Share

Part 3 Sabda Malam

Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga.

"Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu.

Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, akad nikahnya sah. Lalu apakah sekarang dia harus menceraikan Senja? Sabda menarik napas panjang. Tegakah dia melakukan itu di hadapan wanita yang begitu baik seperti Bu Hanum?

"Bu, tentang masalah ini saya akan membicarakan dengan Senja kemudian."

Bu Hanum mengangguk. "Ya, Nak Sabda. Terserah kalian saja. Ibu hanya minta maaf dan berterima kasih karena sudi menutupi aib kami."

"Jangan merasa bersalah, Bu. Tapi saya nggak bisa lama-lama di sini. Sore ini juga saya harus kembali."

"Ya, apapun yang terjadi setelah ini. Kita jangan putus persaudaraan."

Sabda tersenyum dan mengiyakan. Mereka bertiga akhirnya berkemas-kemas untuk kembali ke kota. Bu Hanum menyiapkan bekal. Memasukkan kue dan makanan yang di masak tadi ke dalam wadah yang sudah di siapkan. Sedangkan Senja berada di kamar bersama Nina. Gadis itu duduk lunglai di tepi ranjang.

"Yeay, udah jadi Nyonya Sabda sekarang," goda Nina sambil menyisir rambutnya di depan meja rias. "Mau bulan madu ke mana ini, Nyonya?"

Senja hanya tersenyum getir, membalas godaan temannya. "Nin, apa yang dibicarakan Mas Sabda waktu kalian pergi tadi?"

Nina meletakkan sisir di atas meja rias. Kemudian duduk di kursi berhadapan dengan Senja.

"Intinya dia nggak mungkin mundur. Kamu sudah dibikin kecewa oleh Arga. Nggak mungkin dia tambah mempermalukan kamu dengan pergi begitu saja. Makanya tadi dia minta aku milihin cincin, baju, sepatu, tas, untuk barang hantaran. Dan parahnya lagi, dia minta pendapat aku bagaimana mencari orang yang bisa di ajak ke acara tadi. Akhirnya aku ajak Mas Sabda pergi ke kerabat aku. Makanya kami lama banget. Yang ngaku Om dan Tantenya tadi adalah adik mamaku."

Senja termenung. Dia makin tak enak hati sama Sabda. Di pandangnya jari manis yang tersemat cincin solitair. Itu pun bukan benda murah.

"Lihatlah, aku juga dapat bonus kebaya mahal. Untung kan aku." Nina menunjuk kebaya modern warna peach yang di kenakannya. Senyum gadis itu merekah.

"Untuk acara menolongmu kali ini, Mas Sabda habis banyak, Ja. Padahal cuman pura-pura. Aku nggak bisa bayangin kalau dia melamar betulan. Pasti beruntung perempuan itu."

Senja terdiam sejenak, lantas berdiri. "Kamu ganti baju dulu, biar aku menemuinya. Kita harus segera berangkat sebelum sore, Nin." Senja beranjak meninggalkan sahabatnya di kamar. Gadis itu menghampiri Sabda yang sedang membersihkan dalaman mobilnya di halaman samping.

"Mas," panggil Senja.

"Ya." Sabda memandang Senja yang diam, menunduk, dan kelihatan bingung.

"Kita bicara nanti saja. Tak enak dilihat orang. Bersiaplah, kita segera berangkat."

Akhirnya Senja tidak jadi bicara. Gadis itu melangkah kembali masuk rumah. Dia pun segera melepas gamis dan berganti baju. Celana jeans dan kaos putih. Di lapisi sweater warna biru tua.

"Senja, Ibu sarankan kamu mulailah berhijab, Nduk. Jangan berpakaian seperti ini terus," tegur Bu Hanum pada putrinya. Saat Senja sibuk menyisir rambutnya. Sedangkan Nina memasukkan beberapa barang bawaan ke dalam mobil.

"Ya, Buk. Insyaallah."

"Jangan Insyaallah. Harus itu."

Senja mengangguk.

