"Sudah Nak, sampai terjual rumah kami untuk ongkos mencarinya. Tapi tidak kunjung bertemu," Tidak disadarinya embun itu menetes sempurna dari mata rentanya.
Aku membuka diary James dan melihat nama wanita cantik tersebut, lalu menanyakan kepada pria tua itu.
"Siapa namanya Pak?" Tanyaku lirih.
"Indriani, dia anak yang baik tapi bertemu pria yang tidak baik. Bapak sudah menasehatinya tapi tidak didengarnya, dia bilang pria itu mencintainya. Bapak dan Ibu akhirnya menyerah hingga kami tak pernah bertemu lagi," Dengan menahan sesak pria tua itu bercerita.
Aku mengambil poto dalam tas, dan menunjukkan pada pria tua itu. Kuperlihatkan tetapi dia merasa tidak percaya jika aku mengenal putrinya.
"Kamu kenal di mana? Di mana dia sekarang? Apa dia bahagia? Apa dia menderita? Apa ada yang terjadi? Ibunya pernah bermimpi Indri minta tolong lalu menghilang," tanya pria itu tanpa jeda.
"Saya kenal anak Bapak di J
"Kamu lapar? Bik ... bik Inah?" tanyanya lalu dia berteriak memanggil pembantunya. Tidak lama pembantunya datang dan menanyakan apa yang perlu dikerjakan. Setelah memberi instruksi si Ibu mengajakku ke arah ruang makan. Karena tidak ingin menolaknya, akupun mengikutinya. Beberapa hidangan sudah tertata rapi dimeja dan bik Inah mennyiapkan makanan untuk Ibunya Lia. Akupun mengambil makananku lalu memakannya. Tidak ada pembicaraan apapun selama kami makan. Selesai makan si Ibu mengajakku ke kamarnya. Bingung dengan ajakkannya aku melihat ke arah Bik Inah dan dia hanya mengangguk. Namun, ada poto Pak Ibra menggantung di dekat kamar si Ibu. Meski di dalam poto, Pak Ibra menampakkan kekuasaannya dan aku merasa ada sepasang mata yang mengawasi dari balik poto itu. Rasa debaran di dada menguat tatkala aku memasuki kamar si Ibu. Aura yang sangat menakutkan menguar begitu saja saat pertama pintu terbuka. Padahal ruangan ini rapih dan bersih, aku menggenggam tang
Dengan kasat mata, mereka tidak bisa melihat darahku yang terkuras. Bagaimana bisa darahku terkuras sedangkan aku tidak melihat sesuatu yang membuatku terjerumus, jika seperti ini kematian akan mengintaiku lambat laun. Harus secepatnya keluar dari rumah ini atau akan berakhir sebelum ajalku datang. Saat melewati poto Pak Ibra, terlihat senyum tersungging di sana yang sejak awal tidak terlihat, membuat degup jantung tidak beraturan. Tidak lama melewati poto, aku melihat sosok wanita cantik bergaun merah darah, tapi tidak di seluruh bajunya. Menatapku nyalang dan menyeringai puas. Terasa keram di beberapa bagian tubuhku, hingga kucoba mempercepat langkahku. Aku memberi pesan pada Bik Inah agar menjaga Ibunda Lia dengan baik untuk malam ini. Kurasakan debaran tidak menentu hingga membuatku sangat sesak. Sosok itu masih diam di sana menatapku tidak berpaling. Selama ini tidak pernah aku merasakan ketakutan yang cukup berarti saat menghadapi makhluk astral.
"Huust ... Bicara yang sopan Sopyan!" seru Umi. "Maaf, Umm" Dengan menunduk dia menjawab. "Bukannya saya takut kematian, tapi amanah yang saya pegang belum tuntas semuanya. Apa harus saya berikan ke orang lain?" jawabku, kesal. "Abah tidak menakutimu Nak, yang kamu hadapi adalah kekuatan Iblis laknatullah! Juga dari berbagai bangsa jin." tegas Abah. "Umi akan mendampingimu, Nak." tambah Umi. Pernyataan Umi membuat Abah sedikit ragu, digenggam tangan sang istri dan memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Aku yang merasa sedikit aman mendadak tegang sekali. Sekujur tubuhku mati rasa, membuat ketiga orang di depanku terperangah. Umi langsung menarik meja menjauh dan mengangkat kakiku, lalu memberi perintah pada Sopyan agar mengambil garam kasar dan memetik daun bidara juga mengambil seember air. Mereka begitu panik melihat aku hampir kesulitan napas. 'Aah ... Kematian sudah menjemputku.' pikirku. "Bukan, N
