Dua Tahun Kemudian.
Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.
Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.
Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.
Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.
Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.
Pagi ini seperti
“Assalamuaikum semuanya! Siap goyang bersama?” “Siaapp!!” “Kang Bambang, yuk kasih kendangnya!” Tung tak… Tung tak… Tung tak… Joss!! Musik pun bergema. Sepiker di kanan-kiri panggung bergetar. Lampu tembak menyala: merah, kuning, biru, paling terang warna ungu. Malam yang tadinya dingin berubah hangat. Penonton mulai mengangkat tangan sambil bergoyang, terbuai dalam alunan musik asli asal nusantara ini. Ingar-bingar musik dangdut seketika menggemparkan lapangan. “Para penontooon …., bapak-bapak ibu-ibu semua yang ada di sini, hoi!!” Aku tak heran, mengapa orang-orang lebih suka nonton dangdut daripada pengajian di tivi-tivi? Jelas saja, soalnya pengajian bikin ngantuk sementara musik dangdut bisa bikin mata melek. Apalagi kalau sudah biduannya punya bokong yang aduhai, besar menggoda. Lihat saja goyangannya! Serrr digoyang kanan,
Malam ini sungguh melelahkan. Namun, aku tetap tampan dan kata orang-orang mirip Reza Rahardian (itu kata mereka dan bukan kataku!). Akhirnya seluruh rangkaian acara telah usai. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing membuat lapangan seketika menjadi sepi. Hanya tampak satu dua kuli angkut sedang membongkari sound system dan panggung. “Gimana, Wik, dapat saweran banyak?” tanya Kang Bambang sambil mengemasi kendang. Tapi Dewik tak menjawab, menoleh pun tidak. Gadis itu sedang sibuk menghitung uang dalam kotak. “Ya jelas banyaklah,” kataku menyela, “Juragan Turah kalau lagi mabuk suka lupa sama uang. Hahahaa.” “Berarti sekarang kita punya semboyan baru, Kir! “Apa itu, Kang?” “Mabukmu Rejekiku! Ya, tho?” Aku tergelak. Kang Bambang orangnya memang suka bercanda, bahkan seringkali leluconnya berbau porno alias jorok. Apa mungkin di usia empat puluhan lelucon jorok memang lebih disukai? Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku
Pukul tujuh lima-belas pagi, aku terbangun saat badanku terayun digoyang-goyang sesuatu.Rupanya emak sudah duduk di samping ranjangku. Kalau sudah begini, tidak ada urusan lain kecuali pasti minta jatah preman.“Semalem dapat duit berapa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.“Lumayan, Mak.”“Mana sini!” Tangan emak menjulur. Bawa pisau pula. Ngeri aku melihatnya.“Tuh, di dompet semua,” jawabku malas. Kupeluk lagi selimut dan bantal, lalu bismika Allahumma ahya wa bismika ammut, kupanjatkan kembali doa tidur.Tanpa banyak bicara lagi emak langsung menggeledah dompetku mirip penyidik di kantor polisi. Diambil semua uang yang ada di dompetku tanpa sisa. Tapi, aku tak merasa keberatan dengan hal tersebut. Toh, semua juga untuk kebutuhanku—bayar listrik, beli beras, sayur, minyak goreng, kopi, gula, dan tak lupa buat bayar tunggakan rokokku di warung sebelah.Sebelum pergi meninggalkan kamarku emak bilang, “Kir, tadi habis subuh
Aku heran, kenapa di saat-saat krusial seperti ini si biduan dangdut itu malah muncul?Bukannya nggak suka, tapi waktunya aja yang nggak tepat! Lihat sekarang, dua perempuan itu sedang berdiri di depanku memandangku, menunggu responku—tentang apa yang akan kulakukan, apakah tetap masuk ke dalam rumah dan mengambil rantang untuk Aisyah ataukah malah melupakan rantang itu dan menyapa Dewik lalu berbincang-bincang dengannya?Dua pilihan yang sulit! Wahai Tuhan, kalau Engkau mau mencabut nyawaku, barangkali sekaranglah waktu yang tepat!“Mas, emak ada, kan? Aku sudah janji sama emak mau masakin sayur asem buat kamu.”“Iy-iya, Wik, emak ada di dalam. Masuk aja.”Dewik langsung menyelonong ke dekatku, dan mulutnya yang besar mirip ikan mujahir itu berbisik tepat di depan daun telingaku. “Mas, awas ya kalau kamu sampai suka sama ‘si kerempeng’ itu! Kugigit burungmu!”Waduh!Badanku langsung kaku mirip patung pulisi saat mendengarnya
Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.“Bodolah!”Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.“Enggak gitu juga, Mas.
Erte lima. Erwe tiga. Sepuluh, nomor rumahnya. Nama gangnya: Gang Asmara. Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah. Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami! Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai d
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot