Tiada kematian yang mampu kita hindari, sekeras apapun kita berusaha. Takdir sudah tertulis jelas saat kita akan terlahir didunia ini, kita perlu perbanyak bekal sehingga saat kematian itu datang kita akan selalu siap.
Setelah mendengar kabar dari Rinda, aku hanya termenung tanpa berbuat apa-apa. Rasa debaran ini belum hilang karena kecelakaan itu, sekarang ditambah kabar kematian yang masih menyisakan bau menyengat di hidung.
Tiga hari aku mengurung diri dan akhirnya dering ponsel membuatku bangkit dari ranjang. Tertera nama manager tempatku bekerja dulu.
Ku tekan tombol berwarna hijau,
"Assalamualaikum pak Andri, ada apa pak?" Tanyaku sopan.
"Waalaikumusalam Nit, sekarang kamu sudah bekerja?"
"Alhamdulillah belum pak, sahabat saya belum mengabarkan saya diterima atau tidak ditempatnya bekerja." Jelasku.
"Kalau begitu saya mau menawarkan pekerjaan ke kamu tapi di daerah palembang, gimana?" tanyanya membuat ku berpikir.
"Kerja apa pak?" Tanyaku kemudian.
"Sama saja di admin, dicabang sana kekurangan orang. Mau ya Nit, saya yang akan jamin."
"Lumayan jauh Pak, nanti saya telpon bapak lagi jika saya siap."
"Baik, ditunggu kabarnya ya,"
Sambungan kami pun terputus.
Masalah perut memang tak bisa dikesampingkan, apapun kondisinya. Aku melangkah keluar ingin ke toilet. Namun langkahku terhenti mendengar pembicaran umi dan abi mbak Afsah. Ternyata mereka ingin menjodohkanku dengan salah satu keluarga mereka, namun mereka bingung menyampaikannya padaku. Aku terpaksa keluar dengan cepat seakan tak mendengar perbincangan mereka.
Ya, aku masih disini. Tapi bukan menumpang melainkan kost, awalnya mereka keberatan namun aku memaksa. Tak ingin menjadi beban mereka, setidaknya aku bisa meringankan dengan cara indekost disini.
Saat aku ke mandi ponselku berdering berkali-kali membuat mbak Afsah mengambilnya dan ingin memberikan kepadaku,
"Nit, ada telpon nih dari Rinda." Teriaknya dari balik pintu.
"Bentar mbak," Tidak kalah kencang aku berteriak.
Kuselesaikan hajatku dan menghampirinya. Kuraih ponsel yang disodorkan mbak Afsah dan mendial no Rinda.
Rinda mengabarkan jika aku diterima ditempatnya bekerja sebagai Accounting dan menyuruhku datang ke rumahnya segera.
Bingung melanda karena kedua tawaran yang menggiurkan. Aku konsultasi hal inidini mbak Afsah, agar tidak salah langkah. Saran yang diberikan menjawab kebimbanganku dan aku bersiap ke tempat Rinda.
Perjalanan ini begitu lama dan sangat berat. Suara jeritan dan teriakan saling bersahutan, ada yang terdengar jelas dan hanya terdengar samar-samar. Bulu kuduk pun berdiri tidak disangka-sangka, gambaran wajah-wajah tersiksa dan dijemput kematian sangat jelas tergambar.
Bagaimana aku menggambarkan ketiada berdayaan pada suara juga gambaran wajah yang ketakutan saat menghadapi kematian itu. Saat sharing tentang ini, sebagian orang menghujatku berpikir aku gila dan tak beriman. Sebagian lagi mengatakan jika aku harus mengolahnya. Tekanan selalu datang setiap saat tanpa ada yang membimbingku, sedari aku kecil.
Metromini yang akan aku tumpangi sudah terlihat dan mendekat, aku bergegas menaikinya. Saat masuk terasa aura yang berbeda terpancar dari semua penumpang dan bau daging panggang menyengat sekali dihidung, membuat bulu kuduk semakin meremang. Aku hanya mengalihkan perhatianku pada kendaraan yang melaju melawan metromini. Sayangnya, ke ngerian tetap terasa. Piasnya wajah-wajah mereka menahan perih juga sakit yang tidak terlukiskan, namun tidak terlihat nyata.
Celotehan seorang ibu muda yang sedang hamil besar membuatku berpaling ke arahnya. Dia sedang tiduran dibahu sang suami yang wajahnya sama seperti penumpang yang lainnya, hanya saja sang ibu muda ini di rona wajahnya terlihat begitu berseri-seri. Sadar sedang kuperhatikan, dia memandangku dengan senyuman dan berkata,
"Jangan takut, ikuti takdirmu maka semua akan baik-baik saja."
Terkejut dengan perkataannya aku palingkan wajahku ke depan. Mencerna setiap kata-katanya, namun aku tetap tak mengerti.
