Share

Bisikan Kematian
Bisikan Kematian
Author: Blade Armore

Part 1

Kenalkan namaku Nita, aku merantau ke kota besar demi mencari kehidupan yang layak, karena kabur dari rumah. Tidak banyak pekerjaan yang dapat aku pilih, karena hanya lulusan SMA dan tak ada pengalaman. Aku bekerja di sebuah showroom motor karena diberi kesempatan oleh tetangga kost'an. Bekerja di bagian kasir, mengharuskanku menjadi orang yang ramah dan bisa berinteraksi dengan banyak costumer.

Banyak costumer yang datang untuk membeli motor, tapi bukan hanya orang biasa saja. Banyak dari mereka yang mendapakan uang dari cara-cara yang diluar akal manusia namun, tidak mungkin aku menghakimi mereka.

Tak terasa sudah hampir satu tahun bekerja di sini dan aku bisa mengeksplor kemampuan diri. Ada niat untuk melanjutkan kuliah, tapi masih terbentur dengan biaya.

Hari ini Jum'at penuh berkah, belum juga jam makan siang, tapi lapar sudah menyiksa, biasanya aku membawa bekal untuk makan siang, entah ada apa dengan hari ini sehingga tidak ingin membawa bekal yang telah kubuat. Alternatifnya mencari pedagang makanan yang biasa mangkal, ada satu pedagang siomay dipinggir masjid tak jauh dari tempatku bekerja. Kuputuskan untuk memesannya, selagi menunggu aku memperhatikan lalu lalang orang yang ada didepan mata. Ada perasaan yang membuat hati ini berdebar tidak menentu, entah karena apa.

Pesanan sudah terhidang di depan meja. Kebiasaanku menghirup bau makanan yang akan dimakan membuat orang-orang terheran-heran. Saat menikmati aroma yang sudah masuk ke dalam hidung, tiba-tiba,

Duaaar!

Bruuuk!

Terdengar pecahan kaca juga jeritan histeris, bau anyir mengalahkan nikmatanya aroma bumbu somay.

Karena takutnya, tak berani ku membuka mata hanya menggenggam erat garpu ditangan.

 "Mbak ... mbak kenapa?" Tanya tukang somay, khawatir.

Aku membuka mataku perlahan, memperhatikan sekelilingku. Tak ada yang terjadi, semua seperti apa yang terlihat.

"Aah enggak bang, bau bumbunya sangat menggoda," terangku, menutupi kegelisahan.

 'Ya Allah, aku kenapa?' bathinku. Berharap apa yang kulihat tak pernah terjadi.

Segera kusantap somay yang sudah ada di hadapan. 

Terlihat para lelaki memasuki pelataran Masjid untuk Sholat jum'at dan semakin banyak jemaah yang datang. Dengan cepat somay kuhabiskan dan kembali ke showroom karena karyawan pria pasti pergim ke masjid. Terdengar suara azan di belakangku, menandakan sholat jum'at akan dimulai. Akupun berlari kecil takut jika showroom benar-benar kosong.

 "Mbak Nita jangan keluar dari dalam, apapun yang terjadi." Suara laki-laki separuh baya menghentikan langkahku.

 "Kenapa pak, apa ada yang salah?" Tanyaku keheranan.

Beliau berlalu menuju masjid dim tempatku makan somay tadi dan menoleh kepadakut, lalu senyum sendi menghiasi wajahnya yang keriput. Membuatku tertegun.

 "Nit, bantuin dong. Banyak konsumen nih!" Teriak supervisor penjualan, ketika melihatku datang.

Aku menuju meja yang mana sudah ada beberapa orang mengantri. Membantu menerangkan apa yang mereka tanyakan. Tetiba kepalaku terasa sakit, sejenak memejamkan mata dan memegangi kepala yang benar-benar sakit sekali.

Duaaar!

Bruuk!

Teriakan kali ini memecahkan telinga hingga aku terlonjak dari kursi yang kududuki.

 "Mbak tolong selamatkan anak saya." sambil menarik kakiku.

 "Mbak tolong saya," Disalah satu mobil terdengar suara itu.

 "Heii mbak jangan melihat saja, tolong kami!" Suara pria, yang kedua kakinya sudah terputus.

"Nita ... Nit kamu kenapa, hei!" Mbak Afsah menepuk-nepuk pipiku dan menggoncang keras tubuhku.

 "Ada kecelakaan Mbak, banyak korban," ucapku namun, tidak mampu membuka mata ini.

 "Kamu mimpi kali Nit, enggak ada apa-apa koq," jelasnya.

 "Ada Mbak, bajuku berlumur darah begini. Terciprat dari dalam mobil-mobil yang baku hantam itu," Aku memeluk mbak Afsah erat.

 "Istighfar Nit, kamu kenapa? Coba kamu buka mata, jangan terpejam seperti itu. Tak ada apapun yang terjadi," ucapnya menenangkanku.

Kuberanikan diri membuka mata dan benar saja, tidak ada yang terjadi. Jantungku semakin berdebar. Para konsumen hanya melihat aneh ke arahku. Tak kuhiraukan pandangan mereka dan melanjutkan pekerjaanku. Mbak Afsah menepuk pundakku dan berbisik,

 "Jika ada beban, kamu bisa berbagi dengan ku." Hanya bisa mengangguk pasrah.

Setelah melayani beberapa konsumen, aku kembali ke ruangan atas tempatku biasa bekerja. Aku berjalan menuju jendela melihat keadaan dibawah sana, karena rasa gelisah yang makin menjadi.

Debaran ini semakin kencang membuat dada sedikit sesak. Terlihat lelaki paruh baya itu dibawah sana dan melihat kearahku, di sini.

"Apakah dia bisa melihatku," bathinku berkecamuk, karena lelaki itu tak berpaling dari tatapannya kearahku.

Tak berselang lama setelah aku palingkan wajahku dari arahnya, kilasan kecelakaan itu terlihat jelas dan aku kembali melihat kebawah.

Aku hanya mampu teriak histeris melihat tubuh lelaki itu terpental tak berdaya, dengan senyum masih tersungging di wajahnya.

Aaaa!

Aaaa!

Aku menjerit-jerit melihat kecelakaan itu, tidak mampu berbuat apa-apa.

Segera berlari kebawah diikuti staff yang lainnya, setelah melihatku histeris dan melihat apa yangi terjadi sebenarnya dari jendela.

Berkali-kali hampir terjatuh dari tangga, karena lututku lemas saat menyaksikannya langsung dari ruangan atas.

Saat sampai di bawah, ruangan sudah kosong. Mereka berlari mencoba melihat apa yang terjadi. Aku menerobos kerumunan yang ada, mencari sosok lelaki paruh baya itu. Tadi aku melihat jelas dia terpental ditabrak mobil itu.

 Siapa dia? Kenapa memperingatiku! Bagaimana dia mengenalku!

Aku tak memperdulikan bau anyir dan rintihan orang-orang disekitar, mataku mengelilingi tempat itu mencarinya. 

Kudapati dia tergolek lemah tak jauh dari pembatas jalan. Tangannya kuraih, ingin mengangkat tubuhnya tapi tak sanggup.

 "Pak, ayo bangun kita menepi kesana. Paksakan diri pak," pintaku padanya.

 "Cepat kamu pergi dari sini, tadi sudah kuberitahu jangan keluar." perintahnya sulit ku mengerti.

Dia mendorongku dengan sisa tenaganya.

 "Pergi ... Cepat lari, tak ada waktu!" Aku meneteskan airmata tak mengerti.

"Lari kesana, cepat ... cepat," teriaknya lagi.

 "Tapi Pak ... bapak ikut, ayo Pak," bujukku.

 "Pergi" dengan hembusan terakhir dia berkata.

Aku menangis sesenggukan, lalu terdengar dentuman keras dari arah belakang.

Aaaaa!!

Aku bangkit dan mencoba berlari tapi kakiku dipegangi oleh lelaki, yang kakinya patah.

 "Mbak tolong ... tolong," rintihnya.

 "Mbak bawa anak saya, selamatkan dia." Teriak seorang wanita dari mobil, terlihat dia menggendong bayi yang sudah berlumur darah.

Aku hanya diam terpaku, tak tahu harus berbuat apa.

 "Lari ... lari!" suara lelaki yang tadi sudah menghembuskan nafas nya, terngiang.

Terkejut dengan suara itu, kepalaku menoleh ke arah lelaki paruh baya itu dan hanya tubuh kaku yang terlihat.

 "Lari ... larilah, cepat." Terdengar jelas suara itu lagi.

Dengan menahan airmatab, aku berlari secepat mungkin. Sembari berteriak pada mereka yang meminta tolong.

 "Maafkan saya ... maafkan saya!"

Sebuah mobil tronton membunyikan klaksonnya keras dan menambah parah kecelakaan yang terjadi. 

Suara dentuman dan teriakan bersahutan, mengiris hati yang melihat dan mendengarnya.

Mbak Afsah yang melihat, menarikku dengan cepat karena sebuah kayu terlempar dari truck yang ditabrak tronton, mengarah tepat di depanku.

 Aku tersungkur dan tak mampu bangkit, kakiku tertimpa kayu itu.

Tronton itu menyebabkan kobaran api dan terlihat jasad kaku itu sudah tertimpa mobil yang menabraknya tadi.

Aku merintih, menyaksikan kobaran api itu dan terngiang-ngiang jeritan juga permintaaan tolong dari mereka.

Dan siapa lelaki paruh baya itu? Mengapa iya sepertinya tahu, apa yang terlintas dibenakku.

Bau anyir dan terbakar menghiasi udara siang itu. Darah menutupi sebagian baju yang aku kenakan, dan kaki ini mati rasa sangat sakit jika diangkat.

Aku berteriak, memohon maaf pada merekaa, karena tidak ada satupun yang dapat tertolong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status