Pukul tujuh lima-belas pagi, aku terbangun saat badanku terayun digoyang-goyang sesuatu.
Rupanya emak sudah duduk di samping ranjangku. Kalau sudah begini, tidak ada urusan lain kecuali pasti minta jatah preman.
“Semalem dapat duit berapa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.
“Lumayan, Mak.”
“Mana sini!” Tangan emak menjulur. Bawa pisau pula. Ngeri aku melihatnya.
“Tuh, di dompet semua,” jawabku malas. Kupeluk lagi selimut dan bantal, lalu bismika Allahumma ahya wa bismika ammut, kupanjatkan kembali doa tidur.
Tanpa banyak bicara lagi emak langsung menggeledah dompetku mirip penyidik di kantor polisi. Diambil semua uang yang ada di dompetku tanpa sisa. Tapi, aku tak merasa keberatan dengan hal tersebut. Toh, semua juga untuk kebutuhanku—bayar listrik, beli beras, sayur, minyak goreng, kopi, gula, dan tak lupa buat bayar tunggakan rokokku di warung sebelah.
Sebelum pergi meninggalkan kamarku emak bilang, “Kir, tadi habis subuh Aisyah ke sini ngasih bubur. Katanya di pondok lagi ada acara, jadi santri-santri pada bikin bubur banyak.”
“Astagfirullah!” Seketika terlonjak badanku. Emak sampai kaget melihatnya.
“Kenapa kamu ini? Kayak orang kesetrum aja!”
Waduh, emak ini nggak tahu apa, tiap dengar kata ‘Aisyah’ badanku emang langsung kesetrum.
“Siapa yang ke sini tadi pagi?”
“Aisyah.”
“Astagfirullah!”
“Kamu ini kenapa? Bocah edan!”
“Ngasih apa dia, Mak?”
“Bubur. Tuh, masih di meja, tapi udah dingin kayaknya.”
Segera kulari menuju dapur. Dan benar saja, kudapati bubur Aisyah tergeletak di atas meja.
Indah sekali rasanya. Bubur Aisyah, pesona warna putih buburnya terasa suci, dengan beberapa butir candil di atasnya yang berwarna kemerahan bikin aku seketika jatuh cinta. Kudekati bubur Aisyah perlahan-lahan, seolah ia sedang menggodaku.
“Mas Cukir,” kata bibur itu, “sini cicipi aku, Mas.”
Ada bayang-bayang wajah Aisyah yang manis di sana, tersenyum di antara butiran-butiran candil. Tak kuasa sebenarnya aku hendak memakannya. Tapi, aku pun tahu, jika sampai bubur ini tidak kumakan, tentu Aisyah akan bersedih.
Maka tak perlu banyak pertimbangan lagi. Pagi yang penuh drama ini kulanjutkan dengan mendudukkan diriku dengan manis di depan meja makan, mengambil sendok, lalu bismillah …, kusuap bubur Aisyah dengan lahap.
Alamak, rasanya enak bukan dusta! Membuat tangan dan bibirku berolahraga sebab tak mau berhenti melahapnya. Sebetulnya aku tahu jika bubur ini tidaklah beda dengan bubur candil pada umumnya. Hanya masalahnya, Aisyah-lah yang membawanya. Membuat bubur candil yang biasa menjadi luar biasa.
Lihat, bubur putihnya terasa lumer di mulut, sedang candil-nya meletus-letus di lidahku. Legit menggigit. Menegakkan kuduk di sekujur kulit.
Manis sekali candilnya ini, masyaa Allah! Sama manisnya dengan senyum Aisyah yang kubayangkan sedang tersipu malu-malu mendekap kitabnya di dada, mengenakan jilbab merah muda. Senyumannya. Gigi gingsulnya. Bibir tipisnya. Lesung pipinya. Dan tahi lalatnya di samping mata dan oh, sesederhana ini rupanya hidup bahagia.
