Share

Part 4 Sesal

Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami.

Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.

Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.

Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Mengambil segelas air minum dan menenggaknya habis tanpa sisa.

Hening. Malam yang sepi. Dari kamar Senja juga tak terdengar apa-apa. Sabda lupa kalau kamar utama itu kedap suara. Dulu abangnya yang menempati apartemen ini saat masih pengantin baru. Sekarang mereka telah membeli rumah sendiri.

Cukup lama Sabda termenung di ruang makan. Kemudian kembali masuk kamar dan tidur lelap seperti orang pingsan. Bangun-bangun sudah jam enam pagi. Pria itu melompat dari ranjang masuk kamar mandi untuk berwudhu karena ingat belum Salat Subuh.

Selesai Salat Sabda keluar kamar. Sepi. Namun di atas meja makan sudah ada ayam rica-rica yang di panaskan dan dua potong roti bolu. Pasti Senja yang sudah menyiapkan. Tapi ke mana gadis itu?

Sabda mengambil secarik kertas yang ada di atas meja.

[Maaf Mas, aku pulang lebih dulu naik taksi. Aku harus kerja hari ini. Maaf, aku sudah ngrepotin. Senja.]

Diletakkannya kertas begitu saja. Apakah Senja termasuk istri durhaka? Karena pergi meninggalkan suami tanpa membangunkannya? Sabda menggeleng, menepis angan di otak yang mulai ngelantur.

Perutnya terasa lapar. Namun di apartemennya tidak ada bahan makanan yang bisa di masak. Ada mie instan saja, tapi dia paling malas yang namanya memasak. Biasanya dia hanya sedia roti dan beberapa minuman kaleng. Karena apartemen itu hanya persinggahan untuk tidur saja, makanya tak ada bahan makanan di sana.

Apakah dia harus sarapan kue bolu berlaukkan rica-rica ayam? Mungkin bisa di coba. Meski rasanya lain, tapi Sabda tetap mengunyah hingga makanan di meja tandas. Pria itu berdiri dan harus segera mandi. Dia bisa telat ke kantor kalau tidak bertindak cepat. Kemarin dia sudah mengambil cuti dadakan, hari ini dia harus masuk kerja.

💦 💦 💦

"Ja, gimana sukses nggak malam pertamamu?" tanya Nina sambil mengejar langkah Senja memasuki kantor mereka.

"Hish, ngomong apaan, sih."

Nina terkekeh geli. Tawa yang membuat beberapa staf di sana memandang heran. Untungnya di antara semua rekan hanya Nina saja yang tahu Senja akan tunangan dengan Arga. Seandainya Senja termasuk mulut ember, mungkin hari ini dia tidak punya muka berhadapan dengan rekan kantor. Walaupun pertunangan tetap terjadi meski dengan orang lain. Bahkan tidak hanya tunangan, tapi pernikahan.

"Maaf, aku bercanda," ralat Nina.

"Jangan bercanda seperti ini. Nanti malah di curigai rekan-rekan." Senja berkata lirih. Nina menoleh, melihat wajah temannya yang tersemat luka.

"Iya, sorry. Kamu nggak usah sedih lagi, life must go on. Semangat dong!"

Senja menanggapi ucapan sahabatnya dengan senyuman. Lantas keduanya terpisah dan duduk di tempat masing-masing. Mereka bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan konstruksi.

"Senja, selesaikan proposal yang Mbak minta sebelum kamu ambil cuti kemarin. Siang nanti mau di tanda tangani Pak Bos." Mbak Yuni, yang menjadi atasannya menghampiri sambil membawa map kosong dan meletakkan di meja Senja.

"Iya, Mbak. Akan kuselesaikan. Tinggal membenahi, kok."

"Oke. Mbak tunggu, ya."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Dengan cekatan dia menyalakan komputer di depannya. Membuka file dan mulai melanjutkan konsep proposal yang telah di ketik hampir separuh.

Konsentrasinya buyar ketika ponsel di saku tasnya kembali bergetar. Di ambilnya benda pipih itu. Ada pesan masuk dari Sabda.

[Makasih sarapan spesialnya. Baru kali ini aku makan bolu berlaukkan ayam rica-rica.] Ada emot senyum berjajar di akhir pesan dari Sabda. Senja juga ikut tersenyum. Kemudian mengetik balasan.

[Maaf, Mas. Nggak ada yang bisa ku masak. Jadi itu saja yang ada.] Send.

