Share

SENJA

Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.

“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!

“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.

“Bodolah!”

Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.

“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.

“Enggak gitu juga, Mas. Aku emang mau bicara sesuatu sama kamu.” Dewik memegang lenganku, memintaku memerhatikannya. “Kali ini serius.”

“Iya-iya, serius. Cepatlah mau ngomong apa kalau gitu?”

“Hm, masalah duit seratus juta itu, lho, Mas. Kamu ingat, kan?”

Mana mungkin aku lupa? Bahkan semalam aku nggak bisa tidur gara-gara kepikiran duit itu.

“Iya ingat, terus kenapa?”

“Aku ada ide!” Bibir Dewik melengkung senang. Tampak semringah sekali wajahnya, mirip boneka di toko-toko mainan.

“Ide? Ide apa? Mau ngepet?” tanggapku ketus. Rasanya belum hilang kesalku kena prank barusan.

“Ih, bukanlah! Dosa itu!”

“Lha terus, nyolong?”

“Itu juga dosa, tauk!”

“Jual miras?”

“Bukan!”

“Jual narkoba?”

“Bukanlah, gila apa jual-jual kayak gitu!”

“Lha terus, mau nabung?”

“Bukan juga, Mas. Kelamaan!”

Aku diam. Entah ide apa yang sedang dipikirkan betina semok satu ini.

“O, aku tahu. Kamu mau open BO, ya? Aww!!” Dicubit pingganggku.

“Dengar, ya, Mas. Biarpun aku itu biduan dangdut, tapi aku masih punya harga diri, tauk!” Dewik terlihat kesal, lalu dia menambahkan, “Aku ini masih perawan ting-ting!”

“Iya-iya, percaya deh perawan ting-ting. Nah terus, sekarang apa idenya?”

“Kita cari investor!”

Dahiku mengerut. “Profesor?”

 “Ck! Investor, bukan profesor! In, ves, tor!” Dewik berkata samabil mencabut kretek dari bibirku, lalu mematikannya di asbak. “Dengar, Mas Cukir tahu tidak investor itu buat apa?”

Sudah barang tentu! Aku menggeleng.

“Nah, investor itu orang yang akan ngasih kita modal. Jadi, nanti kita pinjam dulu uang seratus juta ke investor. Terus kita pakai uangnya buat bayar manajer, bayar rekaman, juga bayar-bayar administrasi lain-lain seperti yang sudah dijelaskan Kang Bambang kemarin malam. Nanti, kalau kita sudah dapat untung, barulah keuntungan itu kita bagi sama si investor. Paham tidak, Mas?”

Aku mangut-mangut. Sedikit sudah punya gambaran, tapi belum sepenuhnya paham.

“Oke-oke, anggaplah aku sudah paham. Tapi masalahnya, apa kamu sudah berembuk sama Kang Bambang?”

“Belum,” jawab Dewik cepat. Lalu dia mengeluarkan sebatang rokok mild dari dalam tasnya, dan langsung menggigitnya pada bibir yang mirip ikan mujahir itu.

Cepat-cepat kusulutkan api dari korek Zippo-ku.

Tik! Asap terbang di antara wajahnya.

Dewik kembali melanjutkan. “Nanti saja kita rembuk sama Kang Bambang kalau rencananya sudah benar-benar matang. Sekarang, menurut Mas Cukir siapa yang bisa ngasih modal kita seratus juta rupiah?”

Bingung aku ditanya seperti itu. Uang seratus juta rupiah, tentu tidak sembarang orang yang punya. Apalagi untuk dipinjamkan buat modal? Alamak, hanya orang turah-turah yang mau. Iya, hanya orang yang turah-turah. Oh, sebentar! Aku tahu!

“Oh, Wik, aku ta—”

Dewik sudah cengengesan melihatku, seperti sudah tahu dengan yang aku pikiran.

“Juragan Turah, kan?” katanya menebak.

“Betul kamu!”

O dasar betina cerdas!

“Ya Mas, aku juga sudah mikir itu sejak kemarin. Tapi masalahnya, aku malu kalau mau ke rumah Juragan Turah sendiri. Ntar dikira mau ngaapain lagi. Ya, kan?”

“Terus maksudmu, aku disuruh nganter ke sana, gitu?”

“Ya iya lah.” Dewik mengedipkan mata, mencoba merayu.

“Hm, mau tidak ya? Hm...”

“O, jadi gitu kamu mainnya, Mas?”

Segera, badannya sengaja dicondongkan ke badanku, dan mukanya juga didekatkan ke mukaku, hingga bisa kuirup nafasnya itu. Dan …, alamak, dadanya dan dadaku kini saling beradu. Aku menggeliat. Geli sekali. Sial, celanaku jadi sesak!

