Share

BAB 2 - SI CANTIK BERSUARA MERDU

“Badan aja gede, giliran putus mewek, Anj*ng,” gerutu Edo kesal sambil mendorong-dorong punggung Bara untuk segera turun dari mobil.

“Cewek masih banyak, Bar. Besok gue kenalin sama klien gue! Mau model kaya gimana juga ada!”

“Yang jadi-jadian juga ada ya, Lan?”

“Hahahaha banyak, Bro, kalo lo doyan.”

Edo bergidik seketika, “Dikasih gratis juga ogah gue, masih doyan yang ori!” katanya, sambil mengusap tengkuk yang meremang seketika. “Nah, baru juga diomongin, tuh ada cewek.” Edo menyeringai lebar saat melihat dua orang wanita duduk berhadapan di kedai nasi goreng favorit mereka.

Fadlan ikut mengekor arah pandang Edo, dan mengangguk-ngangguk.

“Kang, 4 ya, seperti biasa.” Putra menghampiri Firman, sang pemilik kedai nasi goreng.  

“Siap, Mas,” jawab Firman riang. Akhirnya setelah sempat sepi sesorean ini, ia mulai mendapatkan konsumennya kembali.

Ketika berjalan melewati meja kedua wanita itu, Edo sengaja sedikit bersiul dan mengeraskan suara untuk menarik perhatian keduanya. Ia juga sengaja memilih meja yang berada di seberang meja wanita-wanita itu.

Namun, sayangnya pesona Edo malam ini tidak berkerja, dan itu membuat Fadlan tidak tahan untuk menertawainya.

“Hahaha, gagal, Do?”

Edo hanya mendengus tipis, lalu menarik kursinya dengan keras.

Putra dan Bara ikut mengambil kursi mereka masing-masing.

“Tapi manis juga sih, lumayan lah. Nilainya 6.5,” komentar Fadlan sambil melirik meja sebelah. Sejak SMA, mereka berempat memiliki kebiasaan menilai wanita dengan angka. 1 untuk yang terendah, dan 10 untuk yang tertinggi. Cindy, mantan kekasih Bara, memiliki nilai 8.5 di mata mereka semua.

Edo kembali menoleh sambil mengangguk setuju. “Bodynya oke juga. Tapi yang depannya terlalu gede, ngeri gue liat tangannya, sekali bogem mampus. Hahahaha,” tawa Edo seenaknya.

Putra menghela napas panjang. Itu bukan hal yang aneh. Ke mana pun mereka pergi, maka pembahasan utamanya adalah wanita-wanita yang ada di sekitar mereka. Namun saat ia menyadari jika bukan hanya Fadlan dan Edo yang menatap meja seberang, Putra langsung menegakkan punggungnya.

“Ssst!” Putra menendang kaki Edo di kolong meja, memberikan kode.

Ternyata Bara ikut menatap kedua wanita yang duduk di meja sebelah.

“Ini pesanannya, Neng.” Firman datang dengan dua piring nasi goreng yang mengeluarkan aroma harum.

“Makasih, Mas,” ujar salah satu dari wanita itu. “Ni, makan dulu deh,” katanya, berbicara kepada sosok yang ada di hadapannya.

Wanita itu mengangguk, tapi hanya mengaduk nasi gorengnya tanpa selera.

Putra melirik Edo dan Fadlan, memberikan kode tentang pandangan Bara yang tidak beralih dari meja seberang.

Mulut Fadlan terkatup takjub.

“Untung belom gue tandain,” gumam Edo santai.

“Lumayan kan, Bar?” tanya Putra, menyenggol bahu sahabatnya.

“Kalau mau gue bisa mintain nomor HPnya sekarang.”

“Halah, lo yang minta nomor HPnya mah gawat, nanti ujung-ujungnya jadi koleksi lo.”

“Ya, kalo Bara nggak minat, ya gue terima limbahan. Selama ori, gue doyan.”

“Anj*ng.”

Bara menarik napas panjang sambil terus mengacuhkan ketiganya. Bahkan sampai Firman datang mengantarkan pesanan nasi goreng mereka, Bara tetap diam. Namun entah mengapa, keberadaan wanita itu kembali mengusik fokusnya. Entah sudah berapa kali ia melirik ke samping dan mendapati wanita itu mengaduk nasi gorengnya tanpa selera.

Ia memang tidak semodis Cindy dengan dandanan dan gaya berpakaiannya yang kekinian. Wanita itu hanya mengucir rambutnya serupa ekor kuda, menggunakan kaos hitam polos, dan celana blue jeans tanpa tambahan aksesoris apa pun. Wajahnya juga tidak berias, tapi Bara sama sekali tidak bisa mengalihkan matanya dari bibir indah wanita itu.

“Bar, bisa bolong kepala tu cewek lo liatin terus. Kalo demen udah maju aja sekarang,” ujar Fadlan.

“Sini gue tanya nomor HPnya, sekalian tanya dia udah punya m*nyet apa belom.” Edo sudah akan berdiri meninggalkan piring nasi gorengnya yang baru habis separuh, andai Putra tidak menatap sengit ke arahnya.

“Terus kalo udah punya m*nyet?”

“Ya suruh putus lah. Hahahaha.”

“Diem, B*go,” sergah Putra saat salah satu dari wanita di meja seberang melirik risih ke arah mereka. Jangan-jangan keduanya sebentar lagi akan kabur karena ketakutan.

“Ni, kamu udahan makannya? Yuk buruan pergi,” ujar wanita bertubuh tambun itu sambil melirik tidak nyaman ke meja mereka. 

Nah, kan! Putra mendesah lelah.

“Yah, mau cabut, Bar. Buruan!” Fadlan menendang kaki Bara di hadapannya.

“Oh, kamu udah Ris?” tanya wanita berkucir kuda itu kepada rekannya. Padahal piringnya sendiri hampir tidak tersentuh sama sekali.

“Iya.”

“Sebentar aku mau bungkus dulu satu lagi. Mas, satu tolong bungkus ya. Jangan pedas sama sekali,” ujar wanita berkucir kuda itu.

Kata-kata itu untuk Firman sang pemilik kedai nasi goreng, tapi entah mengapa, keempat pria itu seakan terhipnotis seketika. Suara wanita itu sangat lembut dan menenangkan. Bukan suara gadis-gadis muda yang sengaja dimanja-manjakan, tapi suara wanita dewasa yang matang.

“Siap, Neng!” jawab Firman riang.

Baik Edo, Fadlan, dan Putra langsung saling beradu pandang penuh arti. Dilihat dari mana pun wanita itu adalah tipe kesukaan Bara. Sejak dulu, Bara memang sangat menyukai gadis bersuara merdu. Termasuk seperti mantannya, Cindy.

“Jackpot!” desis Edo riang.

Fadlan mengangguk setuju.

“Buat siapa, Ni?” Percakapan di meja seberang kembali berlanjut.

“Buat Leo, anakku.”

Bruk.

Keriangan di meja keempat penyamun itu langsung meredup seketika.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani Pratama
............ kaya krupuk disiram air ya, mlempem ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status