“Badan aja gede, giliran putus mewek, Anj*ng,” gerutu Edo kesal sambil mendorong-dorong punggung Bara untuk segera turun dari mobil.
“Cewek masih banyak, Bar. Besok gue kenalin sama klien gue! Mau model kaya gimana juga ada!”
“Yang jadi-jadian juga ada ya, Lan?”
“Hahahaha banyak, Bro, kalo lo doyan.”
Edo bergidik seketika, “Dikasih gratis juga ogah gue, masih doyan yang ori!” katanya, sambil mengusap tengkuk yang meremang seketika. “Nah, baru juga diomongin, tuh ada cewek.” Edo menyeringai lebar saat melihat dua orang wanita duduk berhadapan di kedai nasi goreng favorit mereka.
Fadlan ikut mengekor arah pandang Edo, dan mengangguk-ngangguk.
“Kang, 4 ya, seperti biasa.” Putra menghampiri Firman, sang pemilik kedai nasi goreng.
“Siap, Mas,” jawab Firman riang. Akhirnya setelah sempat sepi sesorean ini, ia mulai mendapatkan konsumennya kembali.
Ketika berjalan melewati meja kedua wanita itu, Edo sengaja sedikit bersiul dan mengeraskan suara untuk menarik perhatian keduanya. Ia juga sengaja memilih meja yang berada di seberang meja wanita-wanita itu.
Namun, sayangnya pesona Edo malam ini tidak berkerja, dan itu membuat Fadlan tidak tahan untuk menertawainya.
“Hahaha, gagal, Do?”
Edo hanya mendengus tipis, lalu menarik kursinya dengan keras.
Putra dan Bara ikut mengambil kursi mereka masing-masing.
“Tapi manis juga sih, lumayan lah. Nilainya 6.5,” komentar Fadlan sambil melirik meja sebelah. Sejak SMA, mereka berempat memiliki kebiasaan menilai wanita dengan angka. 1 untuk yang terendah, dan 10 untuk yang tertinggi. Cindy, mantan kekasih Bara, memiliki nilai 8.5 di mata mereka semua.
Edo kembali menoleh sambil mengangguk setuju. “Bodynya oke juga. Tapi yang depannya terlalu gede, ngeri gue liat tangannya, sekali bogem mampus. Hahahaha,” tawa Edo seenaknya.
Putra menghela napas panjang. Itu bukan hal yang aneh. Ke mana pun mereka pergi, maka pembahasan utamanya adalah wanita-wanita yang ada di sekitar mereka. Namun saat ia menyadari jika bukan hanya Fadlan dan Edo yang menatap meja seberang, Putra langsung menegakkan punggungnya.
“Ssst!” Putra menendang kaki Edo di kolong meja, memberikan kode.
Ternyata Bara ikut menatap kedua wanita yang duduk di meja sebelah.
“Ini pesanannya, Neng.” Firman datang dengan dua piring nasi goreng yang mengeluarkan aroma harum.
“Makasih, Mas,” ujar salah satu dari wanita itu. “Ni, makan dulu deh,” katanya, berbicara kepada sosok yang ada di hadapannya.
Wanita itu mengangguk, tapi hanya mengaduk nasi gorengnya tanpa selera.
Putra melirik Edo dan Fadlan, memberikan kode tentang pandangan Bara yang tidak beralih dari meja seberang.
Mulut Fadlan terkatup takjub.
“Untung belom gue tandain,” gumam Edo santai.
“Lumayan kan, Bar?” tanya Putra, menyenggol bahu sahabatnya.
“Kalau mau gue bisa mintain nomor HPnya sekarang.”
“Halah, lo yang minta nomor HPnya mah gawat, nanti ujung-ujungnya jadi koleksi lo.”
“Ya, kalo Bara nggak minat, ya gue terima limbahan. Selama ori, gue doyan.”
“Anj*ng.”
