Share

BAB 6 - PRASANGKA

Sabtu pagi.

Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.

Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.

Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.

“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.

“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.

“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di DO dia dari kampus.”

Riri adalah rekan satu SMA mereka, yang sampai saat ini masih bersahabat dekat dengan Cindy.

Itu masuk akal, tapi Edo tetap tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya. Mengapa tiba-tiba seorang Bara mau membeli mobil? Dan kenapa harus mobil yang memiliki keamanan optimal untuk anak-anak?

“Jangan-jangan si Bara mau ngelamar Cindy?” tebak Fadlan dengan mata berkilat.

“Bisa jadi!” Edo mengangguk setuju. “Gila emang si Bara, udah cinta mati sama Cindy kayaknya. Lo udah tanya si Riri juga kan soal m*nyet baru Cindy?”

“Kata Riri, yang deketin Cindy banyak, tapi sampai sekarang dia masih jomblo.”

“Bagus deh. Bisa gila beneran si Bara kalau ternyata Cindy undah punya m*nyet baru. Lo bilangin deh ama si Riri, jangan sampe kejadian begitu.”

Fadlan menepuk bahu Edo dengan wajah serius. “Oke. Gue akan kabari mereka.”

Edo mengangkat ibu jarinya. “Bagus.”

***

“Halo, Bara? Kamu beli mobil baru?”

Bara melirik ketiga sahabatnya dengan tajam. Baru saja ia keluar showroom, berita itu sudah sampai ke telinga ibunya. Ia bahkan tidak yakin apa harus terkejut atau tidak.

“Iya, Bu.”

“Ah, syukurlah. Ibu jadi lega. Kenapa ndak dari dulu-dulu sih? Ibu suka ndak tega kalau kamu mudik pakai motor begitu. Berapa harganya? Biar Ibu bantu bayar ya, kamu bilang aja.”

Bara menghela napas panjang. “Bu, Bara beli cash, sudah lunas. Ibu nggak perlu repot-repot.”

“Lho, kok kamu ndak bilang dulu sama Ibu atau Bapak? Kami kan bisa bantuin kamu. Terus buat sehari-harimu gimana, Bar? Biar Ibu transfer ya.”

“Bu, Bara masih punya uang. Ibu sama Bapak tenang aja.”

“Hhh, kamu selalu bilang begitu. Pokoknya kalau ada apa-apa kamu harus kabari Ibu sama Bapak. Oya, berarti tahun baru ini kamu pulang kan, Bar?”

Bara menimbang sejenak. Bayangan sosok Nilam dan Leo kembali melintas di benaknya.

“Kayaknya nggak bisa, Bu. Masih ada urusan yang harus Bara selesain.”

“Duh, padahal Ibu sudah kangen sama kamu, Bar. Ya sudah, tapi kamu jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan jajan sembarangan, jangan lupa minum air putih, olahraga—”

“Iya, Bu,” potong Bara cepat.

“Dan berhenti merokok!”

Glek.

Bara menurunkan rokoknya, seakan sang Ibu memarahinya secara langsung.

“Iya, Bu,” jawab Bara sedikit merasa bersalah.

Lalu setelah meyakinkan ibunya jika ia akan segera berhenti merokok, akhirnya sambungan telepon itu terputus juga.

“Bukan gue!” teriak Edo saat Bara kembali dengan wajah geram.

***

“DOKTER CINDDDYYY!!!” Riri melambaikan tangannya saat melihat Cindy di IGD. Seperti biasa, Cindy selalu terlihat cantik, terlebih dengan jas putih kebanggaannya.

“Hai, Ri. Tumben kamu ke sini? Kamu sakit? Atau lagi antar orang?” tanya Cindy.

“Nggak, aku emang sengaja main ke sini.”

“Main kok ke rumah sakit.” Cindy terkekeh pelan, tapi tetap membiarkan Riri mengapit tangannya.

“Kamu masih lama?”

Cindy melihat jam di ponselnya. “Masih, tapi sekarang mau makan siang dulu. Kamu udah makan?”

“Ah, kebetulan belum. Yuk bareng, ada yang mau aku kabari juga!” ujar Riri riang sambil menunggu di depan ruang ganti dokter.

Setelah melepaskan jas putihnya, Cindy bersama beberapa dokter KOAS yang lain berjalan beriringan ke kantin rumah sakit. Cindy memesan semangkuk soto mie kesukaannya, sedangkan Riri memesan bakso rumah sakit yang terkenal enak.

“Jadi, kenapa kamu ke sini siang-siang begini? Emangnya nggak dimarahin Bosmu?”

Riri mengibaskan tangannya sambil mengucah bakso. “Santai dia mah,” senyum Riri dengan mulut penuh bakso. “Aku ke sini karena punya kabar baru dari Fadlan. Katanya… Bara beli mobil baru!”

Uhuk!

Cindy terbatuk kaget. Ia menenggak cepat minumannya, tapi batuk itu sudah membuat wajah putih Cindy memerah seketika.

Sorry, sorry, kamu kaget ya? Hehehehe. Abis aku nggak tahan buat kabari kamu sih. Akhirnya si Bara nyerah juga! Lagian bisa-bisanya dia tetap pakai motor yang sama dari jaman kuliah!”

Cindy tersenyum tipis sambil mengaduk soto mie-nya. “Mm, mungkin dia memang mau beli mobil karena sudah butuh.”

“No, alasan utamanya pasti kamu! Bara pasti beli mobil karena kamu!”

Cindy menghela napas. “Aku kelihatan matre banget ya mutusin Bara cuma gara-gara mobil?”

“Ya nggak lah! Mobil kan udah jadi kebutuhan primer. Wajar kalau kamu minta dia berubah, toh itu juga demi kebaikannya sendiri kan?” ujar Riri menggebu-gebu. “Nah, gitu dong. Senyum, jangan galau lagi. Sekarang kamu tau kan kalau Bara juga nggak bisa move on dari kamu. Buktinya dia sampai bela-belain beli mobil cuma buat kamu.”

Cindy tersenyum manis. Riri benar. Semenjak berpisah dari Bara, ia memang seperti kehilangan separuh jiwanya. Walau bagaimana pun, mereka sudah bersama selama 6 tahun lamanya.

“Oya, dan satu lagi. Ini harusnya masih jadi rahasia sih, tapi aku nggak tahan. Kata Fadlan, Bara cari mobil yang family friendly. Dia mau ngelamar kamu, Cin!”

“Apa?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani Pratama
beritanya udh melebar ya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status