“Lo yakin nggak salah liat, Put?” tanya Edo sambil menepuk perutnya yang sedikit membesar karena terlalu banyak makan.
Putra menatap ponsel, nomor Bara masih belum bisa dihubungi. Entah sedang apa pria itu sampai-sampai tidak mengangkat teleponnya sama sekali.
“Lo kata gue rabun? Gue yakin itu Bara.”
Edo melihat jam di ponselnya. Sudah satu jam berlalu. “Yah, tapi mungkin sekarang dia udah cabut ke rumah sakit,” ujar Edo asal. Ia menenggak habis minuman yang ada di atas meja.
“Anj*ng, pesen lagi kek!” protes Putra kesal saat melihat gelasnya kosong.
“Bara belum datang ke rumah sakit,” gumam Fadlan menengahi pertengkaran Putra dan Edo. “Nih, gue tanya ke si Riri.” Ia menunjukkan pesannya kepada Riri di ponsel.
“Lah, kok lo nanya Riri, emang dia tau Bara mau ke RS?”
“Tau, kan gue yang bilang,” jawab Fadlan polos.
“H
“BARA B*NGS*T!!! GILA!”“Pak, dilarang melompati pagar!” teriak gadis penjaga Kidszone panik saat melihat seorang pria hendak melompat pagar pembatas.“Anj*ng! Berhenti, B*go!”Fadlan dan Putra yang baru separuh sadar dari keterkejutan mereka langsung menahan tubuh Edo yang menggila. Beberapa anak dan orang tua yang masih berada di Kidszone menatap bingung ketiganya.“Pak, dilarang buat keributan di sini, atau akan saya panggil security!” ancam gadis itu semakin panik.“SINI LO, GILA!” teriak Edo kesetanan.“BERHENTI, K*MPRET!” Wajah Edo mulai memerah karena menahan tubuh pria itu.“Maaf, Mbak, jangan panggil security,” ujar Putra sambil berusaha keras menarik mundur tangan Edo.Di dalam Kidszone, Bara ikut ternganga tidak percaya dengan apa yang ia lihat.“Om, Om kenapa? Om kenal orang-orang itu?” tanya Leo
“Dok, belum pulang?” tanya Yumi saat melihat Cindy masih duduk di lobi rumah sakit. Matanya menatap tayangan televisi yang mati dengan tatapan kosong, sedang tangannya terus menggenggam ponsel.“Eh, iya sebentar lagi, Sus.”“Ohhhh, jangan-jangan Dokter lagi nunggu jemputan pangerannya ya, biar bisa langsung rayain malam tahun baru?” goda Yumi yang hanya dibalas sebuah senyuman simpul dari Cindy. “Ya sudah saya duluan ya, Dok!” Wanita itu melambaikan tangannya.“Iya, Sus, hati-hati di jalan.”“Siap, Dok.”Cindy tersenyum hingga sosok Yumi menghilang di balik kelamnya malam, lalu perlahan senyuman itu berubah menjadi tatapan kosong lagi.Di pagi hari, ruang pendaftaran itu sangat sibuk dan sesak, tapi kini, semuanya terasa lenggang dan hampa, sekosong hatinya saat ini.Pukul 10.20Cindy beranjak dari kursinya saat petugas keamanan menyapa dengan senyuman dan
“Mama! Kita mau ke mana? Kenapa Mama masukkin baju Leo ke tas?”“Kita harus pergi dari sini sekarang juga, Le.”“Pergi? Pergi ke mana? Naik kereta lagi?”“Iya, kita akan pergi jauh.”“Leo nggak mau, Ma! Leo mau di sini!” teriak Leo tiba-tiba. Ia menarik tas bergambar dinosaurus kesayangannya, lalu mengeluarkan baju-baju yang sudah ibunya masukkan ke dalam tas.“LEO!” bentak Nilam marah.“Leo nggak mau pergi lagi, Ma! Leo mau sekolah di sini! Leo nggak mau jadi anak baru lagi! Leo suka teman-teman di sini!”Mata Nilam berkilat marah. Ia merebut tas yang diambil Leo, lalu memasukkan kembali baju-baju itu ke dalam tas tanpa repot-repot melipatnya.“Nanti Mama carikan sekolah yang baru yang lebih bagus.”“NGGAK MAU!” teriak Leo marah. “Leo nggak mau sekolah yang lebih bagus! Leo nggak suka! Leo mau di sini!&rdquo
Beberapa tahun yang lalu.“APA?! LO JADIAN SAMA SIAPA?!” Seorang siswa SMA dengan rambut berponi yang diwarnai sewarna rambut jagung tua, menggebrak meja di hadapannya. “LO JADIAN SAMA SIAPA, HAH?!” Dengan gusar ia menarik kerah pria yang tengah bermain game di sampingnya. “HEH, JAWAB!”“Udah, Do.” Fadlan, sang murid berambut klimis mencoba melerai.“TAPI DIA GEBETAN GUE!”“Semua cewek juga lo bilangnya gebetan lo,” keluh Fadlan, tapi tak dipedulikan Edo sama sekali. Minggu kemarin bahkan Edo mendeklarasikan jika guru baru mereka adalah gebetannya juga.“DASAR B*NGKE! BISA-BISANYA LO JADIAN SAMA DIA? KAN GUE DULUAN YANG NEMBAK CINDY PAS KELAS SATU!”“Terus diterima?” tanya Fadlan polos.“Kaga.” Bahu Edo mencelos begitu saja.“Hahahahahaha. Ya udahlah, kita kan bentar lagi kuliah, pasti ce