Hampir jam tiga sore Sabda, Senja, dan Nina pamitan. Bu Hanum memandang kepergian mereka dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana akhir kisah putrinya nanti. Sabda memang pria baik, tapi kalau tidak mencintai Senja, tak mungkin bisa di paksa untuk serius dalam pernikahan mereka. Lima bulan bukan waktu yang lama dan beliau tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

💦 💦 💦

Nina menepuk punggung tangan Senja sebelum turun dari mobil. "Jangan khawatir, rahasia kalian aman bersamaku," kata Nina memandang Senja dan Sabda bergantian.

Sabda tersenyum dan Senja mengucapkan terima kasih pada sahabat sekaligus rekan kerjanya itu.

"Btw, temanku ini mau diajak bulan madu ke mana, Mas?" goda Nina sambil memandang pada Sabda. Namun cubitan Senja ke punggung tangannya membuat Nina menjerit. Gadis itu tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Sabda karena ia buru-buru turun dari mobil. Senja mengangsurkan sebuah paper bag besar berisi makanan yang di bawakan ibunya Senja tadi.

"Makasih, ya Nin," ucap Senja sambil melambaikan tangan pada Nina sebelum pintu mobil di tutup dari luar.

Mobil hitam bergerak pergi. Senja masih tetap duduk di bangku tengah. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit.

Sabda menghentikan mobilnya di sebuah kafe. Mereka hanya memesan dua minuman saja, karena tadi sudah sempat mampir makan malam bareng Nina.

Senja membuka tasnya, mengeluarkan amplop putih dan meletakkan benda itu di depan Sabda.

"Apa ini?"

"Ini berisi uang mahar dan cincin dari Mas Sabda tadi."

"Kenapa di kembalikan?"

"Aku sudah banyak merepotkan, Mas Sabda. Bukan hanya tenaga, tapi juga uang yang nggak sedikit. Ini bukan hakku, ini milik Mas. Pernikahan tadi karena terpaksa, jadi aku kembalikan semuanya."

Sabda diam memandang benda putih di atas meja. Dia sendiri juga bingung harus bagaimana. Pernikahan tadi bukan hal yang remeh. Dia benar-benar mengucapkan lafadz ijab qobul dan di saksikan banyak orang. Apakah karena terpaksa, jadi tadi hanya main-main? Hati kecil Sabda menyangkal. Meski sebenarnya itu juga membingungkan baginya. "Ambil saja, Senja." Di gesernya lagi amplop itu ke depan Senja.

"Mas, harga cincin ini tentunya nggak murah."

"Tapi jika kamu kembalikan pun, aku nggak bisa memakainya. Ambil saja."

"Mas, bisa memberikan pada adik, kakak, atau pada mamanya Mas Sabda. Atau Mas bisa menjualnya lagi."

"Aku nggak punya saudara perempuan. Tangan mamaku juga tidak akan muat memakai cincin itu."

"Bisa dijual lagi, Mas."

"Sudahlah, kamu simpan saja. Buat kenangan-kenangan bahwa kita pernah menikah."

Keduanya tertawa lirih. Menertawakan hal yang teramat konyol bagi mereka. "Aku minta maaf, telah menyusahkan Mas Sabda. Mas juga bisa menceraikan aku kapan saja, besok atau lusa. Biarlah Nina yang jadi saksinya. Mas, juga jangan khawatir aku nggak akan menuntut apa-apa. Kita akan menjalani hidup masing-masing setelah ini."

Sabda hanya memperhatikan Senja bicara. Walaupun dia tidak menginginkan juga pernikahan kilat macam ini. Tapi ijab qobul tadi bukan hal yang main-main. Apapun itu alasannya. Bagaimanapun juga, dia telah setuju dengan pernikahan tadi. Bukankah dengan begitu dia juga punya tanggung jawab terhadap Senja. Tapi ... entahlah.

Setelah menghabiskan minum, Sabda mengajak Senja pergi. Dia ingin segera mandi dan istirahat. Badannya terasa pegal-pegal semua. Selama perjalanan mereka saling diam dan tidak membahas hal yang tadi.