Bara menarik napas panjang sambil terus mengacuhkan ketiganya. Bahkan sampai Firman datang mengantarkan pesanan nasi goreng mereka, Bara tetap diam. Namun entah mengapa, keberadaan wanita itu kembali mengusik fokusnya. Entah sudah berapa kali ia melirik ke samping dan mendapati wanita itu mengaduk nasi gorengnya tanpa selera.
Ia memang tidak semodis Cindy dengan dandanan dan gaya berpakaiannya yang kekinian. Wanita itu hanya mengucir rambutnya serupa ekor kuda, menggunakan kaos hitam polos, dan celana blue jeans tanpa tambahan aksesoris apa pun. Wajahnya juga tidak berias, tapi Bara sama sekali tidak bisa mengalihkan matanya dari bibir indah wanita itu.
“Bar, bisa bolong kepala tu cewek lo liatin terus. Kalo demen udah maju aja sekarang,” ujar Fadlan.
“Sini gue tanya nomor HPnya, sekalian tanya dia udah punya m*nyet apa belom.” Edo sudah akan berdiri meninggalkan piring nasi gorengnya yang baru habis separuh, andai Putra tidak menatap sengit ke arahnya.
“Terus kalo udah punya m*nyet?”
“Ya suruh putus lah. Hahahaha.”
“Diem, B*go,” sergah Putra saat salah satu dari wanita di meja seberang melirik risih ke arah mereka. Jangan-jangan keduanya sebentar lagi akan kabur karena ketakutan.
“Ni, kamu udahan makannya? Yuk buruan pergi,” ujar wanita bertubuh tambun itu sambil melirik tidak nyaman ke meja mereka.
Nah, kan! Putra mendesah lelah.
“Yah, mau cabut, Bar. Buruan!” Fadlan menendang kaki Bara di hadapannya.
“Oh, kamu udah Ris?” tanya wanita berkucir kuda itu kepada rekannya. Padahal piringnya sendiri hampir tidak tersentuh sama sekali.
“Iya.”
“Sebentar aku mau bungkus dulu satu lagi. Mas, satu tolong bungkus ya. Jangan pedas sama sekali,” ujar wanita berkucir kuda itu.
Kata-kata itu untuk Firman sang pemilik kedai nasi goreng, tapi entah mengapa, keempat pria itu seakan terhipnotis seketika. Suara wanita itu sangat lembut dan menenangkan. Bukan suara gadis-gadis muda yang sengaja dimanja-manjakan, tapi suara wanita dewasa yang matang.
“Siap, Neng!” jawab Firman riang.
Baik Edo, Fadlan, dan Putra langsung saling beradu pandang penuh arti. Dilihat dari mana pun wanita itu adalah tipe kesukaan Bara. Sejak dulu, Bara memang sangat menyukai gadis bersuara merdu. Termasuk seperti mantannya, Cindy.
“Jackpot!” desis Edo riang.
Fadlan mengangguk setuju.
“Buat siapa, Ni?” Percakapan di meja seberang kembali berlanjut.
“Buat Leo, anakku.”
Bruk.
Keriangan di meja keempat penyamun itu langsung meredup seketika.
