Berjalannya waktu perlahan kesembuhanku semakin baik dan aku berusaha keras untuk sembuh kembali. Begitu banyak biaya yang sudah keluar untuk kesembuhan kakiku. Keluargaku tak diberitahu, karna mereka pasti berhutang untuk pengobatanku.
Pagi ini aku memaksa mencari pekerjaan. Selain merasa jenuh karena hanya diam saja dan ada rasa sungkan. Persiapan sudah selesai, amplop-amplop coklat sudah terisi dan tersusun rapi didalam tasku. Aku berpamitan untuk menyusuri Ibu kota mencari pekerjaan yang tersedia.
Diperjalanan terdengar rintihan, suara menangis juga teriakan orang yang sepertinya tersiksa. Ku sapu mata ini mengelilingi daerah sekitar, tak ada yang mencurigakan. Orang berlalu lalang dengan santai dan ada juga yang tergesa-gesa.
Ada apa lagi dengan diriku, kupercepat langkahku didaerah pertokoan. Kucoba datangi satu persatu mencari lowongan kerja yang tersedia, untuk sementara tak apa kerja ditoko, pikirku.
Rintihan itu makin jelas terdengar ditelinga, ada juga makian yang menggetarkan jiwa.
"Ambil saja apa yang kalian inginkan, lepaskan kami." Pinta seorang pria tua dengan nada lemah, terdengar jelas suaranya.
Disisi lain seseorang berteriak,
"Masuk kalian ... masuk!"
Dengan isakan beberapa orang sepertinya mengikuti perintah pria bersuara serak itu.
"Kunci pintunya, g*bl*k!" pekik sesorang yang berbeda.
"Lepaskan, apa yang sebenarnya kalian inginkan!" teriak pria yang bersuara lemah itu.
Sepertinya aku sudah gila, pikirku. Melangkah terus menelusuri pertokoan yang ada, tak ku hiraukan jeritan juga rintihan mereka. Ponselku berdering, salah satu sahabat menelphon.
[Hai Nit ... kerumah ya, mau aku kenalin sama bosku. Siapa tau kamu bisa bekerja disini.]
[Oke aku kesana.]
Setelah kumatikan ponsel dan menaruh kedalam tasku. Aku bergegas mencari metromini yang menuju kedaerah dimana sahabatku tinggal.
Rasa debaran didada sama seperti saat kecelakaan itu. Entahlah, aku hanya mampu berzikir, berlindung pada-NYA lebih baik.
"Buka ... buka, disini sempit." Rengek suara bocah perempuan.
Terdengar suara tersengal-sengal seperti kekurangan oksigen dari beberapa orang.
Aku menutup telingaku dan berusaha terus untuk berzikir, mengingat Allah. Semakin aku berzikir bayangan mereka semakin terlihat. Ruangan kecil yang engap ditempati banyak orang. Tentu saja sulit untuk bernapas.
"Mbak, kalau sakit jangan keluar rumah" tegur penumpang metromini disebelahku.
"Maaf bu, tiba-tiba kepala saya sakit sekali." Sambil memegangi kepala aku menjawab.
"Ini minum biar sedikit lega," disodorkannya bekal minuman yang dibawanya.
"Enggak apa-apa Bu, sebentar lagi saya turun," ku tolak secara halus.
"Kalau tidak dibawa saja untuk bekal." Dipaksanya aku menerima bekal minumannya.
"Terimakasih Bu." Sambil tersenyum aku mengucapkannya.
"Bu saya pamit duluan ya, terimaka kasih minumannya." Aku berpindah tempat dan berpamitan.
"Hati-hati dijalan Nak." aku hanya menjawab dengan anggukan.
Berjalan melewati rumah-rumah mewah membuatku sedikit iri. "Bahagianya mereka," gumamku.
Saat melewati satu rumah, rintihan itu terdengar sangat jelas. Aku melihat kearah rumah itu, tapi tak berani lancang. Akupun berlalu tanpa pedulikan rintihan itu, "iya kalau yang aku dengar betul, jika tidak" pikiranpun berkecamuk.
Poselku berdering lagi, kupastikan siapa yang menelphon.
"Hallo Nit, kamu jadi kesini enggak. Koq lama?" Tanyanya.
"Ini sudah mau sampai, tunggu ya Rin."
