Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga.
"Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu.Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, akad nikahnya sah. Lalu apakah sekarang dia harus menceraikan Senja? Sabda menarik napas panjang. Tegakah dia melakukan itu di hadapan wanita yang begitu baik seperti Bu Hanum?"Bu, tentang masalah ini saya akan membicarakan dengan Senja kemudian."Bu Hanum mengangguk. "Ya, Nak Sabda. Terserah kalian saja. Ibu hanya minta maaf dan berterima kasih karena sudi menutupi aib kami.""Jangan merasa bersalah, Bu. Tapi saya nggak bisa lama-lama di sini. Sore ini juga saya harus kembali.""Ya, apapun yang terjadi setelah ini. Kita jangan putus persaudaraan."Sabda tersenyum dan mengiyakan. Mereka bertiga akhirnya berkemas-kemas untuk kembali ke kota. Bu Hanum menyiapkan bekal. Memasukkan kue dan makanan yang di masak tadi ke dalam wadah yang sudah di siapkan. Sedangkan Senja berada di kamar bersama Nina. Gadis itu duduk lunglai di tepi ranjang."Yeay, udah jadi Nyonya Sabda sekarang," goda Nina sambil menyisir rambutnya di depan meja rias. "Mau bulan madu ke mana ini, Nyonya?"Senja hanya tersenyum getir, membalas godaan temannya. "Nin, apa yang dibicarakan Mas Sabda waktu kalian pergi tadi?"Nina meletakkan sisir di atas meja rias. Kemudian duduk di kursi berhadapan dengan Senja."Intinya dia nggak mungkin mundur. Kamu sudah dibikin kecewa oleh Arga. Nggak mungkin dia tambah mempermalukan kamu dengan pergi begitu saja. Makanya tadi dia minta aku milihin cincin, baju, sepatu, tas, untuk barang hantaran. Dan parahnya lagi, dia minta pendapat aku bagaimana mencari orang yang bisa di ajak ke acara tadi. Akhirnya aku ajak Mas Sabda pergi ke kerabat aku. Makanya kami lama banget. Yang ngaku Om dan Tantenya tadi adalah adik mamaku."Senja termenung. Dia makin tak enak hati sama Sabda. Di pandangnya jari manis yang tersemat cincin solitair. Itu pun bukan benda murah."Lihatlah, aku juga dapat bonus kebaya mahal. Untung kan aku." Nina menunjuk kebaya modern warna peach yang di kenakannya. Senyum gadis itu merekah."Untuk acara menolongmu kali ini, Mas Sabda habis banyak, Ja. Padahal cuman pura-pura. Aku nggak bisa bayangin kalau dia melamar betulan. Pasti beruntung perempuan itu."Senja terdiam sejenak, lantas berdiri. "Kamu ganti baju dulu, biar aku menemuinya. Kita harus segera berangkat sebelum sore, Nin." Senja beranjak meninggalkan sahabatnya di kamar. Gadis itu menghampiri Sabda yang sedang membersihkan dalaman mobilnya di halaman samping."Mas," panggil Senja."Ya." Sabda memandang Senja yang diam, menunduk, dan kelihatan bingung."Kita bicara nanti saja. Tak enak dilihat orang. Bersiaplah, kita segera berangkat."Akhirnya Senja tidak jadi bicara. Gadis itu melangkah kembali masuk rumah. Dia pun segera melepas gamis dan berganti baju. Celana jeans dan kaos putih. Di lapisi sweater warna biru tua."Senja, Ibu sarankan kamu mulailah berhijab, Nduk. Jangan berpakaian seperti ini terus," tegur Bu Hanum pada putrinya. Saat Senja sibuk menyisir rambutnya. Sedangkan Nina memasukkan beberapa barang bawaan ke dalam mobil."Ya, Buk. Insyaallah.""Jangan Insyaallah. Harus itu."Senja mengangguk.Hampir jam tiga sore Sabda, Senja, dan Nina pamitan. Bu Hanum memandang kepergian mereka dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana akhir kisah putrinya nanti. Sabda memang pria baik, tapi kalau tidak mencintai Senja, tak mungkin bisa di paksa untuk serius dalam pernikahan mereka. Lima bulan bukan waktu yang lama dan beliau tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.💦 💦 💦Nina menepuk punggung tangan Senja sebelum turun dari mobil. "Jangan khawatir, rahasia kalian aman bersamaku," kata Nina memandang Senja dan Sabda bergantian.Sabda tersenyum dan Senja mengucapkan terima kasih pada sahabat sekaligus rekan kerjanya itu."Btw, temanku ini mau diajak bulan madu ke mana, Mas?" goda Nina sambil memandang pada Sabda. Namun cubitan Senja ke punggung tangannya membuat Nina menjerit. Gadis itu tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Sabda karena ia buru-buru turun dari mobil. Senja mengangsurkan sebuah paper bag besar berisi makanan yang di bawakan ibunya Senja tadi."Makasih, ya Nin," ucap Senja sambil melambaikan tangan pada Nina sebelum pintu mobil di tutup dari luar.Mobil hitam bergerak pergi. Senja masih tetap duduk di bangku tengah. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit.Sabda menghentikan mobilnya di sebuah kafe. Mereka hanya memesan dua minuman saja, karena tadi sudah sempat mampir makan malam bareng Nina.Senja membuka tasnya, mengeluarkan amplop putih dan meletakkan benda itu di depan Sabda."Apa ini?""Ini berisi uang mahar dan cincin dari Mas Sabda tadi.""Kenapa di kembalikan?""Aku sudah banyak merepotkan, Mas Sabda. Bukan hanya tenaga, tapi juga uang yang nggak sedikit. Ini bukan hakku, ini milik Mas. Pernikahan tadi karena terpaksa, jadi aku kembalikan semuanya."Sabda diam memandang benda putih di atas meja. Dia sendiri juga bingung harus bagaimana. Pernikahan tadi bukan hal yang remeh. Dia benar-benar mengucapkan lafadz ijab qobul dan di saksikan banyak orang. Apakah karena terpaksa, jadi tadi hanya main-main? Hati kecil Sabda menyangkal. Meski sebenarnya itu juga membingungkan baginya. "Ambil saja, Senja." Di gesernya lagi amplop itu ke depan Senja."Mas, harga cincin ini tentunya nggak murah.""Tapi jika kamu kembalikan pun, aku nggak bisa memakainya. Ambil saja.""Mas, bisa memberikan pada adik, kakak, atau pada mamanya Mas Sabda. Atau Mas bisa menjualnya lagi.""Aku nggak punya saudara perempuan. Tangan mamaku juga tidak akan muat memakai cincin itu.""Bisa dijual lagi, Mas.""Sudahlah, kamu simpan saja. Buat kenangan-kenangan bahwa kita pernah menikah."Keduanya tertawa lirih. Menertawakan hal yang teramat konyol bagi mereka. "Aku minta maaf, telah menyusahkan Mas Sabda. Mas juga bisa menceraikan aku kapan saja, besok atau lusa. Biarlah Nina yang jadi saksinya. Mas, juga jangan khawatir aku nggak akan menuntut apa-apa. Kita akan menjalani hidup masing-masing setelah ini."Sabda hanya memperhatikan Senja bicara. Walaupun dia tidak menginginkan juga pernikahan kilat macam ini. Tapi ijab qobul tadi bukan hal yang main-main. Apapun itu alasannya. Bagaimanapun juga, dia telah setuju dengan pernikahan tadi. Bukankah dengan begitu dia juga punya tanggung jawab terhadap Senja. Tapi ... entahlah.Setelah menghabiskan minum, Sabda mengajak Senja pergi. Dia ingin segera mandi dan istirahat. Badannya terasa pegal-pegal semua. Selama perjalanan mereka saling diam dan tidak membahas hal yang tadi.Di kepala Senja penuh dengan pemikiran bagaimana harus menghadapi keluarga besarnya beberapa bulan ke depan. Padahal mereka menunggu orang tua Sabda datang untuk memastikan rencana pernikahan dan resepsi. Kepala Senja rasanya hendak pecah. Saat itulah dia ingat Arga, orang yang membuat kekacauan ini. Rasa sakit dan kecewa menyentak dalam dada, membuat netranya kabur oleh kaca-kaca. Senja memandang ke samping, agar Sabda tidak curiga kalau dirinya sedang menangis.Mobil berhenti di depan pintu pagar kosan bercat putih. Dengan cepat gadis itu mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Terima kasih ya, Mas," ucap Senja sebelum membuka pintu mobil."Kenapa kamu menangis?" Akhirnya Sabda tahu juga."Tidak perlu kamu pikirkan apa yang terjadi hari ini. Tenangkan dirimu dan tak perlu kamu ingat apa yang terjadi di vila kemarin."Senja mengangguk pelan. Kemudian turun dari mobil, membawa barang bawaan dari rumah tadi. Sebenarnya bukan itu saja yang dipikirkan, tentang hubungan mereka yang telah berubah status."Kenapa?" teriak Sabda saat melihat Senja kesulitan membuka pintu pagar kosan. Pria itu lantas turun dan menghampiri Senja."Pagarnya sudah di kunci, Mas. Pasti sekarang sudah jam sembilan lebih."Sabda melihat jam tangannya. Benar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit."Terus?""Aku telepon Ibu Kos dulu." Senja meletakkan barang bawaannya ke tanah. Kemudian mengambil ponsel di dalam tasnya. Namun sudah dua kali menelepon tapi tidak ada jawaban."Bagaimana?""Nggak diangkat, Mas," jawab Senja."Kalau pulang telat memang tak di bukain pintu ya?""Nggak sih. Tetap di bukain pintu kalau ibu kos tahu. Mungkin beliau sudah tidur. Aku kirim pesan ke teman dulu. Semoga saja dia belum tidur." Senja mengirimkan pesan pada teman satu kosnya. Tiga menit kemudian baru di balas. "Temanku ternyata jadwal kerja malam. Dia nggak ada di kosan. Aku nggak punya nomor milik teman yang