Erte lima.
Erwe tiga.
Sepuluh, nomor rumahnya.
Nama gangnya: Gang Asmara.
Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah.
Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau.
Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami!
Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai dari bapak-bapak pengangguran berkaos dalam warna putih dan bersarung kotak-kotak sambil pegang rokok lintingan, anak-anak berteriak, guru SD pulang mengajar, petani menenteng cangkul, penjual bakso memukuli mangkuk, dan emak-emak sambil menyuapi anak-anaknya yang lari ke sana-sini, semuanya ikut ngumpul demi nonton kami latihan, ramai-ramai cari hiburan.
Padahal, dulu, awal-awal berlatih di sini kami sempat ditegur sama Pak Erte. Tepatnya dimarahin. Ngamuk Pak Erte. Murka tanpa ampun.
Kendang punya Kang Bambang dibuang. Organku ditendang. Microphone Dewik direbut paksa, lalu dia bilang dengan lantang, “Musik kalian itu berisik! Polusi suara!” Begitu kira-kira katanya. Suasana jadi tegang. Aku panas, lalu hendak kupukul Pak Erte yang rambutnya botak mirip telur burung unta itu. Tapi beruntung Kang Bambang saat itu meleraiku.
Lalu, masih menggunakan microphone Pak Erte kembali menegaskan, “Kami ini para warga jadi merasa terganggu, nggak bisa tidur siang, nggak bisa hidup tentram, nggak bisa ini-itu, dan nggak bisa ini-itu banyak sekali—” Sambil petentengan. Rambutnya yang cuma beberapa helai terbang-terbang ditiup angin.
Sial!—tapi kembali, Kang Bambang menyuruhku agar tetap sabar.
Tentu saja hal tersebut membuat kami galau. Bagaimana tidak? Pasalnya, hanya rumah Kang Bambanglah satu-satunya yang memungkinkan buat dijadikan tempat latihan.
Kalau di rumahku, misalnya, ya sudah barang tentu, emak bakal ngomel marah-marah sambil bawa pisau dapurnya lalu menyuruhku hengkang dari rumah! Bagaimanapun emak lebih suka pengajian daripada musik dangdut. Hiburannya cuma ada tiga di dunia ini. Pengajian. Sinetron. Sama nggosip.
Nah, kalau di rumah Dewik, misalnya, itu pun juga tidak memungkinkan. Karena selain sempit, adik Dewik juga masih kecil-kecil. Yang paling kecil itu usianya masih balita. Kasihan rasanya kalau anak sekecil itu yang masih butuh tidur siang harus terganggu sama suara kendangnya Kang Bambang. Alih-alih bisa hafal Quran, malahan nanti yang dihafal lagu-lagu dangdut belaka. Repot benar, kan? Masa depan bisa suram.
Jadi, satu-satunya harapan kami buat dijadikan tempat latihan ya rumahnya Kang Bambang ini. Tapi masalahnya, Pak Erte bawel sekali.
Sudah berkali-kali bujuk-rayu dan negosiasi kami lakukan, tapi hasilnya tetap nihil. Bahkan, kami juga pernah menyogok Pak Erte pakai amplop, gagal! Pakai martabak isi telor dan cincangan daging sapi kesukaannya, gagal juga! Pakai sembako, plus rokok satu kardus, juga kopi satu karung, juga tetap gagal! Saat itu Pak Erte kekeh bilang, “Kalau aku bilang enggak, ya pokoknya enggak! Emangnya aku pejabat laknatullah itu yang bisa disuap-suap seenak jidat?”
Waduh, bingung jadinya. Rupanya Pak Erte orangnya amanah memegang jabatannya.
Tapi, sebetulnya semua warga di sini tidak ada yang keberatan dengan latihan musik kami. Malahan semuanya sangat mendukung kami latihan di rumah Kang Bambang. Alasan mereka sederhana: Grup musik dangdut kami sudah lumayan terkenal dan mereka pula butuh hiburan. Tapi saat itu yang jadi masalah cuma satu, Pak Erte tetap kekeh nggak mau tahu!
Sampai pada suatu hari Dewik punya cara jitu. Kami akhirnya sowan ke rumah Juragan Turah—sang kepala desa itu—buat melobinya.
