Aku heran, kenapa di saat-saat krusial seperti ini si biduan dangdut itu malah muncul?
Bukannya nggak suka, tapi waktunya aja yang nggak tepat! Lihat sekarang, dua perempuan itu sedang berdiri di depanku memandangku, menunggu responku—tentang apa yang akan kulakukan, apakah tetap masuk ke dalam rumah dan mengambil rantang untuk Aisyah ataukah malah melupakan rantang itu dan menyapa Dewik lalu berbincang-bincang dengannya?
Dua pilihan yang sulit! Wahai Tuhan, kalau Engkau mau mencabut nyawaku, barangkali sekaranglah waktu yang tepat!
“Mas, emak ada, kan? Aku sudah janji sama emak mau masakin sayur asem buat kamu.”
“Iy-iya, Wik, emak ada di dalam. Masuk aja.”
Dewik langsung menyelonong ke dekatku, dan mulutnya yang besar mirip ikan mujahir itu berbisik tepat di depan daun telingaku. “Mas, awas ya kalau kamu sampai suka sama ‘si kerempeng’ itu! Kugigit burungmu!”
Waduh!
Badanku langsung kaku mirip patung pulisi saat mendengarnya. Kupandangi celanaku dan tampaknya burungku pun ketakutan di dalam sangkar sana.
“Pokoknya awas ya kamu, Mas!” ancam Dewik tak main-main, lalu masuk ke dalam rumah setelah mencubit bokongku terlebih dulu sampai-sampai membuatku berjingkat.
Aisyah melihat itu semua. Entah apa yang sekarang sedang dia pikirkan di kepala. Aku jadi merasa tak enak padanya.
“Mas, mungkin besok saja aku ambil rantangnya.”
“Lho, Dik?”
“Assalamualaikum.”
“Aisyah!”
Gadis itu tak hiraukan panggilanku. Cepat-cepat dia membalikkan badan lalu menjauh dari tempatku berdiri.
Dasar sialan, biduan edan, kucing garong, dinosaurus, kadal bunting, dan aku misuh-misuh tak keruan dalam hati melihat ‘Matahari Cintaku’ itu pergi.
Aduhai, malang benar Aisyah-ku itu.
Sementra di dapur suara emak dan Dewik sedang masak sambil berbincang-bincang. Sebenarnya aku tak tertarik untuk mendengarnya, tapi sangking kencangnya suara mereka maka tak sengaja kudengar semua percakapan.
Sesekali mereka membicarakan Siti, anak gadis Komandan Murdin yang katanya hamil duluan dan katanya lagi pacarnya kabur tak mau bertanggung jawab. Menurut emak, itu merupakan karma. “Kau lihatlah itu kelakuan bapaknya! Dia itu bajingan preman desa, sukanya godain gadis-gadis. Pantas saja anaknya dihamilin orang.”
Dewik ikut cengengesan mendengarnya.
Selesai Siti, mereka lanjut menggosipkan Juragan Turah yang katanya punya selingkuhan gadis di bawah umur dari desa sebelah. Bahkan menurut informasi yang sudah emak kumpulkan dari anggota klub gosipnya, Juragan Turah sekarang sudah nikah siri sama selingkuhannya itu.
“Sudah diboyong malah gadis itu sekarang ke rumah Juragan Turah,” kata emak sambil mengiris bawang.
“Berarti tinggal satu atap sama istri yang pertama?”
“Iyalah!” Suara tahu dan percikkan minyak goreng terdengar nyaring beradu. Bau harumya segera menyergap hidungku. “Gara-gara itu sekarang istri pertamanya jadi hijrah. Emak sering ketemu dia di masjid pas lagi subuhan.”
“Oh.”
“Nah, kau tahu tidak, Wik? Sekarang emak mau tanya, kenapa istri Kang Bambang betah sekali kerja di Arab Saudi?” tanya emak semangat sekali. Kini topik gosip bergulir ke Kang Bambang.
“Nggak tahulah, Mak. Emak emang tahu?” Tentu Dewik tidak tahu. Karena Kang Bambang orangnya memang tertutup soal urusan pribadi.
