Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”
Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.
“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”
Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.
“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”
Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.
“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Aku baru tahu, kenapa dia bisa dipanggil Agus Penyok. Karena sebagian mukanya, bagian kiri tepatnya, memang penyok seperti panci dipukuli besi. Menurut Kang Bambang, muka itu adalah bekas luka akibat dipukuli preman-preman saat Agus Penyok berusaha menyelamatkan nyawanya di hari penyerangan itu. “Aku banyak berhutang jasa sama Agus Penyok.” Begitulah ujar Kang Bambang.Hari ini kami manggung di acara kondangan. Yang menikah adalah putri Agus Penyok. Acara berlangsung meriah dari siang sampai sore, dan tugas kami adalah menghibur para tamu undangan.Tidak seperti biasanya, hari ini Dewik berpakaian cukup tertutup demi menghormati tamu-tamu undangan. Yang hadir kebanyakan pakai mobil-mobil bagus. Menurut informasi dari pembawa acara, sebagian tamu yang hadir adalah pejabat daerah, anggota DPR, dan terutama pengusaha rekan-rekan si empunya acara. Jadi nggak heran jika lagu-lagu yang kami bawa cenderung musik pop yang diubah menjadi dangdut.“Mbak,
Tak lama kemudian Agus Penyok keluar dari ruang tengah. Kali ini tidak sendirian, tapi sekarang dia ditemani istrinya.Dia pun berbicara setelah mengarahkan istrinya untuk duduk perlahan-lahan. “Maaf, Mbang. Bukan apa-apa. Bukannya aku pelit atau bagaimana denganmu. Tapi lihat, istriku saat ini sedang sakit-sakitan. Kami sedang butuh biaya banyak untuk cuci darah setiap pekan.”Istrinya terbatuk. Wajahnya tampak pucat sekali. Badannya kurus dan lemas. Benar-benar, dia tampak seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup.Kang Bambang menghela napas. “Sakit apa istrimu? Kenapa kamu tak pernah cerita ke aku kalau istrimu sedang sakit?”Agus Penyok mengibaskan telapak tangannya. “Ah, kamu sudah terlalu baik sama aku, Mbang. Dulu saat di pasar, kalau tidak dipungut sama kamu, tentu aku sudah mati dimakan anjing-anjing.”“Jangan sungkan begitu. Kamu itu sedulurku.”“Tapi maaf ya, Mbang. Saat ini a
Beli sandal di Pasar Rebo!Selamat tinggal status Jomblo!Demikianlah yang aku alami. Malam ini Dewik telah resmi menjadi kekasihku, dan lihatlah! Dia semakin lengket saja memegangi pinggulku.Kami menunggangi Vespa pelan-pelan ditemani gelap malam dan area persawahan. Aku tahu ada yang berkecamuk dalam hati perempuan itu. Begitu pula denganku. Rasanya canggung. Baru saja hubungan ini diresmikan membuat kami tak banyak bicara.Dewik menyandarkan kepalanya ke pundakku.“Mas…”“Ya?”“Kamu senang dengan status baru kita?”“Senang,” jawabku singkat saja. Lalu kulihat bayangan Aisyah di langit. Mungkinkah aku sedang berbohong soal perasaanku?“Semoga hubungan kita awet dan langgeng ya, Mas.”“Hmm.” Aku mengangguk.“Semoga kita bisa melanjutkan ini sampai ke jenjang pelaminan ya, Mas? Suatu hari nanti.”&
Rupanya di rumah Dewik sudah ada Kang Bambang.“Apa aku telat?” tanyaku basa-basi.Kang Bambang hanya menggeleng sambil melihat jam tangan.“Enggak kok. Cuma sedikit,” jawab Dewik tak keberatan.“Yaudah yuk langsung berangkat aja. Nanti keburu Pak Jokonya pergi. Dia kan orang sibuk.” Kang Bambang tak mau membuang waktu. Rencana ini harus berhasil.“Sebentar!” cegah Dewik menatapku dan Kang Bambang.“Ada apa?”“Kalian janji ya bakal ngelindungin aku kalau nanti ada apa-apa sama Si Genit itu!”“Pak Joko maksudnya?” tanya Kang Bambang sambil tertawa.“Iya lah. Kata Agus Penyok dia kan orangnya genit! Aku jadi punya firasat nggak enak deh!”“Udahlah, Wik. Kamu yang tenang yah. Jangan dipikirin soal itu. Aku sama Cukir pasti bakal jagain kamu. Janji deh! Iya, kan, Kir?”“I-iya, dong! Tenang aja, Wik.
