Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Senja cemas pada pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi. Gadis yang semula diam saja, kini cemas saat mobil telah jauh meninggalkan kota.Laki-laki bernama Sabda menoleh sejenak. Tidak menjawab."Mas, kita mau ke mana?" pekik Senja mulai geram sambil memukul bahu laki-laki itu. Sabda tetap bergeming dan fokus pada jalanan yang menanjak. Senja terlihat mulai panik. Mobil terus melaju di jalan berkelok dan makin menanjak. Di kiri kanannya hutan pinus dan jurang."Jawablah kamu mau membawaku ke mana?" suara senja tetap meninggi sambil menatap Sabda dengan mata memerah, antara marah dan hendak menangis. "Kamu mau apa?"Sabda tetap fokus pada jalanan. "Kamu akan tau setelah kita sampai nanti," jawab tenang pria muda itu."Awas kalau Mas macem-macem sama aku," ancam Senja dengan sengit. Sabda membuka dasbor dengan tangan kiri. Di keluarkannya sangkur dari sana dan meletakkan di pangkuan Senja. "Pegang ini! Jika kamu takut aku akan macam-macam.
Habis Salat Isya di rumah Senja penuh dengan para kerabat dan tetangga. Ini di luar perkiraan Senja, bahkan Sabda. Di pikirnya suasana seperti di kota, para kerabat akan datang tepat pada saat acara saja.Mereka duduk lesehan di tikar dan karpet yang di bentang di ruang tamu yang berukuran lima kali enam meter. Di atas piring yang di taruh melingkar ada kue bolu, mendut, pisang goreng, dan kacang rebus. Jajanan khas pedesaan. Ada juga satu teko kopi dan teh. Sabda duduk berjajar dengan kaum lelaki kerabat Senja dan para tetangga. Sementara Senja, Nina, dan Bu Hanum duduk di sisi lain bersama ibu-ibu.Senja merasa tak enak hati menempatkan Sabda dalam situasi yang seperti ini. Apalagi pria itu berniat untuk menolongnya, tapi malah terperangkap dalam kesalah pahaman yang tidak tahu dari mana harus di luruskan. Senja duduk dengan gelisah, meski Sabda terlihat santai saat diajak ngobrol Pakdhe dan Pakliknya Senja.Nina juga merasa cemas. Rasanya sayang saja jika rasa kekeluargaan dan kebe
Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga. "Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu. Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, a
Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami. Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Me
Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun. Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu. Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Ar
Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang."Senja." Suara ibu kostnya memanggil.Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu.""Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri."Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos."Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa.""Kalian berantem?""Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin."Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup