Share

DEWIK

Malam ini sungguh melelahkan. Namun, aku tetap tampan dan kata orang-orang mirip Reza Rahardian (itu kata mereka dan bukan kataku!). Akhirnya seluruh rangkaian acara telah usai. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing membuat lapangan seketika menjadi sepi. Hanya tampak satu dua kuli angkut sedang membongkari sound system dan panggung.

“Gimana, Wik, dapat saweran banyak?” tanya Kang Bambang sambil mengemasi kendang. Tapi Dewik tak menjawab, menoleh pun tidak. Gadis itu sedang sibuk menghitung uang dalam kotak.

“Ya jelas banyaklah,” kataku menyela, “Juragan Turah kalau lagi mabuk suka lupa sama uang. Hahahaa.”

“Berarti sekarang kita punya semboyan baru, Kir!

“Apa itu, Kang?”

“Mabukmu Rejekiku! Ya, tho?”

Aku tergelak. Kang Bambang orangnya memang suka bercanda, bahkan seringkali leluconnya berbau porno alias jorok. Apa mungkin di usia empat puluhan lelucon jorok memang lebih disukai? Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu sekarang hanya Dewik masih diam saja di pojok panggung menghitung uang-uang saweran. Padahal biasanya dia yang paling heboh di antara kami bertiga.

“Sudah, Mas. Yuk pulang!” kata Dewik terburu sambil menyodorkan jaket padaku. Wajahnya agak murung.

“Yuk,” jawabku merasa heran.

Seperti biasa, selesai manggung kami tak langsung pulang. Kami pasti mampir dulu ke warung kopi Mbok Bariyah guna membagi penghasilan di sana. Kuboncengkan Dewik naik Motor Vespa warisan almarhum bapak. Sementara Kang Bambang memboncengkan kendangnya, sudah ngacir dulu di depan.

Kami melewati jalan desa yang sepi. Hawa dingin menyergap, dan suara jangkrik saling susul di tengah kebun-kebun kopi yang gelap. Dewik memelukku erat sekali. Mungkin dia takut. Tapi, kurasa dia memang sedang tidak mood hari ini.

“Capek, Wik?” tanyaku basa-basi.

“Lumayan, Mas.”

“Yasudah sini, nyandar aja ke pundakku,” godaku nakal sambil cengengesan. Maksudku, kalau boncengnya makin dekat pasti makin terasa itunya.

“Mas, boleh aku tanya sesuatu?”

“Hm?”

“Ya. Aku serius mau tanya sesuatu.”

Kaget rasanya aku. Tidak biasanya Dewik semurung ini. Biasanya dia itu ceria, bahkan boleh dibilang setengah edan. Dia suka ketawa-tawa nggak jelas mirip cabe-cabean, atau nyanyi-nyanyi sendiri di sepanjang jalan. Tapi tidak malam ini. Waduh, ada apa, ya?

“Soal apa, Wik?” tanyaku hati-hati.

“Menurut Mas Cukir, ada nggak laki-laki yang mau nikah sama biduan dangdut kayak aku?”

Woo, ya jelas ada, Wik!” celetukku segera, tanpa pikir panjang. “Kamu ini kan cantik. Suaramu bagus, badanmu semok, bokongmu montok, dan juga aduh—”

Dewik mencubit pinggulku. “Bukan itu masalahnya, Mas!”

Lha, terus?”

“Ya soal profesiku ini!”

“Biduan dangdut maksudmu?”

Dewik mengangguk. Dari kaca spion bisa kulihat ada sedih di matanya. Aku merasa harus segera menghiburnya.

“Begini, ya, Wik. Setahuku jodoh itu sudah diatur sama Tuhan. Jadi, kamu nggak perlu khawatir soal jodoh. Suatu hari pasti ada laki-laki baik hati yang betandang ke rumahmu melamarmu.”

“Begitukah?”

Aku mengangguk. “Ya lah. Tuhan pasti sudah menyiapkan jodoh yang terbaik buat kamu. Datangnya tidak mesti sekarang. Kalau kata pak ustad-ustad, jodoh akan datang di waktu yang tepat.”