Senja kembali menatap layar komputer dan melanjutkan ketikan. Jarak beberapa menit ponsel kembali bergetar, Sabda membalas lagi pesannya. [Thanks, enak kok.] Emot melet.

Di kirimnya emot tanda senyum dan tangan bertangkup sebagai balasan. Setelah itu ponsel sepi. Senja kembali pada pekerjaan.

Senja mengenal Sabda dari Arga. Mereka pernah ketemuan dan makan bersama beberapa kali. Tapi sebenarnya Senja tak begitu akrab dengan Sabda. Hanya sekedar kenal. Pria itu juga tidak banyak bicara setiap tanpa sengaja bertemu. Bahkan dia juga tidak tahu banyak tentang pria berpostur tinggi tegap dengan bahu kokoh. Usia Arga dan Sabda hanya terpaut beberapa bulan saja.

Pria itu tahu nomer ponsel Senja ketika dia harus mengabari saat Arga kecelakaan setahun yang lalu.

Bunyi pesan masuk membuat Senja kembali meraih benda pipih itu. Di pikirnya pesan dari Sabda, rupanya bukan. Itu pesan dari Arga.

[Aku akan menjemputmu sepulang kerja nanti.]

Senja langsung membalas. [Untuk apa? Hubungan kita telah selesai.]

[Please, ada yang ingin kujelaskan padamu. Please, Senja.]

[Aku nggak bisa. Hubungan kita sudah usai, Mas.]

[Tolong, ada yang ingin kujelaskan. Pertunangan itu bukan mauku. Please, kamu harus tau kalau aku nggak pernah berniat mengkhianatimu.]

Apa maksudnya? Tak berniat mengkhianati tapi mau-mau saja bertunangan dengan perempuan lain. Demi apa? Harusnya Arga bisa menolak kalau memang berniat serius dengan dirinya. Tapi pertunangan itu tetap berlangsung. Apa acara yang semewah itu hanya main-main? Itu bukan lelucon.

[Tolong Senja, aku ingin bertemu denganmu.] Satu lagi pesan masuk.

Tak lagi membalas, Senja meletakkan begitu saja ponsel di meja. Hatinya kembali terasa perih. Ingat peristiwa Minggu pagi yang menghancurkan harapan dan perasaan. Pria yang dicintainya malah bertunangan dengan perempuan lain sehari menjelang acara lamaran yang sudah matang di rencanakan.

Selama ini hubungan mereka baik-baik saja dan tidak ada gelagat yang mencurigakan dalam sikap Arga saat bersamanya. Mereka di kenal pasangan yang romantis dan membuat iri rekan kerja Senja, saat seringnya melihat gadis itu di jemput mobil SUV keluaran terbaru dan pria tampan di balik kemudi.

Namun bisa-bisanya dikhianati setelah tiga tahun menjalin asmara. Andai ... andai saja Arga benar hanya di paksa karena saudara perempuannya tidak menyukai Senja, bukan berarti Senja akan mentolerir dan kembali pada Arga. Tidak mungkin dia akan jadi orang ketiga dalam hubungan pertunangan Arga dengan perempuan itu. Perempuan yang namanya tertulis di backdrop bernuansa merah jambu. Citra. Nama itu yang terbaca oleh Senja.

Sebelumnya Senja juga belum pernah melihat wajah gadis yang bertunangan dengan Arga. Cantik. Ya, sekilas gadis itu sangat cantik. Sepertinya juga berasal dari keluarga berada. Melihat dengan banyaknya mobil mewah yang terparkir di halaman vila.

Senja menyelesaikan proposal sebelum jam istirahat makan siang. Mbak Yuni, atasannya langsung mengecek proposal itu dan membawanya pada big bos.

Saat sedang makan siang di sebuah kafe sebelah kantor, Senja menceritakan pesan dari Arga pada Nina.

"Kamu mau diajak ketemuan sama Arga?" tanya Nina sambil menyuap es cendol.

"Nggak. Bagiku semua telah selesai." Senja menunjukkan obrolannya dengan Arga di aplikasi pesan. Nina serius membacanya.

"Mungkin ada alasan kenapa dia harus tunangan dengan gadis itu, Ja. Bisa jadi karena terpaksa."

"Terpaksa pun apa aku harus merusak hubungan mereka? Buktinya Arga mau. Ya sudah. Aku anggap semua telah selesai." Nada getir mewarnai kalimat Senja.