“Sudah akui saja! Meski maling tidak akan pernah mengaku dirinya maling, tapi kalian sudah tertangkap basah!”“Benar! Kalian tidak bisa mengelak lagi!”Warga geger mengerumuni kami. Seseorang bahkan mendaratkan jotosan keras ke muka Kang Bambang. Kang Bambang tak bergeming. Orang itu malah kesakitan sendiri tangannya.“Hahaha!” Kang Bambang tertawa keras. Orang-orang menjadi bingung.“Kenapa kamu tertawa, Maling? Sekarang habis sudah sudah riwayatmu!”“Kalian ini warga bodoh semua!”“Lancang!” Lagi-lagi seseorang memukul Kang Bambang. Kali ini menggunakan tongkat kayu kopi sampai-sampai tongkat itu patah.“Dengar! Apa kalian tidak tahu jika di kampung ini ada acara kumpul kebo?”Semua orang terdiam mendengar perkataan Kang Bambang.“Apa maksudmu?”“Aku sungguh tak berniat maling! Memang kuakui jika aku memanjat ge
Dia selalu bangun sebelum bunyi ayam jago beradu, dan hal pertama yang akan dilakukan adalah mengambil air wudhu lalu membaca selembar Quran. Di atas lembar sajadah dan di balik mukenanya dia melagukan ayat-ayat suci, hingga suaranya melintasi lorong-lorong pesantren, masuk ke ruang-ruang kelas, ke belakang dapur, ke rumah ndalem, dan ke kamar-kamar santri sekaligus membangunkan mereka.Ratusan santri akan terbangun seketika saat mendengar lantunan ayat suci tersebut, sebab itu memang sudah menjadi peraturan di sana. Mereka lalu melipat selimut dan mengambil air wudhu, lalu sebagian ada yang mengulang hafalan Quran-nya; sebagian pergi ke dapur menyiapkan sarapan; sebagian lain bertugas piket membersihkan kamar mandi dan pelataran pondok, hingga sampai nanti azan subuh berkumandang dan semua aktivitas wajib dihentikan.“Allahuakbar Allahuakbar…”Salat subuh berjamaah dimulai. Tidak ada percampuran di sini. Santri laki-laki shalat subuh berjamaa
Alarm berbunyi berulang kali, tapi berulang kali kumatikan jeritannya. Menjerit lagi, tapi tetap kumatikan lagi! Hingga sampai akhirnya yang menjerit bukanlah alarm, tapi—“Cukiirr!!”Berdenging kupingku segera!“Kau ini bujang lapuk! Bangun! Dengarlah alarm-mu itu berbunyi-bunyi bikin kepala pening!”Aku terperanjat. “Hah! Astagfirullah! Jam berapa ini, Mak?”Emak membuka jendela dan rupanya matahari sudah bersinar terang di luar sana.“Jam delapan!”“Celaka dua belas!”Segera aku bangun dan meraih kaos hitam bergambar Gusdur di gantungan pakaian di belakang pintu. Celana jeans warna biru kusam juga lekas kukenakan. Dan tak lupa, kubawa jaket jeans warna biru tua yang tak kalah kusamnya, serta jam tangan imitasi warisan bapak dan sebungkus rokok beserta korek apinya. Setelah itu kuraih tangan emak dan menciumnya.“Aku pergi dulu, Mak,