Share

Part 6

Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. 

Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah?

Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang.

Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya.

Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. 

***

Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah.

Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah.

Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melirik kearahku dan bertanya,

 "Kenapa Mbak, sakit ya?" Terlihat senyuman manis di wajahnya,

 "Ah enggak, AC-nya kebesaran." Aku menunjuk ke atas. Lalu dia menurunkan volume AC tanpa diminta.

Dia bisa sedingin itu kepada para gadis yang dibunuhnya? Padahal sikapnya baik dan hangat. Makin dipikirkan makin tak mendapatkan jawaban. Saat ingin melihat kembali kejadian itu, pandanganku kosong tidak berwarna. Gemetar tubuhku tidak juga reda, membuat lelaki di sampingku menyodorkan sebotol minuman. Entah bagaimana, aku bisa melihat sesuatu yang aneh pada botol yang dia berika, dengan halus aku menolaknya dan menunjukan botol minum yang kumilikki.

Tidak ada keberanianku melihat ke arahnya. Saat bis berhenti mendadak, tangannya tidak sengaja menyentuh jari jemariku, terlihat kilasan dia terbakar bersama gadis-gadis bergaun putih yang sebelumnya tersiksa dengan mati secara perlahan.

 "Ya Allah." Repleks aku berteriak.

 "Pak supir berhenti mendadak, karena mobil di depan berhenti." Jelas pria di sampingku menjelaskan.

Padahal apa yang kupikirkan berbeda dengan yang dipikirkannya. Beberapa saat hening diantara kami, hingga dia bertanya,

 "Mau ke mana Mbak?" Sambil melihat ke arahku.

 "Mau ... mau ke terminal, Mas." Mendengar jawabanku dia terkikik.

 "Baru kali ini ada yang memanggilku Mas." Lalu, pandangannya beralih.

 "Maaf kalau saya salah," ujarku pelan.

 "Mbak, apa yang mbak lihat dari seorang laki-laki." Dia bertanya dengan nada tinggi dan tatapan tajam namun, kosong.

 "Yang penting dia bisa menerima kekuranganku, karena aku tidak memiliki kelebihan." Dengan nada sedikit bergetar aku menjawab.

 "Tidak mungkin!" bantahnya, lalu memandangku dan menarik tanganku.

Terlihat sekali luka di mata indahnya, yang kini mulai berkaca-kaca. Bahkan, kurasakan tangannya bergetar. Ketika, aku menatapnya tangan yang digenggamnya dia lepaskan.

 "Kenapa tidak mungkin, Mas?" tanyaku lembut, takut amarahnya memuncak.

 "Karena wanita cantik sepertimu hanya memandang wajah dan harta saja. Setelah bangkrut akan pergi berpaling. Begitu juga jika wajah tampan seorang lelaki berubah, maka akan ditinggalkan!" ucapnya penuh penekanan.

Senyum smirk terukir di wajahnya yang tampan, tapi tidak bisa menutupi kepedihan hatinya. Bahkan, itu tergambar jelas olehku. Meskipun dia mencoba menyembunyikannya.

 "Maaf Mas, manusia berbeda-beda. Jika ada wanita seperti itu berarti dia tidak tulus mencintai hanya ingin mendapatkan sesuatu saja dari orang yang menbersamainya." Sedikit aku mengeluarkan apa yang ada di hati.

 "Berarti mereka memang pantas dibuat mampus, ya, kan Mbak!" ucapnya, yang membuat aku bergetar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status