Kupercepat langkah ini menuju rumah, yang hanya beberapa meter dari perumahan mewah ini. Langkah yang diiringi isakan juga rintihan karna sulit bernapas dari orang yang tak kukenal, membuat langkah ini sangat berat.
"Assalamualaikum Rin ... Rinda." Panggilku.
"Waalaikumusalam ... sebentar." Teriak seseorang dari dalam rumah.
Lalu keluar seorang ibu cantik saat diusianya yang tak lagi muda.
"Masuk Nak, Rinda didalam. Sekalian ibu pergi ya." Aku mengangguk setelah bersalaman dengan beliau.
Setelah mengobrol dengan Rinda, kami berangkat ketempat yang dimaksudnya. Berjalan melewati perumahan mewah tadi membuat debaran didada semakin sesak.
"Rin, tak ada jalan lain kah?" Tanyaku.
"Enggak ada Nit, kan memang rumah kami dibelakang perumahan ini." Jelasnya.
Dengan terpaksa aku mengikutinya berjalan. Rintihan itu tak kunjung hilang malah semakin menjadi.
"Tolong ... tolong, buka pintunya." Suara pria paruh baya lain mencoba berteriak.
"Pak, tak ada ventilasi disini. Udara semakin engap." Sekarang suara wanita tua yang berbicara.
"Pak, lihat bos." Seru lelaki lain.
"Bos ... Bos bangun, bertahan bos."
Entah apa yang terjadi pada mereka. Aku berusaha menghilangkan suara-suara itu dengan terus berzikir. Rasa mual karna aroma nafas yang tersengal begitu terasa juga bau keringat yang menguar karna pengapnya ruangan itu.
Tepat didepan rumah yang tadi terlewati. Aku mengeluarkan isi perutku. Hingga membuatku lemas, bukan karna bau anyir darah tapi mampu membuat perutku berontak sehingga memuntahkan semua isinya.
"Kamu kenapa Nit? Kita pulang saja ya?" Tanya Rinda khawatir.
"Enggak usah Rind, kita lanjut lagi." jawabku.
Aku menatap rumah itu, rumah mewah terlihat ada beberapa mobil-mobil bagus didalamnya. Tak terasa airmata ini turun begitu saja ketika melihat dua orang pria tua yang mengenakan seragam biru tua.
Seperti takut kehilangan mereka, "tapi kenapa? Aku saja tak mengenal mereka," batinku.
Mereka menghampiri kami dan menanyakan kenapa kami berhenti lama didepan rumah itu.
Rinda hanya menjelaskan jika aku sedang sakit dan mau mencari kerja.
Salah satu dari mereka tersenyum dan mengeluarkan uang, namun aku menolaknya. Wajah-wajah itu, wajah yang tak asing.
Aku dan Rinda bergegas menuju kerumah bosnya karna sudah menunjukan pukul dua siang. Sesampainya disana aku melihat beberapa orang yang sudah terbujur kaku karna kehabisan nafas, membuatku tersentak dan lagi-lagi mual ini menyerang perutku.
Kutahan rasa mual ini dan menyerahkan amplop coklat berisi surat lamaran kerja ku kepada bosnya Rinda. Selesai berbincang aku pamit pulang, sedang Rinda melanjutkan pekerjaannya.
Dalam perjalanan pulang, teriakan memilukan itu sangat terasa. Terlintas wajah dua pria tua itu sudah terbujur kaku.
"Ya Rabb, bantulah mereka," do'aku.
Terdengar suara dua pria, sepertinya mereka jahat.
"Ayo buruan sudah semakin malam, nanti ada yang kesini." Bentak salah satu dari mereka.
"Bagaimana dengan mereka yang terkurung?" Tanya yang lain.
"Bukannya kita sudah sepakat, agar mereka mati. Kalaupun tertangkap kita bisa beralasan tak sengaja, sudah cepat." Perintahnya.
"Bayaran kita sudah aman." Terang salah satu dari mereka.
Tak lama suara kendaraan menjauh dari rumah itu. Dan suara-suara rintihan hanya terdengar oleh gelapnya malam, hingga berlalu pagi. Satu persatu melepaskan nyawanya karena sesak terasa, diiringi tangis yang tak mampu berbuat banyak.
Sempitnya ruangan menjadikan gerak tak leluasa dan kokohnya bangun menjadikan mereka terjebak. Kali ini aku hanya mampu melihat jauh tak terjangkau. Hingga siang itu Rinda menelphonku.