Aisyah, oh Aisyah…
“Oii!!” Melompat sendokku dari genggaman. “Woalah, kamu ini kesambet apa senyum-senyum sendiri, Kir?” Emak mengagetkanku. Hampir saja kulempar piring ini lantaran kesal, tapi tidak jadi. Entah sejak kapan emak sudah duduk di depan meja makan.
“Ngalamun apa kau ini?”
“Mak, tadi pagi dia ke sini pakai jilbab warna apa?”
“Dia siapa?”
“Halah, masak nggak paham maksudku?” Kukedipkan sebelah mata.
“Oh, Aisyah?”
“Astagfirullah!” Kesetrum lagi tubuhku saat dengar namanya.
Emak heran dan lekas memegang jidatku. Dingin. Syukurlah, anak lakinya masih waras.
“Kamu itu kenapa sebenarnya? Sukakah sama dia?”
Tak bisa kujawab pertanyaan emak kali ini. Merah sudah pipiku ini. Terlalu sulit bibirku untuk berkata ‘iya’. Maka, kugerakkan saja kepalaku naik-turun.
Melihat tingkahku emak langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri di sebelahku. Tangannya yang sudah berkeriput mengusap-usap kepalaku. Membetulkan-betulkan arah rambutku. Lembut sekali. Entah kenapa emak melakukan ini, tidak biasanya ini terjadi.
“Kir, kamu suka sama Aisyah?”
“Iy-iya, Mak.”
“Kamu cinta sama Aisyah?”
Diam aku.
Emak menatapku. “Hm?”
“Iy-iya, Mak.”
Plakk!!
Ditampar kencang pipiku.
“Bangun, Kir, bangun! Kamu ini ngaca! Aisyah itu gadis solehah anak kiai besar! Di kepalanya pulak sudah ada hafalan 30 juz Al-Quran! Lha kamu ini apa?” Ditunjuk-nunjuk kepalaku kasar. “Otakmu ini isinya cuma ada udut, ngopi, udut, ngopi! Rusak!”
“Tapi, Mak, jodoh itu di tangan Tuhan. Nggak ada yang nggak mungkin. Kalau aku terus berdoa dan mengusahakan pasti ada jalan buat dapatin Aisyah. Tuhan tidak tidur.”
“Iya benar Tuhan itu tidak tidur! Tapi kau yang ketiduran!”
Alamak, runyam sudah ini urusannya. Apalagi kalau logat bataknya emak sudah sampai keluar bisa panjang urusannya. Emak bisa ngomel seharian tanpa jeda. Bisa dari subuh sampai ke subuh esok hari. Aku jadi heran, kenapa bapak yang notabene orang jawa dan lemah lembut itu, bisa milih nikah sama emak yang orang batak dan galaknya minta ampun ini?
“Sudah-sudah! Mandilah kau sana! Emak mau ke warung dulu!”
Alhamdulillah, selamat nyawaku. Lekas-lekas aku mandi dan tak lupa menggosok gigi.
Selesai mandi dan menghabiskan satu jam lebih di dalam sana, kujerang air dan membuat segelas kopi. Ini termasuk kebiasaanku, menikmati hawa pagi nan dingin dengan secangkir kopi sambil duduk di teras rumah. Dan sebentar lagi kau akan tahu kenapa kebiasaan ini selalu kukerjakan.
Setelah duduk di kursi rotan teras depan langsung bisa kudengar suara bocah ramai bersorai nun di seberang sana. Maklumlah, rumahku ini berhadapan-hadapan persis dengan Pondok Pesantren An-Nur milik abahnya Aisyah, hanya terpaut jalan beralas tanah, kurang-lebih berukuran dua mobil berpapasan.
Dan dari teras inilah biasanya kupandangi Aisyah berlama-lama, terutama saat dia tengah mengajar santri-santrinya di pelataran pondok. Tahukah kamu? Selain mengajar Quran, Aisyah itu memang ditugasi abahnya untuk mendongengkan kisah nabi-nabi kepada santri-santrinya yang masih belia. Maka tak heran kalau dia acap kali mengajar di pelataran pondok, terutama kalau sedang berdongeng nabi-nabi.
Sembari menunggu Aisyah menampakkan diri, kuikat rambutku sambil mencabuti bulu-bulu hidung yang sudah memanjang. Orang bilang aku ini mirip Reza Rahardian (sekali lagi kutegaskan kalau ini kata orang dan bukan kataku!).
Dengan rambut yang ikal, alis tebal, bibir merah alami, juga sedikit brewok tipis-tipis yang malas kucukur, tampaknya menjadi dalil orang-orang untuk menyama-nyamakan aku dengan Reza Haradian. Hah! Sebenarnya aku pun tak begitu peduli soal penampilan. Sebab menurutku, kalau sudah dasarnya memang tampan, ya mau diapa-apakan tetap tampan saja!
Tapi sekarang, apa gunanya ketampananku kalau Aisyah tak muncul-muncul juga? Sudah setengah jam lebih kutunggu dia di sini, menghabiskan setengah gelas kopi dan dua batang kretek. Tapi, ‘Matahari Cintaku’ itu tidak juga menampakkan diri. Kemana kamu itu, Aisyah? Kemana kamu sembunyikan tahi lalatmu yang manis itu, Aisyah? Oh, ternyata dia ada di sini. Di dalam dadaku ini.
Plakk!!
“Jangan ngalamun pagi-pagi, kesambet setan kau nanti!” Emak sudah pulang dari warung rupanya. Heran aku, apa nggak capek marah-marah mulu?
“Ngalamunin apa kau ini, Kir? Aisyah?”
“Astagfirullah!”
“Astagfirullah-astagfirullah, gundulmu!”
Kuusap pipiku yang merah kena tampar dua kali.
“Oya, barusan emak di warung ketemu sama Dewik. Katanya, dia nanti mau ke sini bantuin emak masak.”
“Lho, Mak? Apa mendesaknya tiba-tiba Dewik mau bantuin emak masak?” Heran aku. Laipula, toh, apa bisa biduan dangdut itu masak?
“Dasar kau ini jadi laki-laki nggak peka!”
“Maksud emak apa?”
“Mbuh, ah!”
Emak langsung menyelonong masuk rumah tanpa memberiku penjelasan apa pun. Kugaruki rambutku yang nggak gatal. Aneh-aneh aja!
Matahari telah meninggi, sinarnya menyengat. Kicau burung yang tadinya terdengar riuh di atap rumah kini sudah tidak terdengar lagi. Barangkali burung-burung itu sudah merasa kepanasan sekarang, dan memilih bersembunyi di balik ranting-ranting pohon rimbun. Ya jelas saja, aku pun sudah mulai merasa kepanasan duduk di teras ini. Tapi, sebelum kuberanjak masuk rumah, seseorang rupanya datang.
“Assalamu’alaikum.”
Waduh!
“Mas Cukir?”
Kukucek mataku satu kali, tapi ini bukan mimpi. Kukucek lagi untuk yang kedua kali, tapi wajah gadis itu tetap nggak berubah. Dan betul ternyata. Semua ini nyata!
“Mas? Kok, nggak jawab salamku?”
“Oh, iya, anu, ee, wa’alaikumsallam.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba!
Aisyah cintaku, oh, Matahariku. Dari tadi kutunggu-tunggu, eh, rupanya malah nongol di rumahku.
“Emak ada, Mas?”
“Oh, ya. Ada-ada! Masuk-masuk!”
Gugup aku jadinya! Kek maw meninggal!
“Nggak usah, Mas. Aku cuma mau ambil rantang yang tadi pagi buat tempat bubur.”
“Oooo…”
Alamak, panjang pula ‘o’-ku ini. Aisyah jadi sampai ketawa kan ngelihatnya. Gigi gingsulnya sedikit ngintip dari balik celah bibir. Masyaa Allah, manis benar makhluk-Mu yang satu ini, Gusti! Bisa diabetes aku lama-lama!
“Mas?”
“Hah!”
“Mas Cukir?”
“Hah? Gimana-gimana?”
“Rantang, Mas. Tolong bilangin ke emak, Aisyah mau ambil rantang.”