"Tapi Umi, kantukku teramat sangat. Terlalu lemah tubuhku," jawabku. "Itulah yang mereka harapkan!" Dengan nada keras dan tatapan tajam Umi bicara. "Baik, Umi. Saya coba terus berzikir," ucapku lirih, sulit sekali menahan kantuk. Pintu terdengar diketuk-ketuk seperti ada orang yang sedang ketakutan dan membutuhkan pertolongan. Setelah itu terdengar kikikan panjang,. Semua terhenti sejenak dari membaca Al-Quran namun tidak dengan Abah. Umi menatap tajam kearah pintu dan membuatku bergidik. Begitu banyak makhluk astral mengelilingi rumah ini. "Umi biarkan saya keluar," pintaku. "Bodoh kamu!" Sopyan menghardikku. Tapi tidak membuat Umi memalingkan pandangannya. Tangannya sedikit bergetar dan keringat dingin muncul di sekitar dahinya. "Sabar sebentar, Nak Nita. Sopyan taruh bidaranya di sana dan bacakan doa-doa." Umi memberi perintah. Sopyan dengan cekatan mematuhi perintah Umi. Dari atap terdengar langkah kaki orang
Mendengar diri sendiri sedang menunggu kematian membuat pikiran menjadi tidak karuan. Antara zikir juga beban amanah beradu dalam sanubari. Tak ayal membuatku tertegun di antara kepanikan mereka. "Ehem ... ehem, kalau kematiamu sudah tertulis maka kamu akan tetap menemui ajalmu bagaimanapun caranya." Suara Abah membuyarkan lamunanku. "Bah, Umi sudah melamar Nita untuk Sopyan. Segera kita lakukan ijab qobul dulu, tak ada pesta tak mengapa." Umi menyela sebelum aku berucap. "Kamu siap Sopyan?" tanya Abah pada Sopyan. Anggukan tegas terlihat dari kepala pemuda itu dan aku mengernyitkan keningku, seolah aku sudah menerimanya. Abah diam sejenak dan melangkah pergi, dengan menahan sakit aku berbicara, "Bah, aku belum menerimanya. Akupun enggak kenal dia, untuk apa aku menikah dengan orang asing!" ujarku meringis. "Yakinlah, pernikahan ini akan membawa kebaikan untukmu, Nak." Umi pun berbicara. "Kalau kamu tidak yakin pada
"Aku tahu, kakakmu bisa jadi walinya. Tidak apa, meski melalui video. Ini darurat," ujar Sopayan menguatkan. Bingung harus menjawab apa, aku hanya diam. Tidak lama, Umi mendekati kami dan berkata, "Baiklah kita adakan sekarang saja. Eka yang jadi walinya." Perkataan Umi membuatku tak percaya. Belum sempat aku protes suara anak-anak memekakkan telinga. Mereka meneriaki ular besar yang tiba-tiba berada di kamar mereka. Umi menenangkanku, dan meminta proses ijab dilakukan. Abah menelpon dua orang tetangganya agar menjadi saksi nikah. Ingin menolak tapi diseberang video terlihat Emak dengan matanya yang berbinar-binar. "Sial," umpatku dalam hati. Dengan lantang Sopyan mengucapkan janji pernikahan untukku. Aku hanya menatap tidak percaya apa yang sudah terjadi, pernikahan yang aneh. Sopyan mengulurkan tangannya berharaf aku menciumnya dengan takjim, namun aku enggan melakukannya. Terdengar suara Emak membentakku agar aku menghormati suamiku
"Kita masuk sekarang, Bismilahi." Sopyan mendorong pintu pagar dengan membaca doa. Aku mengikutinya sambil memeluk tas amanah ini. Begitu pintu di buka terlihat sosok gagah sudah berdiri tegap di tengah ruangan didampingi wanita bergaun merah darah. "Ternyata kamu bisa lolos ya." ejek lelaki itu. "Manusia memiliki Allah, maka dia bisa menyelamatkan diri!" balas Sopyan. Terasa genggaman tangannya semakin kuat, hingga aku merasa sedikit kesakitan. "Dia adalah miliku!" ujar sosok itu, padaku. "Tidak dia Istriku," tegas Sopyan, lalu merangkul pinggangku. Terlihat pancaran cahaya dari tubuh wanita bergaun itu, wajahnya berubah hancur. Hampir menyisakan tengkorang. Dan sosok pria itu mendekat dan terlihat wajahnya, "Pak Ibra!" pekikku, hingga aku mundur karena merasakan aura buruk yang sangat besar. "Kamu seharusnya menjadi pengantinku, Cah ayu." celotehnya sembari meraihku. Baru ini aku ta
Mendengar itu aku hanya melongok, dengan menahan nyeri di sekujur tubuh. Terdengar beberapa langkah kaki memasuki ruangan tempat kami berada dan duduk diantara kami. Abah dan para jamaahnya. Mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran bersamaan. Terlihat abah memercikan air ke dekat kami. Serangan bola api mengarah pada kami dan mengenai kakiku yang terluka. Hingga mengeluarkan darah lagi. "Baca ini!" perintah Sopyan dan aku membacanya perlahan. Makhluk-makhluk ini sepertinya tidak takut dengan suara dari lantunan ayat-ayat suci al-Quran. Terbukti, mereka mendekat dan menarikku mendekat ke Pak Ibra. Yang sudah menggenggam belati di tangannya. Pegangan tanganku terlepas dari Sopyan. Tubuhku diangkat Pak Ibra dan meletakanku di meja, seperti sebuah santapan yang siap dinikmati. Mahluk-mahluk itu mengelilingiku dan mencoba meraih setiap tetes darah yang keluar, tetapi segera di usir Pak Ibra. Saat Pak Ibra siap menancapkan belatinya di dadaku, suara teria