“Nah, dengar-dengar ya, Wik. Istrinya Kang Bambang itu sudah dinikah siri sama majikannya di sana!”
“Ya Allah! Serius, Mak?” Kaget benar Dewik mengetahuinya. Aku pun ikut kaget mendengarnya. Karena penasaran, selanjutnya kucuri dengar berbincangan mereka dengan lebih saksama.
“Iya, serius!”
“Emak kata siapa?”
“Halah, gitu aja masak nggak bisa mikir kamu?” Emak memasukkan jagung dan beberapa sayur ke dalam kuah kaldu, lalu melanjutkan gosipnya. “Coba kamu pikir, kira-kira kenapa istri Kang Bambang nggak pulang-pulang sampai sepuluh tahun?”
Dewik jelas tak mengerti apa-apa soal ini. Kepikiran pun pasti tidak. “Ya mungkin karena emang mau kerja keras di sana?”
“Halah-halah, kamu ini polos benar jadi orang!” Nada bicara emak terdengar seperti mengejek. “Ya sudah jelas, karena dia itu sudah ketagihan sama burungnya orang Arab. Besar-besar, lho, Wik, katanya.”
“Hus! Emak ini ngomong apa? Nggak mungkinlah itu! Istri Kang Bambang kan orangnya setia.”
“Halah, tahu darimana kamu? Kalau setia ya harusnya dia mikir, suaminya itu sendirian di rumah. Kesepian. Anak aja nggak punya. Saudara jauh-jauh semua. Coba, apa dipikirnya dengan kirim-kirim uang tiap bulan bisa bikin suaminya senang?”
“Ya senanglah, Mak. Duitnya kan jadi banyak.”
“Halah-halah, polos benar kamu ini, Wik! Yang namanya manusia itu pasti punya nafsu. Apalagi kalau sudah ditinggal sepuluh tahun. Bayangin, Wik, sepuluh tahun! Nah, kalau Kang Bambang pas lagi berahi mau ngajak ‘main’ siapa? Kenalpot?”
“Emak!!” Dewik terbahak kali ini. “Masak iya sama kenalpot?”
“Makanya itu, kasihan Kang Bambang sebenarnya. Eh, sudah matang itu diangkat tahunya!”
Kemudian mereka lanjut menggibahi tetangga-tetangga lain, baik dari desa sendiri maupun desa lain; baik dari yang berusia muda maupun yang tua, semua tak luput jadi sasaran gosip.
Emak memang sangat menyukai gosip, malahan jabatannya adalah ketua klub gosip emak-emak di RT sini. Soal apa pun yang terjadi di RT sini; di RW sini; bahkan di desa ini, mustahil emak tidak mengetahui. Kalau lagi belanja di warung bisa sampai berjam-jam. Yang bisa memulangkannya hanya satu: dengung panggilan azan.
“Sudah jadi nih, Mak.”
“Ya, bawalah itu ke meja makan. Makanlah kau sama Cukir duluan, emak mau ke masjid dulu salat zuhur.”
Dan yang pasti, tidak bisa kupungkiri bahwa emak memang sangat menyukai Dewik. Bahkan beberapa kali emak sempat menyuruhku untuk segera meminangnya saja. Tapi itu kutolak, dengan alasan karena aku belum mantap buat menikah.
Dan sebetulnya alasanku yang lain adalah karena Aisyah. Ya, jujur saja, sebenarnya aku lebih condong kepada Aisyah daripada kepada Dewik. Setidaknya itulah kata hatiku untuk saat ini.
“Tarraa! Sayur asam buatan Dewik sudah jadi!” Dewik menemuiku di ruang tengah saat aku sedang tidur-tiduran. Dia lalu menarik tanganku untuk segera ke meja makan.
“Duduk yang manis, ya, Mas,” perintah Dewik seperti sedang menyuruh anak kecil. Aku menurut, dan di hadapanku telah tersaji bermacam-macam makanan.
Lalu diambilkan aku piring, dituangkan nasi putih di atasnya, kemudian sayur asam, juga tahu goreng berwarna kuning keemasan, serta tidak lupa sambal terasi yang menggoda.
“Ini yang masak kamu atau emak?” tanyaku ragu.
“Ya jelas akulah. Emak itu cuma bantu-bantu,” jawabnya bangga, sembari menuang air putih dalam gelas lalu menyodorkan ke depan mejaku.
Kulihat ada sifat keibuan muncul dalam diri Dewik. Sifat lembut nan menyenangkan. Sifat ini tentu sangat bertolak belakang dengan dirinya sewaktu di atas panggung, menjadi biduan dangdut yang enerjik dan ‘berani’.
“Gimana sayur asamnya, Mas? Enak?”
Kuacungkan dua jempol dan kembali menyuap. Tidak kusangka ternyata Dewik bisa masak seenak ini. “Kamu belajar masak sama siapa?”
“Lihat di Youtube!” Meringis dia, cantik juga rupanya. Kulitnya yang putih terkena sinar matahari dari jendela jadi tampak lebih bercahaya.
“Habis makan kita jalan-jalan ya, Mas.”
“Kemana?”
“Ya pokoknya ada.” Dia mulai memaksa, tangannya menarik-narik lengan bajuku.
“Dan juga, Mas, ada hal penting yang mau aku omongin sama kamu.”
Kuraih gelas air putih dan meneguknya. Piring telah kosong tak bersisa. Makan siang yang luar biasa lezat.
“Ya ngomong aja sekarang.”
“Nggak bisa sekarang.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
Dewik mendekatiku, dan bibirnya maju ke dekat telingaku. “Jangan bawel, nanti kamu juga tahu.” Dia mencubitku.
“Yawes, terserah kamu aja.”
Selesai makan, Dewik merapikan meja makan dan bahkan mencuci semua piring kotor yang menumpuk di dapur.
Emak sudah pulang dari masjid, dan Dewik segera mohon pamit.
“Hati-hati, ya, Wik. Makasih udah bantuin emak masak,” kata emak saat dicium tangan dan pipinya sama Dewik.
“Iya. Besok-besok Dewik ke sini lagi buat masak.”
Kuhidupkan Vespa dan kenalpotnya langsung memuntahkan asap yang banyak, mesinnya terbatuk-batuk. Sejurus itu Dewik naik di jok belakang.
“Mak!”
“Ya? Kenapa lagi, Wik?”
“Anak lakimu boleh kupeluk?”
“Suka-suka kaulah mau diapain itu!”
Dewik terpingkal dan lekas memelukku. Segera ada yang mengganjal di punggungku. Terasa kenyal, tapi itu bukan agar-agar. Dan apa kau ingin tahu sebuah rahasia? Ya, yang sedang menempel di punggungku itulah yang kerap kubayangkan, saat aku sedang berlama-lama sendiran di kamar mandi.
Setelah mengucap salam kepada emak, kami pun berangkat.
Senja yang cerah.
Vespaku berjuang setengah mati melintasi jalan rusak di sekitar perkebunan kopi. Makin rusak jalannya, maka makin pula punggungku bisa merasakan itunya. Hahai!
“Mas, ke warung Mbok Bariyah, ya.”
“Tapi aku nggak bawa duit, Wik.” Ingat aku, duitku sudah habis dipalak preman tadi pagi.
“Tenang, nanti kubayarin.”
“Kopi kental tanpa gula plus pisang goreng dua?”
“Iya-iya.” Tertawa Dewik.
“Siap, Bos!”
Sesampai di warung Mbok Bariyah kupesan kopi kental tanpa gula seperti biasa. Kuletakkan bungkus kretek di meja berikut korek api merk Zippo yang mengilat. Korek api ini merupakan warisan almarhum bapak. Dulu, sewaktu masih kecil aku selalu suka saat bapak membuka tutup korek api ini karena bunyi tik-nya sangat khas sekali.
“Mas, aku mau ngomong sesuatu.” Dewik bicara setelah kopi kentalku datang.
“Apa itu?”
Dewik menatapku tajam.
“Kamu ini kenapa?”
“Mas, janji nggak akan marah sama aku?”
“Maksudnya?”
“Aku hamil!”
Tahi kucing!!
.
.
Assalamu’alaikum, Kawan, dengan Haras di sini. Oya, saya perlu informasikan bahwa kalian bisa menulis komentar di tiap paragraf, lho! Caranya cukup tekan paragraf yang ingin dikomentari, lalu tulislah apa pun di sana. Semoga kalian menikmati kelanjutan cerita novel komedi-romansa yang menggelitik ini.
Tetap hidup sehat dan patuhi protokol kesehatan. Jangan lupa terus bergoyang.
Salam cinta dan,
Membara!
Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.“Bodolah!”Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.“Enggak gitu juga, Mas.
Erte lima. Erwe tiga. Sepuluh, nomor rumahnya. Nama gangnya: Gang Asmara. Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah. Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami! Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai d
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Aku baru tahu, kenapa dia bisa dipanggil Agus Penyok. Karena sebagian mukanya, bagian kiri tepatnya, memang penyok seperti panci dipukuli besi. Menurut Kang Bambang, muka itu adalah bekas luka akibat dipukuli preman-preman saat Agus Penyok berusaha menyelamatkan nyawanya di hari penyerangan itu. “Aku banyak berhutang jasa sama Agus Penyok.” Begitulah ujar Kang Bambang.Hari ini kami manggung di acara kondangan. Yang menikah adalah putri Agus Penyok. Acara berlangsung meriah dari siang sampai sore, dan tugas kami adalah menghibur para tamu undangan.Tidak seperti biasanya, hari ini Dewik berpakaian cukup tertutup demi menghormati tamu-tamu undangan. Yang hadir kebanyakan pakai mobil-mobil bagus. Menurut informasi dari pembawa acara, sebagian tamu yang hadir adalah pejabat daerah, anggota DPR, dan terutama pengusaha rekan-rekan si empunya acara. Jadi nggak heran jika lagu-lagu yang kami bawa cenderung musik pop yang diubah menjadi dangdut.“Mbak,
Tak lama kemudian Agus Penyok keluar dari ruang tengah. Kali ini tidak sendirian, tapi sekarang dia ditemani istrinya.Dia pun berbicara setelah mengarahkan istrinya untuk duduk perlahan-lahan. “Maaf, Mbang. Bukan apa-apa. Bukannya aku pelit atau bagaimana denganmu. Tapi lihat, istriku saat ini sedang sakit-sakitan. Kami sedang butuh biaya banyak untuk cuci darah setiap pekan.”Istrinya terbatuk. Wajahnya tampak pucat sekali. Badannya kurus dan lemas. Benar-benar, dia tampak seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup.Kang Bambang menghela napas. “Sakit apa istrimu? Kenapa kamu tak pernah cerita ke aku kalau istrimu sedang sakit?”Agus Penyok mengibaskan telapak tangannya. “Ah, kamu sudah terlalu baik sama aku, Mbang. Dulu saat di pasar, kalau tidak dipungut sama kamu, tentu aku sudah mati dimakan anjing-anjing.”“Jangan sungkan begitu. Kamu itu sedulurku.”“Tapi maaf ya, Mbang. Saat ini a
Beli sandal di Pasar Rebo!Selamat tinggal status Jomblo!Demikianlah yang aku alami. Malam ini Dewik telah resmi menjadi kekasihku, dan lihatlah! Dia semakin lengket saja memegangi pinggulku.Kami menunggangi Vespa pelan-pelan ditemani gelap malam dan area persawahan. Aku tahu ada yang berkecamuk dalam hati perempuan itu. Begitu pula denganku. Rasanya canggung. Baru saja hubungan ini diresmikan membuat kami tak banyak bicara.Dewik menyandarkan kepalanya ke pundakku.“Mas…”“Ya?”“Kamu senang dengan status baru kita?”“Senang,” jawabku singkat saja. Lalu kulihat bayangan Aisyah di langit. Mungkinkah aku sedang berbohong soal perasaanku?“Semoga hubungan kita awet dan langgeng ya, Mas.”“Hmm.” Aku mengangguk.“Semoga kita bisa melanjutkan ini sampai ke jenjang pelaminan ya, Mas? Suatu hari nanti.”&