"Jangan galau, kan ada Mas Sabda yang sudah jadi suami idaman!" Nina berkata sambil mengerling manjah.

"Ssttt, jangan sembarangan ngomong. Siapa tahu dia juga lagi kebingungan dengan pernikahan tak biasa ini. Mungkin dia punya pacar, gebetan, atau ...."

"Atau apa? Dia tuh masih sendiri," sambar Nina cepat.

Senja menatap sahabatnya. "Dari mana kamu tahu?"

"Orang kalau punya gebetan nggak mungkin bisa setenang itu ngadepin keluargamu. Apalagi di suruh nikah siri demi menghindari perzinaan pun dia hadapi. Kalau dia punya kekasih, tentu nggak akan melakukan itu. Model pria kayak Mas Sabda nggak mungkin mainin hati wanitanya."

Hati Senja tersentuh oleh perasaan yang berbeda. Dalam sekali. Menimbulkan riak sedih, senang, sekaligus merasa beruntung. Beruntung apa? Beruntung jadi istrinya meski dengan pernikahan yang pura-pura? Tapi setidaknya dia dan ibunya terselamatkan dari rasa malu. Kenapa bukan Arga yang berjuang seperti itu untuknya? Kenapa harus Sabda yang tak punya perasaan apapun padanya. Senja mengaduk sisa makanan di piring.

"Ja."

Senja mengangkat wajah memandang sahabatnya.

"Lupakan Arga, bikin Sabda jatuh cinta padamu. Nggak akan susah kok. Pada dasarnya dia sudah rela pura-pura menjadi kekasihmu, berarti dia peduli padamu."

"Mas Sabda hanya kasihan, Nin. Apalagi yang mempermainkan aku kan sepupunya sendiri. Udahlah aku nggak mau mikir yang enggak-enggak. Aku nggak ingin manfaatin kebaikannya. Aku mau fokus bekerja, mau nabung banyak-banyak biar entar jadi sultanah."

Nina terkikik sampai cendol di mulutnya tersembur keluar. Lantas di tutupnya mulut memakai tisu yang di sambarnya dari atas meja.

"Kerja sampai pikun pun kita nggak akan jadi sultanah, Ja. Berapalah gaji pekerja rendahan seperti kita. Kecuali kamu bisa nggaet Mas Sabda. Dia generasi kedua dari pemilik kerajaan bisnis PT Tiger Super Indo yang bisnisnya mengular hingga ke luar negeri."

"Eh, tapi kemarin waktu di tanya sama bapak-bapak tetanggamu itu dia bilang hanya seorang akuntan di perusahaan ekspor impor. Apa itu juga bisnis keluarganya?"

Senja mengangkat bahunya. "Mungkin." Senja tak banyak tahu tentang Sabda. Yang dia tahu hanya Arga yang bekerja ikut keluarganya.

💦 💦 💦

Langit barat merona jingga. Angin musim pancaroba berhembus kencang menerbangkan debu dan dedaunan jalanan. Senja masih duduk menunggu angkot di halte. Sementara Nina sudah pulang lebih dulu. Tempat tinggal keduanya memang berbeda arah.

Dada Senja berdenyut nyeri saat sebuah mobil yang sangat di kenalnya berhenti tepat di hadapannya. Seorang pria berkemeja cokelat turun dan menghampirinya. "Senja," panggil pria itu.

Senja bergeming, dia tidak ingin peduli lagi. Meski tak mudah menghapus nama itu sekaligus segala kenangan tentangnya. Ternyata rindu dan benci itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat di pisahkan.

Arga duduk di bangku besi sebelah Senja. "Semua yang kamu lihat, nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Citra hanya korban perjodohan orang tua. Tapi aku dan Citra sepakat kalau akan berpisah setelah ini. Maafkan aku, Senja. Aku belum sempat memberitahumu saat itu."

Gadis itu memandang mata mantan kekasihnya. Dia kenal Arga, dan dia juga bisa melihat kalau Arga tidak sedang berbohong. Mata itu menunjukkan luka. "Terus aku harus bagaimana? Aku nggak akan menjadi perusak hubungan kalian. Aku nggak mau dengar apa kesepakatan kalian. Bagiku Mas sudah setuju dengan pertunangan itu. Kalau pada akhirnya di rusak, kenapa nggak sekalian di tolak di awal saja. Sebelum terjalin ikatan. Jadi nggak akan banyak hati terluka. Apa Mas nggak memikirkan bagaimana perasaan gadis itu dan keluarga kalian?"