“Kapan? Umurku sekarang sudah masuk dua lima. Harusnya sekarang sudah tepat.”

Kulirik lagi wajahnya dari balik kaca spion. “Tepat menurutmu belum tentu tepat menurut Tuhan,” kataku, dan sekarang aku sedang merasa seperti ustaz-ustaz berceramah di televisi yang gemar disetel emak pagi-pagi.

Dewik mendesah, terlihat tak yakin dengan dirinya sendiri. “Apa mungkin Tuhan menyayangi seorang biduan dangdut sepertiku?”

“Tentu!” Mantap sekali bicaraku, sampai-sampai kepalaku ikut mengangguk. “Sekarang kamu yakini saja, bahwa jodohmu pasti nanti datang di waktu yang tepat.”

“Tapi aku tidak yakin!”

“Ya harus yakin!” Kuangkat satu tanganku menghadap langit. “Tetaplah berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.” Alamak, belagu benar omonganku!

“Tapi, Mas, kalau jodohku tetap nggak datang-datang gimana?”

“Pasti datang, Wik!” Aku berusaha untuk terus meyakinkan. Capek juga lama-lama ternyata. Dasar betina!

“Sudah, kamu tenang aja, ya. Lihat itu. Kambing aja yang nggak pernah mandi bisa punya pasangan, masak kamu enggak?”

“Ya bisa saja Tuhan memang menggariskan aku nggak punya jodoh, kan?”

“Ya kalah dong berarti kamu sama kambing, aduh—”

Kembali tangannya mencubitku. Sejak tergabung dalam satu grup musik dangdut kami memang cepat akrab. Urusan cubit-mencubit sudah jadi makanan sehari-hari.

“Mas!”

Opo maneh?” Kesal aku lama-lama. Dewik rewel sekali malam ini entah kenapa.

“Tapi, gimana kalau nanti jodohku tetap nggak datang-datang? Soalnya aku khawatir, profesi biduan dangdut ini kan selalu dipandang jelek di mata orang-orang!”

Diam aku sekarang. Kesal rasanya sudah. Bingung mau ngomong apa lagi buat meyakinkan dia.

“Mas Cukir!”

“Ya, ya, ya! Nanti kalau jodohmu nggak datang-datang biar akulah yang ngelamar kamu!”

“Apa?”

“Ha?”

“Bilang apa Mas Cukir barusan?”

Waduh goblok! Salah ngomong aku!

“Ee, anu, nggak ngomong apa-apa!” Aku langsung diam. Dewik juga ikut diam. Sejalan itu, perlahan, tangannya masuk ke dalam saku jaketku, lalu memeluk makin erat. Kepalanya kini disandarkan di pundakku. “Makasih ya, Mas,” bisikknya lirih, lirih sekali, tepat di lubang telingaku. Geli aku jadinya. Apalagi sekarang di bagian belakang punggungku semacam ada dua bongkah barang besar yang mengganjal!

Malam makin meremang.

Di satu sisi sebenarnya aku tak tahu, apakah aku menyayangi Dewik atau tidak; apakah aku mencintainya atau tidak? Karena tak bisa kupungkiri rasa cemburuku untuknya—terutama saat dia sedang disawer orang-orang—memang muncul secara tiba-tiba. Dan bukankah rasa cemburu seharusnya merupakan tanda cinta? O, tidak! Sebab bersama Dewik, aku sama sekali tidak merasakan getaran-getaran cinta, sebagaimana seharusnya orang-orang yang sedang jatuh cinta merasakannya.

Maka ini sungguh aneh. Aku mencemburuinya, tapi tidak mencintainya.

Perasaanku serupa perahu kertas yang terombang-ambing di tengah lautan. Kadang terbawa arus ke kanan, kadang terempas ke kiri. Ah, sudahlah. Sebaiknya tak perlu kupusingkan masalah ini. Barangkali memang hanya waktu yang mampu menjawabnya, suatu hari nanti.

Sesampai di warung kopi Mbok Bariyah langsung kupesan segelas kopi hitam sangat kental dan panas.