***
“Apes banget yang semalem.” Edo menyisir rambut yang sengaja ia cat pirang dengan santai. Matanya melirik beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka sambil menebar senyum andalannya.Beberapa gadis tersenyum sambil melirik malu-malu saat ketiga pria itu memasuki lobi mall dengan langkah tegap. Edo sengaja menggulung lengan baju untuk memperlihatkan otot lengannya kepada gadis-gadis yang berpapasan dengan mereka di mall.“Jangan dibahas lagi, Blok,” ujar Fadlan sambil memeriksa email di ponselnya.“Hhh, emang cewek cantik dan baik itu udah mulai langka. Tapi gue nggak nyangka kalo dia bahkan udah beranak. Bodynya masih gadis banget, Bro!” keluh Edo sambil menebar senyum kepada beberapa siswi SMA yang cekikikan saat berpapasan dengan mereka.“Masih ada, Do, yang cantik, sukses, baik, dan masih single.” Fadlan mensejajari langkah Edo di escalator.Pria berkaos hitam itu menatap ragu.“Si Putri? Kurang apa dia? Kaya tujuh turunan, cantik, bohay, dan masih single.”“Anj*ng. Dia mah beda
SH*T.Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.“B*ngsat!” maki Bara kesal.Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.“Hus! Dia lagi
“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal. “Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah. “Lo lagi di mana sekarang? Lembur?” Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan. Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup. Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam da
Sabtu pagi.Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di D
“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.“K*nthu mata lo. Orang si C
Di tengah lusinan orang yang berlalu lalang di dalam mall untuk mengincar midnight sale malam tahun baru, Bara berdiri sambil menatap lurus ke department store. Kedua tangannya tersemat di saku celana, dan wajah tampannya tampak sangat serius.Beberapa gadis muda yang melihat sosok tampan Bara langsung saling berbisik. Dengan tubuh tegap, tinggi, dan wajah tampannya, mudah saja bagi Bara untuk menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Bahkan Edo pernah memintanya menjadi model pemotretan pertamanya dulu.Bara menghela napas panjang. Sesuai dugaannya, wanita itu masih bekerja di malam tahun baru, saat kebanyakan orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka untuk merayakan malam pergantian tahun baru.Dengan perlahan, Bara mulai berjalan mendekati rak-rak pakaian tempat Nilam berada. Semakin dekat, Bara semakin menyadari jika wajah Nilam sedikit berbeda dari kemarin. Ia memang masih tersenyum ramah kepada semua pengunjung mall, tapi matanya
“Duh dokter Cindy… bisa-bisanya dokter tetap cantik pas kerja di malem tahun baru begini,” keluh Imel, perawat jaga di IGD, saat melihat Cindy berjalan ke meja perawat dengan status pasien yang baru.“Iya loh, aku juga bingung.” Yumi, yang sejak tadi sibuk membuat laporan, mengangkat wajahnya. “Dokter Cindy ini sudah cantik, dan bawaannya positive vibes gitu. Rahasianya apa sih, Dok?”“Nggak ada rahasia apa-apa, Sus. Saya kan cuma menunaikan tugas aja,” senyum Cindy ramah.“Kan, suaranya aja merdu banget. Pokoknya kalau ada Dokter Cindy, IGD jadi berasa lebih tenang walau pasiennya numpuk.”Yumi mengangguk setuju.“Tapi Dokter nggak ada acara apa-apa malam tahun baru ini sama sang pacar?” goda Imel.Semua orang di IGD sudah mengetahui jika Cindy memiliki kekasih super tampan, tapi sama sekali tidak tau jika hubungan mereka sudah kandas beberapa waktu yang
“Lo yakin nggak salah liat, Put?” tanya Edo sambil menepuk perutnya yang sedikit membesar karena terlalu banyak makan.Putra menatap ponsel, nomor Bara masih belum bisa dihubungi. Entah sedang apa pria itu sampai-sampai tidak mengangkat teleponnya sama sekali.“Lo kata gue rabun? Gue yakin itu Bara.”Edo melihat jam di ponselnya. Sudah satu jam berlalu. “Yah, tapi mungkin sekarang dia udah cabut ke rumah sakit,” ujar Edo asal. Ia menenggak habis minuman yang ada di atas meja.“Anj*ng, pesen lagi kek!” protes Putra kesal saat melihat gelasnya kosong.“Bara belum datang ke rumah sakit,” gumam Fadlan menengahi pertengkaran Putra dan Edo. “Nih, gue tanya ke si Riri.” Ia menunjukkan pesannya kepada Riri di ponsel.“Lah, kok lo nanya Riri, emang dia tau Bara mau ke RS?”“Tau, kan gue yang bilang,” jawab Fadlan polos.“H