Di kepala Senja penuh dengan pemikiran bagaimana harus menghadapi keluarga besarnya beberapa bulan ke depan. Padahal mereka menunggu orang tua Sabda datang untuk memastikan rencana pernikahan dan resepsi. Kepala Senja rasanya hendak pecah. Saat itulah dia ingat Arga, orang yang membuat kekacauan ini. Rasa sakit dan kecewa menyentak dalam dada, membuat netranya kabur oleh kaca-kaca. Senja memandang ke samping, agar Sabda tidak curiga kalau dirinya sedang menangis.

Mobil berhenti di depan pintu pagar kosan bercat putih. Dengan cepat gadis itu mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Terima kasih ya, Mas," ucap Senja sebelum membuka pintu mobil.

"Kenapa kamu menangis?" Akhirnya Sabda tahu juga.

"Tidak perlu kamu pikirkan apa yang terjadi hari ini. Tenangkan dirimu dan tak perlu kamu ingat apa yang terjadi di vila kemarin."

Senja mengangguk pelan. Kemudian turun dari mobil, membawa barang bawaan dari rumah tadi. Sebenarnya bukan itu saja yang dipikirkan, tentang hubungan mereka yang telah berubah status.

"Kenapa?" teriak Sabda saat melihat Senja kesulitan membuka pintu pagar kosan. Pria itu lantas turun dan menghampiri Senja.

"Pagarnya sudah di kunci, Mas. Pasti sekarang sudah jam sembilan lebih."

Sabda melihat jam tangannya. Benar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit.

"Terus?"

"Aku telepon Ibu Kos dulu." Senja meletakkan barang bawaannya ke tanah. Kemudian mengambil ponsel di dalam tasnya. Namun sudah dua kali menelepon tapi tidak ada jawaban.

"Bagaimana?"

"Nggak diangkat, Mas," jawab Senja.

"Kalau pulang telat memang tak di bukain pintu ya?"

"Nggak sih. Tetap di bukain pintu kalau ibu kos tahu. Mungkin beliau sudah tidur. Aku kirim pesan ke teman dulu. Semoga saja dia belum tidur." Senja mengirimkan pesan pada teman satu kosnya. Tiga menit kemudian baru di balas. "Temanku ternyata jadwal kerja malam. Dia nggak ada di kosan. Aku nggak punya nomor milik teman yang lain."

Mereka diam beberapa saat.

"Ya sudah, kamu ikut aku saja." Sabda memutuskan.

"Ke mana?"

"Ke apartemen. Besok pagi-pagi aku antar kamu ke kosan."

Senja mendongak, menatap pria di depannya. Dia takut untuk ikut. Walaupun yakin kalau Sabda tidak mungkin akan macam-macam padanya.

"Bagaimana?"

"Sebentar, aku coba telepon lagi." Senja kembali menghubungi nomer ponsel ibu kosnya. Lagi-lagi nihil. Senja berdecak lirih.

"Kamu tak mungkin berdiri di sini nunggu sampai pagi."

Senja masih bimbang. "Ikut aku atau aku carikan penginapan? Tapi dekat sini kalau tak salah hanya ada losmen. Aku khawatir kamu nggak aman."

Benar yang dikatakan Sabda. Apalagi di ujung gang sana sering di buat nongkrong geng motor kalau malam.

"Kamu ikut aku. Jangan khawatir kalau aku macam-macam sama kamu. Kalau pun macam-macam, bukankah kamu sudah jadi istriku." Sabda berkata sambil ngeloyor pergi ke arah mobilnya. Senja merinding tapi akhirnya mengekori pria itu. Mungkin lebih aman dia ikut Sabda saja.

Jarak apartemen Sabda dan kosan Senja sekitar sebelas kilo. Mereka melewati penjagaan security di pintu gerbang utama. Ini wilayah pemukiman apartemen elite di kota itu. Jadi keluar masuk melalui pengawasan yang ketat.

"Masuklah!" perintah Sabda setelah dia membuka pintu dan menyalakan lampu. Senja tampak ragu, segan juga masuk apartemen dengan perabotan yang terlihat serba mewah dan mahal. Lampu kristal indah menggantung di tengah ruang tamu.

Senja duduk di sofa berwarna abu-abu gelap. Ruangan yang sangat bersih dan minim perabot. "Mas Sabda, tinggal di sini?" tanya Senja pada Sabda yang mengambilkan dua gelas air dari dispenser ruang dalam.

"Kadangkala saja, kalau pas lagi malas pulang ke rumah Mama. Ini apartemen keluargaku, bukan milikku." Sabda meletakkan gelas berisi air putih di depan Senja.

Setelah menghabiskan air putih dan duduk beberapa saat, Sabda berdiri dan membuka pintu kamar. "Kamu bisa tidur di kamar ini. Ada kamar mandi juga di dalam."

"Iya, nggak apa-apa. Mas Sabda tidur di mana?" Senja mendekat dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tak nampak ada pintu kamar lagi di sana. Tapi tidak mungkin apartemen semewah ini hanya ada satu kamar tidur.

"Di sini juga sama kamu." Sabda langsung tersenyum ketika melihat Senja terkejut dengan matanya yang membulat.

"Masuklah dan kunci pintu dari dalam. Masih ada dua kamar lagi di sini." Sabda pergi setelah selesai bicara. Senja masuk dan mengunci pintu saat Sabda sudah hilang di balik dinding.

Senja duduk di ranjang berseprai kuning gading. Kamar itu cukup luas dengan tempat tidur besar di tengah ruangan. Ada meja rias dan sebuah lukisan pegunungan yang terbingkai besar menempel di salah satu dinding. Dia ingin mandi, tapi tidak bawa baju ganti. Senja kembali berdiri ketika ingat barang bawaannya tadi. Sayang kalau rica-rica ayam kampung masakan ibunya basi. Gadis itu keluar kamar. Di mana kulkas?

"Mas, Mas Sabda." Senja memanggil Sabda dengan hati-hati. Dia tidak enak kalau harus menjelajahi ruangan tanpa izin pemiliknya.

"Ada apa?" Sabda muncul dari balik dinding.

"Saya mau minta izin mau naruh ini di kulkas. Boleh, kan?"

"Astaga, Senja. Kukira ada apa. Ya taruh aja. Sini!" Sabda menunjukkan tempat kulkas yang ada di ruang makan. Harum bau sabun beraroma maskulin menguar dari tubuh Sabda yang baru selesai mandi. Pria itu memakai celana pendek dan kaos oblong putih.

Ternyata setelah masuk ke dalam, apartemen di tingkat tujuh ini sangat luas. Guci-guci mahal ada di setiap pojok ruangan. Di ruangan yang ada televisi layar besar dan menempel di dinding, Senja bisa melihat foto keluarga Sabda. Bapak, Ibu, dan ketiga putranya.

"Kamu belum mandi?" tanya Sabda pada gadis yang masih bengong. Senja buru-buru menaruh satu Tupperware ke dalam kulkas.

"Aku nggak bawa baju ganti."

"Mau pakai kaosku?"

Senja menggeleng. "Nggak usah, Mas."

"Kenapa? Takut hamil?"

Gadis itu mematung. Kenapa Sabda jadi berubah konyol begitu. Senja tersenyum sekaligus gemetar dalam waktu bersamaan. "Aku tidur dulu, Mas," pamit Senja lantas melangkah cepat kembali ke kamar. Sabda ingin rasanya menertawakan kepanikan gadis itu.

"Jangan lupa nyalain AC-nya."

Sabda yang merasa sangat capek kembali ke kamarnya untuk Salat Isya dan segera tidur.

Di kamar, Senja merebahkan diri menikmati aroma woody yang menjadi pengharum di ruangan itu. Dia tidak bisa tidur meskipun capek. Hidupnya berubah drastis dalam dua hari ini. Luar biasa. Tunangan, tiba-tiba menikah, dan entah esok atau lusa dia akan jadi janda. Bagi Sabda, tentu Senja bukan wanita idamannya. Mungkin sebenarnya pria itu juga punya gebetan, atau justru sedang merancang pernikahan.

Senja meraih ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Arga. Di aplikasi hijau ada juga beberapa pesan.

[Senja, kita bisa bertemu besok. Please!] Bunyi pesan dari Arga.

Next ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
kenapa aku baru tau ceritamu sekarang mbak Lis
goodnovel comment avatar
Aisha Arkana
bagus ceritanya, marathon bacanya.. semangat Thor
goodnovel comment avatar
Ati Husni
lanjut.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status