“Tanpa gula ya, Mbok!” kataku.

“Seperti biasa, Cah Bagus?”

“Yoi!”

Tanganku cepat meraih pisang goreng dua biji—makanan terlezat di dunia—lalu memasukkan ke dalam mulut sekaligus. Lapar sekali rasanya. Tadi sebelum manggung aku tak sempat makan.

Setelah semua memesan minum, Kang Bambang memulai obrolan. Tapi kali ini mimik mukanya serius.

“Sebenarnya aku punya 2 kabar buat kalian. Satu kabar baik, satu kabar buruk.” Aku dan Dewik langsung bertatap. Lalu Kang Bambang kembali melanjutkan, “Mana yang sebaiknya kuberitahu dulu?”

“Kabar baiknya dulu, Kang,” sambar Dewik cepat-cepat. Aku setuju.

“Baik. Kabar baiknya adalah selamat! Karena grup musik dangdut Tak Usah Kau Risau Rumput Tetangga Masih Hijau akan punya manajer!”

Melonjak aku seketika! Kuciumi tangan Kang Bambang bolak-balik. Kupeluk Dewik saking girangnya. Manajer baru, jelas keren sekali!

“Tapi sebentar, Kang,” sela Dewik tiba-tiba. “Ngomong-ngomong, manajer itu fungsinya buat apa, ya?”

Ketawalah aku mendengar pertanyaan polos itu! Soalnya, aku juga nggak tahu! Tapi bagiku itu nggak penting-penting amat. Bodolah mau buat apa, buat pajangan pun juga nggak masalah! Yang penting ada kata-kata “manajer” saja, buatku sudah terdengar keren. Profesional.

Kang Bambang menyulut kreteknya lalu mulai menjelaskan. “Manajer itu nanti fungsinya yang akan mengatur jadwal manggung kita. Dia juga yang akan nyariin job sekaligus. Jadi, aku nggak perlu repot-repot lagi ngatur jadwal. Soalnya, aku mau fokus bikin lagu.”

“Lagu?” Terkejut aku mendengarnya. Seperti tak percaya dengan yang barusan kudengar.

Kang Bambang mengisap kreteknya, lalu mengembuskan. “Ya, lagu. Untuk grup dangdut kita. Biar kita bisa cepat terkenal kayak artis-artis di ibu kota.”

“Maksud Kang Bambang jadi ..., kita mau bikin lagu sendiri?”

Mengangguk Kang Bambang seketika. “Direkam juga!” Berbinar mataku mendengarnya. “Bisa disetel di radio juga!” Hampir copot jantungku kali ini! “Dan lagi, Kir, kalau beruntung, kita bisa diundang manggung di acara tivi-tivi!”

Melonjak aku untuk yang kedua kali. Girang benar rasanya. Kuciumi tangan Kang Bambang lagi. Kupeluk Dewik lagi. Sepulang nanti, akan kuberitahu sama emak soal ini.

“Tapi Kang, apa bisa semudah itu?” Dewik menyela tiba-tiba.

“Nah, itu dia masalahnya,” ucap Kang Bambang sambil membuang puntung rokok ke asbak, lalu melanjutkan, “kabar buruknya adalah, kita nggak punya modal! Buat bayar manajer, buat biaya rekaman, belum nanti buat biaya ngurus legalitas karya dan administrasi lain-lain. Semua itu butuh modal yang nggak sedikit.”

“Memang berapa, Kang?”

“Banyak, Wik.”

“Iya, berapa kira-kira?”

Kulihat Dewik sangat antusias. Mungkin, inilah saat bagi dirinya untuk mengejar cita-cita menjadi penyanyi dangdut TOP papan atas nasional seperti Mbak Inul Daratista.

Kang Bambang tak lekas menanggapi pertanyaan Dewik. Sejenak, dia kembali mengisap kreteknya sangat dalam, sampai-sampai kulihat bara merah yang menyala.

“Jadi berapa duit, Kang?”

“Seratus juta rupiah!”

Meloncat pisang goreng dari mulutku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status