Amel masih tidak percaya jika salah satu dari keempat pria asing itu adalah kakak dari wanita yang dikaguminya. Putra memang terlihat tampan, tapi sikapnya berbanding terbalik dengan sikap elegan Putri.Dan sialnya, entah bagaimana keempat pria itu berakhir ikut pulang ke kontrakannya. Amel menempelkan keningnya ke kaca mobil Putra sambil menghela napas berkali-kali. Bagaimana jika Nilam justru marah kepadanya karena membawa keempat pria itu?Argh… teriak Amel dalam hati.“Jadi kalian tinggal di sini?” gumam Fadlan sambil menatap gedung tiga lantai di depan mereka. Gedung itu lebih mirip rumah susun yang sempit dengan lahan parkir yang tidak memadai. Bara bahkan harus memarkir mobilnya di depan minimarket karena terlalu sempit.Gedungnya tua, dengan noda-noda kebocoran air di beberapa sisi dinding. Jemuran yang tergantung sembarangan di depan beberapa kamar membuatnya terlihat semakin kumuh.Hanya ada sebuah pohon mangga
Kening Wati mengernyit saat melihat empat pria tampan tampak termenung di depan teras kontrakan sambil melihat langit. Dengan langkah perlahan Wati mendekati mereka, lalu ikut menengadah, menatap langit.“Bakal ada hujan duit?” tanya Wati pelan.“Anjir!” Fadlan yang berada tepat di samping Wati sampai melompat karena terkejut. “Mbak! Ngagetin aja! Kalo jalan bunyi dong!”“Ish! Kalian aja yang bengongnya keterlaluan!” Wati melipat tangannya di dada sambil mendengus sebal. “Kalian kenapa sih? Tumben muka dah kaya kanebo busuk begitu. Kalian kalah j*di?”Fadlan menghela napas kasar. Bara menyesap rokoknya kuat-kuat, dan Putra hanya termenung tanpa mengalihkan pandangan dari langit biru tak berawan.Satu-satunya yang memperhatikan Wati adalah Edo, tapi itu pun bukan karena kata-katanya, melainkan karena dua gundukkan besar di dada Wati.Plak.Refleks Wati memukul lengan Edo
“Sabar.”Itu adalah saran yang diberikan Wati kepada empat pria penuh hasrat muda di hadapannya. Tentu saja kata-kata itu tidak bisa diterima dengan mudah oleh keempatnya, terutama Bara yang langsung memalingkan wajah.“Seorang janda itu pasti punya pengalaman pahit dengan kehidupan pernikahan sebelumnya, dan kamu nggak bisa memaksa orang lain buat membuka hati cuma karena kamu suka dia. Kalau kamu sesuka itu, kamu harus bersabar, sampai dia bisa obati lukanya sendiri, dan siap terima orang baru.”Putra melirik prihatin sosok di sampingnya.Fadlan menepuk pundak Bara, memberikan dukungan.“Kayaknya jalan lo makin panjang, Bar,” komentar Edo. “Cari yang lain aja dah. Yang ini berat, mana udah punya buntut.”Wati mengangguk setuju. “Iya, lebih baik kamu cari yang lain aja. Jangan mainin perempuan baik-baik.”&ld
“B*NGS*T, JADI SELAMA INI LO MASIH BOLAK-BALIK MALL?!” teriakkan Edo di dalam ruangan Bara membuat beberapa rekan kerja pria itu melirik penasaran.Putra merapatkan pintu di belakang punggungnya sambil menghela napas panjang.“Gila lo, Bar! Kalau dia makin takut gimana?”“Emang! Otak sama selangkangan udah kaga sinkron. Segitu sang*nya lo ama dia sampe datengin dia tiap hari begitu?! Advokat apaan yang kerjaannya ngemall setiap hari.”Bara melonggarkan dasi, lalu duduk di balik meja bertuliskan namanya.“Jangan-jangan lo ke sana cuma buat nyari bahan on*ni?”“B*ngs*t!” Bara melempar tatapan tajam kepada Edo, tapi tidak menciutkan nyali Edo sama sekali.“Lo nggak inget apa kata Mbak Wati?” Putra menarik kursi lain, lalu duduk di samping Fadlan. “Kalau dia sampe nuntut lo gimana? Kredibilitas lo sebagai pengacara bisa hancur.”Bara menyapu rambutn