Share

BAB 7 - MALAM TAHUN BARU

“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.

“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”

Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.

Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.

Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.

“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.

Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.

“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.

“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.

“K*nthu mata lo. Orang si Cindy lagi dinas.”

“Lah, malem tahun baru begini dinas bukan liburan?”

“Liburan itu buat dokter-dokter senior. Yang lagi Koas justru jadi tumbal pas kaya gini,” ujar Fadlan menirukan kata-kata Riri di telepon tadi, seraya memasukan arang ke dalam perapian. “Anj*ng, areng beginian aja laku di kota. Lah di rumah gue kayu banyak tinggal bakar,” gerutu Fadlan.

“Ya, bawalah sana dari Jogja buat taun depan. Sekalian jualan.”

Fadlan menyipit sinis. “Eh, Do, lo kaga ngajak si Mayang itu?”

“Kaga lah. Nanti tuan Putri gue ngambek. Eh kaga taunya dia datang sendiri.” Edo melirik kesal sosok Putra yang masih berbaring di atas kursi.

Mendengar nama adiknya keluar dari mulut Edo membuat Putra langsung memicingkan mata.

“Putri sibuk di resto barunya,” ujar Putra sambil beranjak duduk di kursi.

“Ah kaga seru!” Edo membanting baskom berisi ayam yang sudah ia bumbui. “Mana rame kalo bakaran cuma bertiga begini. Mana pedang semua.”

“Ya lo ajak aja dah tu kucing, kancutin biar seksi.”

“Anj*ng.” Edo mendesis kesal sambil merebahkan tubuhnya di lantai. “Ngomong-ngomong, Put, nama resto baru si Putri lucu juga. Sushi and H*ntai, hahahaha.”

“Anj*ng, Bego! Mentai, Gendeng! Bukan h*ntai dasar wibu mes*m!” maki Putra tersungut-sungut.

“Hah? Masa? Hahahahaha salah dong gue. Pantes gue pikir berani banget dia buka resto H*ntai di mall gitu.”

“Hahahahaha dasar g*bl*k!” tawa Fadlan terpingkal, terlebih saat ia melihat reaksi Putra yang ikut geram. “Emang susah kalo otak filternya udah b*k*p semua,” tambah pria itu sambil menarik baskom berisi dua ekor ayam di dekat kaki Edo. Ia memasangkan keduanya ke dalam kawat pemanggang.

Ini adalah ritual malam tahun baru mereka berempat sejak kelas 1 SMA. Dari hanya berempat, lalu menjadi lebih ramai ditambah Putri yang diajak kakaknya, lalu Cindy yang diajak Bara. Fadlan juga pernah beberapa kali membawa pacar, meski di tanggal satu tahun berikutnya, ia dicampakan gadis itu. Hanya Edo yang datang sendiri karena masih berharap lampu hijau dari Putra untuk mendekati adiknya. Meski itu tidak pernah terjadi sampai detik ini.

“Do, ini ayam udah lo cuci bersih kan?”

“Udahlah!” jawab Edo sewot. “Lo nggak liat udah gue bumbuin juga? Buru bakar, laper gue!”

“B*ngke! Lo bakar sendiri aja, Setan!” Fadlan membanting ayam itu dengan wajah mengernyit.

“Heh, B*bi! Kenapa lagi sih?!” bentak Edo kesal.

“Lo yang b*bi! Idung lo itu pajangan doang, hah?! Segini bau tainya lo kaga nyium, Bangs*t?!”

“Tai apaan?! Udah gue cuci, B*ngke!”

“Terus itu apaan?!”

“Bumbu!”

“Bumbu otak lo! B*ngke! Ini tai, G*bl*k! TAIII!!” teriak Fadlan sambil menunjuk gumpalan kecokelatan di selipan sayap ayam.

“Hah? Masa sih?” Edo mendekatkan wajahnya, meneliti noda yang ditunjuk Fadlan. Saat hidungnya mencium bau tengik dari ayam itu, ia langsung menjauh. “Eh, iya kayaknya. Tainya masih kebawa. Bau, Jing. Hahahaha.”

“BAH! A*J*NG S*AL*N! Mana sempet gue cobain! B*ngke!!”