“Coba saja Juragan pikir, masak semua warga sudah membolehkan, tapi Pak Erte-nya tetap ngotot nggak mau! Apa itu masuk akal?” ungkap Dewik saat itu di rumah sang juragan.
Juragan Turah mangut-mangut sambil memelintir kumisnya. “Ohya, ohya. Nggak masuk akal, ya, hm…”
Kang Bambang lalu ikut menambahkan. “Betul Juragan, warga itu kan sudah pusing mikir utang, mikir cicilan, mikir mencukupi kebutuhan-kebutuhan. Jadi, anggap saja latihan kami ini sebagai penghibur buat mereka. Tidak usah dipungut biaya. Gratis, tis! Sama-sama menguntungkan, kan?”
“Ohya, ohya. Sama-sama menguntungkan, ya, hm…”
Aku pun tak mau kalah ikut juga menambahkan. “Betul Juragan, lagipula, jadwal latihan kami cuma seminggu sekali aja kok. Nggak tiap hari juga. Itu pun cuma dari siang sampai sore.”
“Ohya, ohya, cuma sampai sore, ya.”
Ohya ohya, gundulmu! batinku kesal.
“Jadi gimana Juragan? Diizinkan tidak?”
Sejenak, Juragan terlihat berpikir. Otaknya emang agak lemot untuk hal-hal semacam ini.
“Yasudah begini saja. Bilang itu sama Pak Erte, kalau aku beserta seluruh jajaran desa menyatakan: mengizinkan.”
“Apa, Juragan?”
“Meng, i, zin, kan! Dengar tidak?”
Langsunglah berpelukan kami bertiga. Senang bukan main rasanya. Lalu, Juragan Turah mengeluarkan surat perintah resmi yang dibubuhi langsung cap kepala desa dan tanda tangan dirinya. Oret-oret! Beres!
Dan sejak hari itu, kami pun bisa latihan di markas tanpa adanya gangguan.
Pak Erte, yang tadinya galak bukan main itu, bahkan langsung berubah jadi ramah total sepenuhnya.
“Oceh, oceh, kalau sudah dapat izin dari Juragan, silakan-silakan.” Begitu ujarnya. Rambutnya yang cuma beberapa helai itu sengaja diminyaki pakai minyak entah apa, mengilau disiram oleh terik matahari. Setelah itu, selalu, melalui corong musala, Pak Erte akan mengumumkan bahwa latihan kami segera dimulai.
“Hallo warga, ayok ayok pada kumpul! Hiburan gratis! Hiburan gratis!”
Dan, lihatlah sekarang, semua warga sudah berkumpul dan bergoyang…
Asolole!!
Joss!!
Joss!!
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Aku baru tahu, kenapa dia bisa dipanggil Agus Penyok. Karena sebagian mukanya, bagian kiri tepatnya, memang penyok seperti panci dipukuli besi. Menurut Kang Bambang, muka itu adalah bekas luka akibat dipukuli preman-preman saat Agus Penyok berusaha menyelamatkan nyawanya di hari penyerangan itu. “Aku banyak berhutang jasa sama Agus Penyok.” Begitulah ujar Kang Bambang.Hari ini kami manggung di acara kondangan. Yang menikah adalah putri Agus Penyok. Acara berlangsung meriah dari siang sampai sore, dan tugas kami adalah menghibur para tamu undangan.Tidak seperti biasanya, hari ini Dewik berpakaian cukup tertutup demi menghormati tamu-tamu undangan. Yang hadir kebanyakan pakai mobil-mobil bagus. Menurut informasi dari pembawa acara, sebagian tamu yang hadir adalah pejabat daerah, anggota DPR, dan terutama pengusaha rekan-rekan si empunya acara. Jadi nggak heran jika lagu-lagu yang kami bawa cenderung musik pop yang diubah menjadi dangdut.“Mbak,