lain."Mereka diam beberapa saat."Ya sudah, kamu ikut aku saja." Sabda memutuskan."Ke mana?""Ke apartemen. Besok pagi-pagi aku antar kamu ke kosan."Senja mendongak, menatap pria di depannya. Dia takut untuk ikut. Walaupun yakin kalau Sabda tidak mungkin akan macam-macam padanya."Bagaimana?""Sebentar, aku coba telepon lagi." Senja kembali menghubungi nomer ponsel ibu kosnya. Lagi-lagi nihil. Senja berdecak lirih."Kamu tak mungkin berdiri di sini nunggu sampai pagi."Senja masih bimbang. "Ikut aku atau aku carikan penginapan? Tapi dekat sini kalau tak salah hanya ada losmen. Aku khawatir kamu nggak aman."Benar yang dikatakan Sabda. Apalagi di ujung gang sana sering di buat nongkrong geng motor kalau malam."Kamu ikut aku. Jangan khawatir kalau aku macam-macam sama kamu. Kalau pun macam-macam, bukankah kamu sudah jadi istriku." Sabda berkata sambil ngeloyor pergi ke arah mobilnya. Senja merinding tapi akhirnya mengekori pria itu. Mungkin lebih aman dia ikut Sabda saja.Jarak apartemen Sabda dan kosan Senja sekitar sebelas kilo. Mereka melewati penjagaan security di pintu gerbang utama. Ini wilayah pemukiman apartemen elite di kota itu. Jadi keluar masuk melalui pengawasan yang ketat."Masuklah!" perintah Sabda setelah dia membuka pintu dan menyalakan lampu. Senja tampak ragu, segan juga masuk apartemen dengan perabotan yang terlihat serba mewah dan mahal. Lampu kristal indah menggantung di tengah ruang tamu.Senja duduk di sofa berwarna abu-abu gelap. Ruangan yang sangat bersih dan minim perabot. "Mas Sabda, tinggal di sini?" tanya Senja pada Sabda yang mengambilkan dua gelas air dari dispenser ruang dalam."Kadangkala saja, kalau pas lagi malas pulang ke rumah Mama. Ini apartemen keluargaku, bukan milikku." Sabda meletakkan gelas berisi air putih di depan Senja.Setelah menghabiskan air putih dan duduk beberapa saat, Sabda berdiri dan membuka pintu kamar. "Kamu bisa tidur di kamar ini. Ada kamar mandi juga di dalam.""Iya, nggak apa-apa. Mas Sabda tidur di mana?" Senja mendekat dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tak nampak ada pintu kamar lagi di sana. Tapi tidak mungkin apartemen semewah ini hanya ada satu kamar tidur."Di sini juga sama kamu." Sabda langsung tersenyum ketika melihat Senja terkejut dengan matanya yang membulat."Masuklah dan kunci pintu dari dalam. Masih ada dua kamar lagi di sini." Sabda pergi setelah selesai bicara. Senja masuk dan mengunci pintu saat Sabda sudah hilang di balik dinding.Senja duduk di ranjang berseprai kuning gading. Kamar itu cukup luas dengan tempat tidur besar di tengah ruangan. Ada meja rias dan sebuah lukisan pegunungan yang terbingkai besar menempel di salah satu dinding. Dia ingin mandi, tapi tidak bawa baju ganti. Senja kembali berdiri ketika ingat barang bawaannya tadi. Sayang kalau rica-rica ayam kampung masakan ibunya basi. Gadis itu keluar kamar. Di mana kulkas?"Mas, Mas Sabda." Senja memanggil Sabda dengan hati-hati. Dia tidak enak kalau harus menjelajahi ruangan tanpa izin pemiliknya."Ada apa?" Sabda muncul dari balik dinding."Saya mau minta izin mau naruh ini di kulkas. Boleh, kan?""Astaga, Senja. Kukira ada apa. Ya taruh aja. Sini!" Sabda menunjukkan tempat kulkas yang ada di ruang makan. Harum bau sabun beraroma maskulin menguar dari tubuh Sabda yang baru selesai mandi. Pria itu memakai celana pendek dan kaos oblong putih.Ternyata setelah masuk ke dalam, apartemen di tingkat tujuh ini sangat luas. Guci-guci mahal ada di setiap pojok ruangan. Di ruangan yang ada televisi layar besar dan menempel di dinding, Senja bisa melihat foto keluarga Sabda. Bapak, Ibu, dan ketiga putranya."Kamu belum mandi?" tanya Sabda pada gadis yang masih bengong. Senja buru-buru menaruh satu Tupperware ke dalam kulkas."Aku nggak bawa baju ganti.""Mau pakai kaosku?"Senja menggeleng. "Nggak usah, Mas.""Kenapa? Takut hamil?"Gadis itu mematung. Kenapa Sabda jadi berubah konyol begitu. Senja tersenyum sekaligus gemetar dalam waktu bersamaan. "Aku tidur dulu, Mas," pamit Senja lantas melangkah cepat kembali ke kamar. Sabda ingin rasanya menertawakan kepanikan gadis itu."Jangan lupa nyalain AC-nya."Sabda yang merasa sangat capek kembali ke kamarnya untuk Salat Isya dan segera tidur.Di kamar, Senja merebahkan diri menikmati aroma woody yang menjadi pengharum di ruangan itu. Dia tidak bisa tidur meskipun capek. Hidupnya berubah drastis dalam dua hari ini. Luar biasa. Tunangan, tiba-tiba menikah, dan entah esok atau lusa dia akan jadi janda. Bagi Sabda, tentu Senja bukan wanita idamannya. Mungkin sebenarnya pria itu juga punya gebetan, atau justru sedang merancang pernikahan.Senja meraih ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Arga. Di aplikasi hijau ada juga beberapa pesan.