

"Ibu nggak mempermasalahkan hal itu lagi. Semua telah selesai."

Hening sejenak. Arga menyesap minumannya. "Aku hanya ingin kamu yakin, bahwa aku terpaksa dengan perjodohan ini. Aku nggak ingin memberitahumu karena aku akan tetap datang kepada ibu untuk minta waktu sampai selesai urusanku dengan Citra. Percayalah, kalau perasaanku nggak pernah berubah."

"Mas, ingin aku seperti apa? Menunggu dan melukai perempuan itu? Aku nggak bisa."

Arga mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan semua chat-nya dengan Citra. "Nggak ada satu pun percakapan yang kuhapus."

Senja membaca percakapan itu dengan hati berdebar. Ada satu kalimat yang berulang kali di bacanya. "Semoga gadis itu masih menunggumu, Mas. Sampai hubungan ini selesai. Jangan khawatir, aku akan membantumu. Maafkan jika papaku yang membuat papamu memaksakan perjodohan kita."

Di gesernya ponsel itu di depan Arga. "Sudah hampir Magrib, Mas. Aku mau pulang." Lebih baik dia pergi sebelum rasa itu kembali kokoh bertahta. Permasalahan mereka tak sesederhana itu. Ada Sabda yang sudah menjadi suaminya, walaupun mungkin karena terpaksa. Ada gadis itu juga. Ada keluarga besar yang terlibat dalam hubungan itu sekarang.

"Kabari jika kamu ada kesempatan mengantarkan aku pada Ibu," pinta Arga ketika mereka melangkah ke luar kafe. Saat itu langit barat sudah merona jingga. Dan Senja tidak memberikan jawaban.

💦 💦 💦

[Aku sudah di depan.] Pesan masuk dari Sabda. Senja yang telah rapi dengan pakaian kasual segera berdiri dan mengambil sling bag di atas kasur.

Sabda membukakan pintu depan. Wangi parfum beraroma mint kesukaan pria itu tercium saat Senja masuk dan duduk.

"Pakai seatbelt, kita akan lewat kota untuk ke pelabuhan." Sabda membantu Senja memakai sabuk pengaman. Pria itu tersenyum saat bersitatap dengan Senja. Bahkan menggoda gadis itu dengan menatapnya cukup lama.

Next ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
lanjut....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status