“Iy, iya-iya, kuantar besok.” Aku menyerah. Kalau sudah begini, mana bisa kutolak rayuannya?

Dewik terbahak. Seolah baru saja memenangkan permainan. “Tenang aja, Mas. Recana ini pasti berhasil. Juragan Turah pasti mau minjemin kita uang seratus juta rupiah.” Matanya bersinar sangat yakin.

“Kenapa bisa seyakin itu?”

“Soalnya, aku akan buat penawaran yang nggak bisa ditolak sama Juragan Turah!”

“Penarawan kayak gimana?”

“Ya, lihat aja nanti. Hihihii.”

Bah! Ada-ada aja betina satu ini.

“Sudah, yuk, mas, pulang.”

Aku mengiyakan. Dan setelah Dewik menepati janjinya, membayarkan kopi dan pisang goreng, kami pun segera pulang.

Senja yang indah mengiringi perjalanan pulang kami. Matahari menguning pekat, dan cahayanya terus meredup malu-malu hampir tenggelam ditelan langit barat.

Dewik, gadis sintalku itu, di sepanjang perjalanan memelukku tanpa ragu, seperti biasanya, bahkan kadang-kadang dia sengaja mengusap-usap dadaku yang bidang.

Sesekali dia bertanya padaku tentang banyak hal; tentang mengapa bunga mawar bisa banyak warnanya; tentang mengapa leher jerapah itu panjang; tentang mengapa ayam itu tidak bisa terbang padahal punya sayap?

Juga kadang-kadang dia pun bernyanyi-nyanyi sendiri tanpa hirau jika itu sebenarnya kerap menarik perhatian orang-orang.

Dan senja pun makin tenggelam, dan hamparan langit makin petang.

Burung-burung terbang. Petani pulang. Kerbau dan sapi dan kambing digiring masuk kandang. Suara azan magrib saling bersahutan, beriringan dengan teriakan bocah-bocah kecil yang riang, mengenakan peci dan memeluk kitab suci, berangkat ngaji bakda magrib nanti.

Ah, melihat itu aku jadi teringat sesuatu…

“Nak, kalau nanti sudah besar mau jadi apa?” tanya almarhum bapak dulu, yang saat itu usiaku baru menginjak lima tahun.

Kujawab dengan polosnya, “Jadi guru ngaji, Pak!”

“Bagus!” Bapak tersenyum bangga saat itu. Mungkin, dia merasa bangga sebab pemain organ dangdut seperti dirinya pun bisa punya anak laki-laki yang soleh, dan bercita-cita menjadi guru ngaji.

“Nak, kalau sudah cukup umurmu nanti, kamu mondok saja, ya?”

“Oceh!” jawabku bersemangat.

Dan masih bisa kuingat, percakapan itu terjadi sewaktu bapak sedang mengantarku mengaji, menjelang magrib, seperti saat ini, namun terjadi dua puluh tahun yang lalu.

Oh, rasanya rindu sekali sama bapak...

“Mas?”

“Hah! Oh, iya, Wik?”

“Kamu tahu? Sebenarnya, aku nggak pernah punya cita-cita jadi biduan dangdut. Bahkan, kepikiran pun tidak. Tapi—”

“Ah, sudahlah, Wik. Yang penting sekarang nikmati saja prosesnya, ya.”

Dewik setuju. Dari caranya yang makin erat memelukku, aku tahu jik dia setuju.

Kupikir, Dewik sebenarnya berhati sangat lembut. Dan kurasa setiap perempuan di dunia ini juga mempunyai hati yang lembut, sebagaimana kesejatian diri seorang ibu. Hanya terkadang, lingkungan dan profesilah yang mampu mengubah kesejatian tersebut.

Sebagaimana halnya Dewik, yang terpaksa harus melakoni pekerjaan ini demi bisa menghidupi dua orang adiknya yang masih belia.

Oh, baiklah, akan kuberitahu sedikit rahasia tentang Dewik. Bahwa sebenarnya bapak dan ibunya telah lama cerai dan pergi entah ke mana. Selama ini Dewik sudah berusaha mencarinya, menanyakan kepada tetangga, juga kepada sanak-saudara, bahkan memasang iklan di surat kabar juga pernah dia lakukan. Namun, hasilnya percuma: bapak ibunya kadung hilang tanpa kabar bagai ditelan bumi. Mereka hanya mewariskan rumah kecil yang sekarang ini ditempati Dewik bersama kedua adiknya tersebut.

Ah, gadis yang malang…

“Mas?”

“Ya, Wik?”

“Apa kamu mencintaiku?”

“Hm?”

“Apa kamu mencintaiku?”

“ …… ”

Selembar daun terjatuh dari ranting, dan bersamaan itu, langit sempurna menghitam. Matahari telah tenggelam, menutup cerita hari ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status