[Senja, kita bisa bertemu besok. Please!] Bunyi pesan dari Arga.Next ....Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami. Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Me
Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun. Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu. Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Ar
Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang."Senja." Suara ibu kostnya memanggil.Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu.""Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri."Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos."Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa.""Kalian berantem?""Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin."Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup
Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar. "Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku.""Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi.""Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum."Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?""Seorang akuntan p
Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang. Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum f
"Oh ya?""Kamu nggak percaya?"Senja tersenyum. Pria tampan, sukses, dari keluarga berada mustahil tidak punya kekasih. Tentu banyak perempuan yang ingin mendekatinya."Kalau aku punya pacar, tak mungkin nikahi kamu meski itu cuma pura-pura. Tentu aku akan memprioritaskan dia dan aku akan cari penjelasan lain untuk keluargamu."Senja terpaku oleh ucapan Sabda. Punya kekasih yang menjaga perasaan pasangannya seperti ini tentu akan membahagiakan bagi tiap perempuan. Tak ada kata terluka dan kecewa pastinya. Tapi setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Setiap hubungan pasti ada ujian. Jalan tak akan selamanya lurus tanpa rintangan."Aku pernah punya pacar, pernah merancang masa depan bersama, pernah sangat serius. Tapi sayangnya setahun yang lalu telah selesai.""Kenapa, Mas?""Karena kami tak berjodoh," jawab Sabda sambil tersenyum. Itu saja jawaban yang tepat, untuk apa mengorek luka lama yang baginya amat menyakiti.Senja pun tak ingin bertanya banyak, tentu ada sesuatu yang tida
Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas."Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?""Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat.""Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra.""Aku pinjamnya ya, Mas?""Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup.Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu.Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu.[Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30[Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45[Kami sudah dapa
"Mas, berhenti dulu. Ada Mas Arga di depan." Senja bicara pada Sabda ketika mereka baru berbelok dari jalan raya. Dadanya berdegup kencang, takut terjadi kegaduhan antar sepupu. Senja tidak suka kekerasan, alangkah baiknya jika semua dibicarakan dengan duduk bersama. Sabda mengurangi laju kendaraan dan menepi. Benar, sekitar seratus meter di hadapan, ada mobil berhenti di depan pagar kosan. "Sekarang atau nanti Arga pada akhirnya akan tahu, Senja."Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ponsel di sling bag-nya juga bergetar berulang kali. Tentu Arga yang menghubungi. "Aku nggak ingin ada keributan di sini, Mas. Apalagi jika ibu kosku tahu, aku yang nggak enak sama beliau. Aku nyaman di kosan itu, karena aku juga masih kerja. Kerjaan ini sangat penting buatku. Biar aku berhenti di sini saja." Senja memang takut kalau terjadi baku hantam di sini yang akan jadi tontonan warga. Dia sangat mengenal karakter kerasnya Arga. Sementara dia juga belum tahu bagaimana Sabda. Bisa jadi mereka sama-