Ketukan dijendela membuat pak supir menghentikan laju kendaraannya, biasanya ada penumpang yang turun. Namun beberapa saat dinanti tak ada yang turun dan supir pun melanjutkan kendaraannya lagi.
Terdengar ketukan ditiang pegangan membuat metromini ini berhenti untuk kedua kalinya, semua penumpang saling pandang dan tengok ke kanan dan ke kiri melihat siapa yang turun, tapi nihil sama seperti yang pertama. Dengan rasa kesal sopir berdiri dan bicara,
"Siapa yang berani ngerjain orang hah!" Teriaknya.
Kami semua terdiam, tidak ada suara yang berani menimpali perkataan sang sopir.
Dengan kesal sopir melajukan lagi kendaraannya. Baru saja melaju terdengar suara teriakan seorang wanita,
"Pak saya turun!"
Ketiga kalinya kendaraan ini berhenti, namun semua duduk diam ditempatnya membuat sang sopir makin geram.
Tak lama ibu muda yang kuperhatikan tadi mendekatiku.
"Mbak, tadi minta diberhentikan disini kan?" Tanyannya.
"Haah, enggak bu tujuan saya kali bata." Bantahku.
Namun, ibu muda itu menarikku agar mengikutinnya menuju pintu keluar.
"Maaf bu, saya belum mau turun!" Lalu mencoba menepis tangannya, namun tak bisa. Kekuatan tangannya seperti laki-laki.
"Jangan bantah turun saja, setelah ini kamu cari Rian di alamat ini." Sang ibu muda itu menyerahkan sebuah amplop coklat tebal.
Lalu mendorongku sehingga aku terpeleset kebawah dan membuat kaki kananku terkilir. Belum sempat berkata apa-apa metro mini itu melaju cepat, hanya terlihat sekilas wajah sang ibu muda tersenyum indah. Dan,
Duuuuuar!
Duaaar!!
Percikan api membesar dan membakar metromini itu, api dengan cepat menjalar keseluruhan bagian mobil. Pemandangan di depanku sangat mengerikan karna ada lagi motor yang menabrak metromini yang terbakar tersebut, menjadikan ledakan semakin besar.
Orang-orang di sekitar melihat kearah kendaraan-kendaraan yang terbakar itu dan mendekat, ada yang berselfi ria, ada yang menelpon seseorang, ada yang berzikir dan aku ... aku hanya diam mematung tak mengerti.
Hingga beberapa saat suara sirine mobil polisi terdengar, mereka datang mengamankan tempat kejadian hingga beberapa meter. Melihatku diam tak bergerak, polisi yang bertugas mendorongku hingga terjatuh.
"Mbak bangun, bahaya bila kena bodi kendaraan. Pergi sana!" Teriak salah satu dari mereka
"Team medis tolongin dia, dia terkilir jatuh dari metro mini itu." Teriak seorang wanita di belakangku.
Tak berapa lama petugas medis menghampiriku dan memapahku mendekati mobil ambulance. Lalu mataku mengelilingi sekitar, tepat ditempat aku berdiri mematung. Tapi tidak ada yang peduli denganku, mereka asik dengan kegiatan sendiri. Suara siapa tadi yang meminta bantuan? Bulu di tangan seolah tak mau kalah dengan kengerian yang terjadi di depan sana.
Tercium aroma daging terpanggang dari arah jauh, yang sudah dipastikan itu aroma orang-orang yang terpanggang didalam metromini itu. Lalu seorang polisi menghampiriku,
"Mbak Nita, apakah bisa berjalan?" Tanyanya.
"Diusahakan, pak." Jawabku.
"Ini ponsel mbak Nita. Sepertinya tadi terjatuh disana." Polisi itu berkata sambil menunjukkan metromini yang terbakar. Terimakasih sudah menelpon kami sehingga segera menuju kemari dan memanggil Damkar."
Lalu, polisi itu pergi membantu yang lain memadamkan kobaran api.
Lagi-lagi aku terpaku karena merasa tak menelpon siapapun selama perjalanan. Aku membolak balik ponselku, merasa heran. Bagaimana ponsel keluar dari tas dan bisa menelpon? Ah jika seperti ini aku akan gila beneran.
"Mbak, dari tadi saya bertanya!" Tepukan seseorang mengalihkan perhatianku.
"Ah, iyakah!" jawabku ragu.
"Kronologi kejadian bagaimanai mbak?" tanyanya lagi.
"Haaah." Aku melongok mendengar polisi itu bertannya.
"Kamu tadi di dalam metromini itu kan? Apa ada sesuatu yang mengganjal? Apa yang terjadi hingga ada percikan api? Apakah sudah terlihat sebelumnya? Apakah ada orang menitip barang?" Tanyannya tak henti.
"Maaf pak saya dipaksa turun, ini bukan tujuan saya. Saya pun engga tau!" Jelasku.
"Tidak mungkin Mbak." Tantangnya, dengan tatapan membunuh.
"Terserah pak polisi baiknya gimana? Jika harus ditahan ya lakukan saja." Dengan bergetar aku berbicara.