“Ooo, ya-ya, Dik. Sebentar-sebentar, Mas Cukir ambilkan saja.”
Beranjak segera aku dari tempat berdiri. Namun, sebelum benar-benar masuk dalam rumah, tiba-tiba datang lagi seseorang.
“Mas, Mas Cukir.”
“Hah!”
“Mas Cukir!”
Alamak, Dewik?
Aku heran, kenapa di saat-saat krusial seperti ini si biduan dangdut itu malah muncul?Bukannya nggak suka, tapi waktunya aja yang nggak tepat! Lihat sekarang, dua perempuan itu sedang berdiri di depanku memandangku, menunggu responku—tentang apa yang akan kulakukan, apakah tetap masuk ke dalam rumah dan mengambil rantang untuk Aisyah ataukah malah melupakan rantang itu dan menyapa Dewik lalu berbincang-bincang dengannya?Dua pilihan yang sulit! Wahai Tuhan, kalau Engkau mau mencabut nyawaku, barangkali sekaranglah waktu yang tepat!“Mas, emak ada, kan? Aku sudah janji sama emak mau masakin sayur asem buat kamu.”“Iy-iya, Wik, emak ada di dalam. Masuk aja.”Dewik langsung menyelonong ke dekatku, dan mulutnya yang besar mirip ikan mujahir itu berbisik tepat di depan daun telingaku. “Mas, awas ya kalau kamu sampai suka sama ‘si kerempeng’ itu! Kugigit burungmu!”Waduh!Badanku langsung kaku mirip patung pulisi saat mendengarnya
Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.“Bodolah!”Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.“Enggak gitu juga, Mas.
Erte lima. Erwe tiga. Sepuluh, nomor rumahnya. Nama gangnya: Gang Asmara. Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah. Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami! Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai d
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Aku baru tahu, kenapa dia bisa dipanggil Agus Penyok. Karena sebagian mukanya, bagian kiri tepatnya, memang penyok seperti panci dipukuli besi. Menurut Kang Bambang, muka itu adalah bekas luka akibat dipukuli preman-preman saat Agus Penyok berusaha menyelamatkan nyawanya di hari penyerangan itu. “Aku banyak berhutang jasa sama Agus Penyok.” Begitulah ujar Kang Bambang.Hari ini kami manggung di acara kondangan. Yang menikah adalah putri Agus Penyok. Acara berlangsung meriah dari siang sampai sore, dan tugas kami adalah menghibur para tamu undangan.Tidak seperti biasanya, hari ini Dewik berpakaian cukup tertutup demi menghormati tamu-tamu undangan. Yang hadir kebanyakan pakai mobil-mobil bagus. Menurut informasi dari pembawa acara, sebagian tamu yang hadir adalah pejabat daerah, anggota DPR, dan terutama pengusaha rekan-rekan si empunya acara. Jadi nggak heran jika lagu-lagu yang kami bawa cenderung musik pop yang diubah menjadi dangdut.“Mbak,
Tak lama kemudian Agus Penyok keluar dari ruang tengah. Kali ini tidak sendirian, tapi sekarang dia ditemani istrinya.Dia pun berbicara setelah mengarahkan istrinya untuk duduk perlahan-lahan. “Maaf, Mbang. Bukan apa-apa. Bukannya aku pelit atau bagaimana denganmu. Tapi lihat, istriku saat ini sedang sakit-sakitan. Kami sedang butuh biaya banyak untuk cuci darah setiap pekan.”Istrinya terbatuk. Wajahnya tampak pucat sekali. Badannya kurus dan lemas. Benar-benar, dia tampak seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup.Kang Bambang menghela napas. “Sakit apa istrimu? Kenapa kamu tak pernah cerita ke aku kalau istrimu sedang sakit?”Agus Penyok mengibaskan telapak tangannya. “Ah, kamu sudah terlalu baik sama aku, Mbang. Dulu saat di pasar, kalau tidak dipungut sama kamu, tentu aku sudah mati dimakan anjing-anjing.”“Jangan sungkan begitu. Kamu itu sedulurku.”“Tapi maaf ya, Mbang. Saat ini a