Tak lama kemudian Agus Penyok keluar dari ruang tengah. Kali ini tidak sendirian, tapi sekarang dia ditemani istrinya.Dia pun berbicara setelah mengarahkan istrinya untuk duduk perlahan-lahan. “Maaf, Mbang. Bukan apa-apa. Bukannya aku pelit atau bagaimana denganmu. Tapi lihat, istriku saat ini sedang sakit-sakitan. Kami sedang butuh biaya banyak untuk cuci darah setiap pekan.”Istrinya terbatuk. Wajahnya tampak pucat sekali. Badannya kurus dan lemas. Benar-benar, dia tampak seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup.Kang Bambang menghela napas. “Sakit apa istrimu? Kenapa kamu tak pernah cerita ke aku kalau istrimu sedang sakit?”Agus Penyok mengibaskan telapak tangannya. “Ah, kamu sudah terlalu baik sama aku, Mbang. Dulu saat di pasar, kalau tidak dipungut sama kamu, tentu aku sudah mati dimakan anjing-anjing.”“Jangan sungkan begitu. Kamu itu sedulurku.”“Tapi maaf ya, Mbang. Saat ini a
Beli sandal di Pasar Rebo!Selamat tinggal status Jomblo!Demikianlah yang aku alami. Malam ini Dewik telah resmi menjadi kekasihku, dan lihatlah! Dia semakin lengket saja memegangi pinggulku.Kami menunggangi Vespa pelan-pelan ditemani gelap malam dan area persawahan. Aku tahu ada yang berkecamuk dalam hati perempuan itu. Begitu pula denganku. Rasanya canggung. Baru saja hubungan ini diresmikan membuat kami tak banyak bicara.Dewik menyandarkan kepalanya ke pundakku.“Mas…”“Ya?”“Kamu senang dengan status baru kita?”“Senang,” jawabku singkat saja. Lalu kulihat bayangan Aisyah di langit. Mungkinkah aku sedang berbohong soal perasaanku?“Semoga hubungan kita awet dan langgeng ya, Mas.”“Hmm.” Aku mengangguk.“Semoga kita bisa melanjutkan ini sampai ke jenjang pelaminan ya, Mas? Suatu hari nanti.”&
Rupanya di rumah Dewik sudah ada Kang Bambang.“Apa aku telat?” tanyaku basa-basi.Kang Bambang hanya menggeleng sambil melihat jam tangan.“Enggak kok. Cuma sedikit,” jawab Dewik tak keberatan.“Yaudah yuk langsung berangkat aja. Nanti keburu Pak Jokonya pergi. Dia kan orang sibuk.” Kang Bambang tak mau membuang waktu. Rencana ini harus berhasil.“Sebentar!” cegah Dewik menatapku dan Kang Bambang.“Ada apa?”“Kalian janji ya bakal ngelindungin aku kalau nanti ada apa-apa sama Si Genit itu!”“Pak Joko maksudnya?” tanya Kang Bambang sambil tertawa.“Iya lah. Kata Agus Penyok dia kan orangnya genit! Aku jadi punya firasat nggak enak deh!”“Udahlah, Wik. Kamu yang tenang yah. Jangan dipikirin soal itu. Aku sama Cukir pasti bakal jagain kamu. Janji deh! Iya, kan, Kir?”“I-iya, dong! Tenang aja, Wik.
“Sudah akui saja! Meski maling tidak akan pernah mengaku dirinya maling, tapi kalian sudah tertangkap basah!”“Benar! Kalian tidak bisa mengelak lagi!”Warga geger mengerumuni kami. Seseorang bahkan mendaratkan jotosan keras ke muka Kang Bambang. Kang Bambang tak bergeming. Orang itu malah kesakitan sendiri tangannya.“Hahaha!” Kang Bambang tertawa keras. Orang-orang menjadi bingung.“Kenapa kamu tertawa, Maling? Sekarang habis sudah sudah riwayatmu!”“Kalian ini warga bodoh semua!”“Lancang!” Lagi-lagi seseorang memukul Kang Bambang. Kali ini menggunakan tongkat kayu kopi sampai-sampai tongkat itu patah.“Dengar! Apa kalian tidak tahu jika di kampung ini ada acara kumpul kebo?”Semua orang terdiam mendengar perkataan Kang Bambang.“Apa maksudmu?”“Aku sungguh tak berniat maling! Memang kuakui jika aku memanjat ge