"Kami akan menyelidiki dulu, mbak Nita ikut kami." Katanya yang menggetarkanku.
Aku hanya mengangguk pasrah dan polisi itu menuntunku menuju mobil polisi. Lalu melaju meninggalkan halte itu dan melewati metromini yang terbakar, sekilas aku melihat sang ibu muda tadi. Melambaikan tangannya dan tersenyum hangat. Tak sengaja aku meneteskan air mata, entah karna apa?
Mobil dihentikan ditengah jalan, lalu sang polisi itu duduk menyerong kearahku.
"Berikan amplop itu, saya akan mengantarkan pada orangnya!" Sedikit memaksa polisi itu coba menarik paksa.
Bayangan ibu muda itu terlihat jelas di depanku,
"Pergi ... lekas pergi!"
"Haah!" Refleks aku berkata, dan hidungku mencium bau menyengat.
"Heii ...!! Saya minta amplop itu. Serahkan pada saya!" Bentak polisi itu.
"Maaf pak, ini surat lamaran untuk saya kerja." Jelasku sambil menarik dan mendekapnya erat.
"Serahkan! Itu dari penumpang di dalam metromini itu kan!" Hardiknya lagi.
"Cepat pergi ... cepat pergi!" Teriak ibu muda itu, yang sudah kupastikan bukan lah manusia lagi.
Lalu pintu mobil terbuka dan aku terdorong keluar. Rasa sakit karna terkilir dan luka yang belum sembuh tak kuhirau kan, aku mencoba berlari sekuat tegaku. Meninggalkan polisi itu, amplop ini sepertinya penting. Kenapa polisi itu tau akan amplop ini?. Rasanya sudah tak kuat lagi berlari dan aku berhenti didepan rumah seseorang, ku istirahatkan kakiku sejenak. Kepada siapa aku menceritakan hal aneh ini? Bathin ku bergejolak. Tetiba debaran didada membuat sesak! "Pergilah ... pergilah!" Suara itu lagi. Dengan sisa tenaga aku berlari lagi dan segera mencari angkot untuk kembali pulang. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Terdengar pintu diketuk, "Nit, kamu sakit lagi?" Tanya mbak Afsah. Aku hanya diam saja. "Nita buka ... Nit. Rinda dari tadi menelpon, kenapa kamu enggak jadi kekantornya?" Tanyanya penasaran. Aku membuka pintu lalu menghampiri mbak Afsah, "T
Pesan itu seolah tertuju padaku. Kumasukan amplop pada keadaan semula dan memakan makanan yang sudah tersedia. Dada ini semakin sesak merasakan sesuatu yang belum pernah terasa sama sekali. Hanya pikiranku saja mungkin, batinku mulai berkecamuk. Aku menyelesaikan makanku dan membayarnya, namun lagi-lagi uang yang kuberikan ditolak secara halus. Apakah penampilanku aneh atau ada yang aneh dengan uang ini? Tak habis pikir kenapa mereka menolaknya meski aku memaksa.Perjalanan kulanjutkan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata rumah sahabatku sudah rata dengan tanah. Rasa sedih tidak terlukiskan lagi jarak yang kutempuh sia-sia. Langkahku gontai meninggalkan tempat pertama yang kudatangi. Hujan turun di hari yang secerah ini, menambah kebimbangan akan langkah ini.Berdiri di depan sebuah mini market menunggu hujan yang sangat lebat berhenti, di kejauhan sekelebat bayangan terlihat sangat mengerikan. Aku tidak berani menatap jauh ke depan, orang-orang di sekitarku ha
Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah? Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang. Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya. Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. *** Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah. Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah. Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melir
"Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu
"Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.
Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam. Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel. Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh. Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap. Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal. "Pagi-pagi cari
Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.
"Kaget Pak, ada semut," jawabku asal. Saat pak Ibra kembali duduk, sosok di bawah meja menampakkan dirinya lagi. Dengan mata sendu dia menatapku. Saat ingin berbicara, dia ditarik oleh sosok yang selalu berdiri di belakangnya. Meski terkejut, aku berusaha tenang karena tidak ingin membuat pak Ibra curiga. Akhirnya aku menyanggupi permintaanya untuk memberikan uang-uang itu pada keluarga korban. Anggap saja permintaan maaf kami ujar pak Ibra. Aku pun berpamitan dan melangkah keluar. Terdengar denting dari piring dan sendok yang beradu. Aku yakin, Pak Ibra melanjutkan memakan organ itu lagi. Tentu saja membuat, perutku mual. Sesampainya di gerbang, aku melihat pak satpam sedang ber SMS ria. "Pak, tolong bukain pintu," Dengan sedikit berteriak aku meminta dan sukses membuatnya terkejut. "Alhamdulillah baik, Neng." Lalu dia membukakan pintu gerbang. Setelah keluar aku membalikan badan, ingin mengucapkan terimakasih. Namun, pemandanga