"Percayalah, semua nggak semudah itu, Senja."

Tak ada tanggapan lagi dari Senja. Gadis itu segera berdiri saat dilihat ada angkot yang menuju kosannya. Di lambaikannya tangan agar kendaraan itu berhenti. "Maaf, Mas. Aku pulang dulu."

"Ku antar." Arga berdiri.

"Nggak usah. Makasih." Senja naik angkot yang telah berhenti. Arga hanya sanggup memandang tanpa bisa menghentikan. Dia sadar kalau posisinya salah, tapi tidakkah dalam hati kecil Senja masih ada rasa percaya untuknya? Apakah gadis itu tahu kalau sebenarnya Arga juga tersiksa? Arga juga ingin mendengar cerita dari Senja apa yang terjadi ketika pertunangan mereka gagal. Bagaimana dengan keluarga Senja? Walaupun belum pernah bertemu langsung, tapi Arga sudah sangat sering bicara dengan ibunya Senja melalui telepon. Tiap mereka bertemu dan Senja menghubungi ibunya, di situlah Arga ikut bicara sebagai bentuk perkenalan diri.

Dengan gontai, Arga kembali ke mobilnya.

Dalam perjalanan, Senja mati-matian menahan diri agar tak menangis di dalam kendaraan umum. Angkot yang penuh dengan penumpang. Dia masih bisa melihat Arga mengekori di belakang. Tiap kali angkot menurunkan penumpang, mobil pria itu juga melambat.

Senja tengadah, menghalau embun yang hendak singgah.

💦 💦 💦

"Sabda, kenapa susah sekali di hubungi sejak hari Minggu, sih kamu?" tanya wanita cantik yang mengekori Sabda ketika pria itu baru sampai rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya.

"Aku sibuk, Ma. Aku tidur di apartemen," jawab Sabda berhenti sejenak sambil berbalik memandang sang Mama.

"Oh." Bu Airin mengikuti putranya hingga masuk kamar dan duduk di ranjang berseprai biru tua.

"Hari Minggu kami semua menunggumu. Tapi kamu malah datang bersama gadis itu lantas menghilang dan baru pulang sekarang. Apa gadis itu yang bernama Senja? Kekasihnya Arga yang dibilang kampungan oleh Tantemu dan Nindy?"

Sabda yang sudah melepas kemeja duduk di sofa tunggal berhadapan dengan sang mama. Tangan kirinya melempar baju ke dalam keranjang cucian.

"Mama, tak usah ikut menghakimi gadis itu sebagai perempuan murahan. Mama, kan belum kenal siapa Senja. Jadi jangan nilai dia seburuk itu, Ma."

"Itu yang di katakan Tantemu sama Nindy."

"Oke, dan mamaku sayang tak perlu ikut-ikutan," kata Sabda sambil mendekat dan mencium puncak kepala mamanya, lantas meninggalkan wanita itu untuk masuk kamar mandi.

"Mama tunggu kamu di bawah. Kita makan malam sama-sama!" teriak Bu Airin pada putranya. Tak ada sahutan dari dalam karena bunyi shower yang menyala membuat Sabda tak mendengarnya.

Benar saja kalau Sabda memang tak mendengar ajakan mamanya. Makanya habis mandi langsung Salat Isya, setelah itu sibuk dengan ponselnya. Dia jadi kepikiran tentang Senja.

[Kamu baik-baik saja, 'kan?] Satu pesan di kirim Sabda untuk gadis itu.

[Senja.] Tulis Sabda lagi saat tak ada balasan juga.

[Kamu tak apa-apa, 'kan?]

Tak ada balasan. Terakhir Senja online sebelum Magrib tadi. Sabda masih termenung menunggu, dia khawatir kalau Senja kenapa-napa. Sebab siang tadi beberapa kali Sabda di telepon Arga yang menanyakan mengenai Senja. Karena terlalu sibuk, Sabda tak menanggapi.

Sabda menoleh ketika pintu kamar terkuak. Muncul Bumi di sana. "Mas, ditunggu di bawah tuh!"

"Bentar," jawab Sabda sambil menoleh sekilas pada sang adik.

"Ada Mbak Bela," kata Bumi lagi lantas menutup pintu.

Next ....

Selamat membaca 😍

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Aisha Arkana
kok ngulang lagi Thor ceritanya, sama kaya bab saru
goodnovel comment avatar
Ati Husni
mbak bela siapanya sabda?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status