"Hallo Nit, ada kabar duka Nit."
"Apa Rind? Pasti aku enggak diterima ya, belum rezeki Rind, enggak apa-apa."
"Bukan masalah kerjaan Nit, Satpam kemarin yang mau ngasih uang kekamu, meninggal kehabisan napas. Dikurung perampok kabarnya." Terang Rinda.
Seketika lututku lemas dan terduduk dilantai.
"Halo Nit ... halo, kamu dimana, Nit ... Nitaa." Suara Rinda memanggil namun ku abaikan.
Kematian datang lagi namun aku tak mampu menolong mereka. Kupikir hanya firasat semata. Tapi itu adalah takdir mereka, menemui Rabbnya dengan caranya masing-masing.
Tiada kematian yang mampu kita hindari, sekeras apapun kita berusaha. Takdir sudah tertulis jelas saat kita akan terlahir didunia ini, kita perlu perbanyak bekal sehingga saat kematian itu datang kita akan selalu siap.Setelah mendengar kabar dari Rinda, aku hanya termenung tanpa berbuat apa-apa. Rasa debaran ini belum hilang karena kecelakaan itu, sekarang ditambah kabar kematian yang masih menyisakan bau menyengat di hidung.Tiga hari aku mengurung diri dan akhirnya dering ponsel membuatku bangkit dari ranjang. Tertera nama manager tempatku bekerja dulu.Ku tekan tombol berwarna hijau,"Assalamualaikum pak Andri, ada apa pak?" Tanyaku sopan."Waalaikumusalam Nit, sekarang kamu sudah bekerja?""Alhamdulillah belum pak, sahabat saya belum mengabarkan saya diterima atau tidak ditempatnya bekerja." Jelasku."Kalau begitu saya mau menawarkan pekerjaan ke kamu tapi di daerah palembang, gimana?" tanyanya membuat ku
Lalu pintu mobil terbuka dan aku terdorong keluar. Rasa sakit karna terkilir dan luka yang belum sembuh tak kuhirau kan, aku mencoba berlari sekuat tegaku. Meninggalkan polisi itu, amplop ini sepertinya penting. Kenapa polisi itu tau akan amplop ini?. Rasanya sudah tak kuat lagi berlari dan aku berhenti didepan rumah seseorang, ku istirahatkan kakiku sejenak. Kepada siapa aku menceritakan hal aneh ini? Bathin ku bergejolak. Tetiba debaran didada membuat sesak! "Pergilah ... pergilah!" Suara itu lagi. Dengan sisa tenaga aku berlari lagi dan segera mencari angkot untuk kembali pulang. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Terdengar pintu diketuk, "Nit, kamu sakit lagi?" Tanya mbak Afsah. Aku hanya diam saja. "Nita buka ... Nit. Rinda dari tadi menelpon, kenapa kamu enggak jadi kekantornya?" Tanyanya penasaran. Aku membuka pintu lalu menghampiri mbak Afsah, "T
Pesan itu seolah tertuju padaku. Kumasukan amplop pada keadaan semula dan memakan makanan yang sudah tersedia. Dada ini semakin sesak merasakan sesuatu yang belum pernah terasa sama sekali. Hanya pikiranku saja mungkin, batinku mulai berkecamuk. Aku menyelesaikan makanku dan membayarnya, namun lagi-lagi uang yang kuberikan ditolak secara halus. Apakah penampilanku aneh atau ada yang aneh dengan uang ini? Tak habis pikir kenapa mereka menolaknya meski aku memaksa.Perjalanan kulanjutkan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata rumah sahabatku sudah rata dengan tanah. Rasa sedih tidak terlukiskan lagi jarak yang kutempuh sia-sia. Langkahku gontai meninggalkan tempat pertama yang kudatangi. Hujan turun di hari yang secerah ini, menambah kebimbangan akan langkah ini.Berdiri di depan sebuah mini market menunggu hujan yang sangat lebat berhenti, di kejauhan sekelebat bayangan terlihat sangat mengerikan. Aku tidak berani menatap jauh ke depan, orang-orang di sekitarku ha
Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah? Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang. Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya. Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. *** Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah. Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah. Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melir
"Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu
"Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.
Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam. Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel. Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh. Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap. Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal. "Pagi-pagi cari
Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.