“HAH? HAHAHAHAHHAHAHAHA. ENAK NGGAK, LAN?”

“TAI LO A*J*NG!”

***

“Ngapain sih kalian ke sini tanpa Mas Bara?”

Baru saja ketiganya duduk di meja yang kosong, Putri sudah mendekat dengan wajah cemberut.

“Sana bakar-bakar aja di kontrakan! Bakar rumah sekalian! Bakar mobil baru!”

“Kayaknya kamu BT banget sih, Put. Capek ya? Sini, Mas Edo bantuin, eh atau mau dipijitin?”

Ziiing…

Tatapan laser Putra otomatis aktif.

Putri bersidekap kesal di hadapan ketiga pria itu. “Harusnya kalian paksa Mas Bara ikut juga dong! Masa tahun baruan begini dia nggak ada?! Teman macam apa?!”

Sebenarnya, sejak mendengar kabar Bara membeli mobil baru karena Cindy, Putri sudah sangat marah. Apalagi ternyata Bara pergi menemui mantan kekasihnya itu di malam tahun baru.

Bukan tidak mungkin besok mereka akan kembali menjadi sepasang kekasih.

“Put, sudah dong. Kan ada Mas Edo di sini. Kenapa harus nanyain yang nggak ada sih?”

“Hih, males!” tukas Putri sengit. “Lagian bukannya kalian mau bakar-bakar sendiri, hah? Ngapain ke sini segala?”

Putra menarik napas panjang. Sejujurnya ini adalah salahnya yang tidak mengizinkan Putri untuk ikut acara mereka. Saat ini, Bara sedang tidak stabil, ia tidak ingin adiknya mengganggu pria itu. Namun ternyata, Bara malah tidak datang sama sekali.

“Put, andai tadi ni orang nyuci ayamnya bener, kita nggak akan terluntang-lantung kelaparan begini,” keluh Fadlan masih dengan tatapan penuh amarah.

“Hahahaha, iya. Enak nggak, Lan, tai ayamnya? Gue aja belom pernah nyobain seumur-umur.”

“Mau lo? Besok gue cariin seember!”

“Tai ayam?” Kening Putri mengernyit bingung.

“Iya, tadi ayam yang mau dibakar ternyata masih ada tainya. Dan Fadlan pikir itu bumbu jadi dia cobain,” jelas Putra.

“Apa?! Hahahahahahahaha.” Putri tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Enak nggak, Mas? Hahahaha,” goda gadis itu sambil menyeka air matanya karena terlalu kencang tertawa.

“Gila!” Fadlan langsung bergidik saat mengingat kembali rasa kotoran ayam di lidahnya.

“Hahahahaha.”

“Put, coba rekomendasiin menu yang bisa netralisir tai ayam ini. Masih berasa banget sepetnya.”

“Hahahahaha, okay, okay. Lagian ada-ada aja. Hahaha,” ujar Putri sambil terus menertawai Fadlan bersama Edo. “Nanti aku bawain Mentai chicken, ya.”

“Duh, ampun jangan ayam dulu sekarang!”

“Tapi ayam kampus doyan kan?”

“Beda genre, B*go!”

“Hahahaha.” Putri kembali tertawa. “Ya, udah tunggu sebentar, aku ambilin menu spesialnya dulu.”

“Jangan ayam, Putt!!”

“Siap, Mas!” senyum Putri geli.

Diam-diam, Putra merasa sangat bersyukur melihat tawa adiknya kembali. Padahal ia pikir Putri akan merajuk cukup lama karena dilarang ikut acara tahun baru bersama mereka.

Putra mengedarkan pandangan ke area restoran yang cukup ramai. Meski usianya baru 21 tahun, Putri jelas sangat tekun dengan apa yang dimimpikannya.

Namun, saat Putra melihat sosok tak asing di lorong mall, punggungnya menegak seketika. Ia mengerjap sekali, untuk memastikan pandangannya tidak salah.

“Lan, tadi kata lo Cindy sekarang dinas di RS kan?”

“Iya, kenapa?”

“Kalau gitu, buat apa dia di sini sekarang?”

Fadlan dan Edo menatapnya bingung. “Hah?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status