Beberapa tahun yang lalu.
“APA?! LO JADIAN SAMA SIAPA?!” Seorang siswa SMA dengan rambut berponi yang diwarnai sewarna rambut jagung tua, menggebrak meja di hadapannya. “LO JADIAN SAMA SIAPA, HAH?!” Dengan gusar ia menarik kerah pria yang tengah bermain game di sampingnya. “HEH, JAWAB!”
“Udah, Do.” Fadlan, sang murid berambut klimis mencoba melerai.
“TAPI DIA GEBETAN GUE!”
“Semua cewek juga lo bilangnya gebetan lo,” keluh Fadlan, tapi tak dipedulikan Edo sama sekali. Minggu kemarin bahkan Edo mendeklarasikan jika guru baru mereka adalah gebetannya juga.
“DASAR B*NGKE! BISA-BISANYA LO JADIAN SAMA DIA? KAN GUE DULUAN YANG NEMBAK CINDY PAS KELAS SATU!”
“Terus diterima?” tanya Fadlan polos.
“Kaga.” Bahu Edo mencelos begitu saja.
“Hahahahahaha. Ya udahlah, kita kan bentar lagi kuliah, pasti ce
Amel masih tidak percaya jika salah satu dari keempat pria asing itu adalah kakak dari wanita yang dikaguminya. Putra memang terlihat tampan, tapi sikapnya berbanding terbalik dengan sikap elegan Putri.Dan sialnya, entah bagaimana keempat pria itu berakhir ikut pulang ke kontrakannya. Amel menempelkan keningnya ke kaca mobil Putra sambil menghela napas berkali-kali. Bagaimana jika Nilam justru marah kepadanya karena membawa keempat pria itu?Argh… teriak Amel dalam hati.“Jadi kalian tinggal di sini?” gumam Fadlan sambil menatap gedung tiga lantai di depan mereka. Gedung itu lebih mirip rumah susun yang sempit dengan lahan parkir yang tidak memadai. Bara bahkan harus memarkir mobilnya di depan minimarket karena terlalu sempit.Gedungnya tua, dengan noda-noda kebocoran air di beberapa sisi dinding. Jemuran yang tergantung sembarangan di depan beberapa kamar membuatnya terlihat semakin kumuh.Hanya ada sebuah pohon mangga
Kening Wati mengernyit saat melihat empat pria tampan tampak termenung di depan teras kontrakan sambil melihat langit. Dengan langkah perlahan Wati mendekati mereka, lalu ikut menengadah, menatap langit.“Bakal ada hujan duit?” tanya Wati pelan.“Anjir!” Fadlan yang berada tepat di samping Wati sampai melompat karena terkejut. “Mbak! Ngagetin aja! Kalo jalan bunyi dong!”“Ish! Kalian aja yang bengongnya keterlaluan!” Wati melipat tangannya di dada sambil mendengus sebal. “Kalian kenapa sih? Tumben muka dah kaya kanebo busuk begitu. Kalian kalah j*di?”Fadlan menghela napas kasar. Bara menyesap rokoknya kuat-kuat, dan Putra hanya termenung tanpa mengalihkan pandangan dari langit biru tak berawan.Satu-satunya yang memperhatikan Wati adalah Edo, tapi itu pun bukan karena kata-katanya, melainkan karena dua gundukkan besar di dada Wati.Plak.Refleks Wati memukul lengan Edo
“Sabar.”Itu adalah saran yang diberikan Wati kepada empat pria penuh hasrat muda di hadapannya. Tentu saja kata-kata itu tidak bisa diterima dengan mudah oleh keempatnya, terutama Bara yang langsung memalingkan wajah.“Seorang janda itu pasti punya pengalaman pahit dengan kehidupan pernikahan sebelumnya, dan kamu nggak bisa memaksa orang lain buat membuka hati cuma karena kamu suka dia. Kalau kamu sesuka itu, kamu harus bersabar, sampai dia bisa obati lukanya sendiri, dan siap terima orang baru.”Putra melirik prihatin sosok di sampingnya.Fadlan menepuk pundak Bara, memberikan dukungan.“Kayaknya jalan lo makin panjang, Bar,” komentar Edo. “Cari yang lain aja dah. Yang ini berat, mana udah punya buntut.”Wati mengangguk setuju. “Iya, lebih baik kamu cari yang lain aja. Jangan mainin perempuan baik-baik.”&ld
“B*NGS*T, JADI SELAMA INI LO MASIH BOLAK-BALIK MALL?!” teriakkan Edo di dalam ruangan Bara membuat beberapa rekan kerja pria itu melirik penasaran.Putra merapatkan pintu di belakang punggungnya sambil menghela napas panjang.“Gila lo, Bar! Kalau dia makin takut gimana?”“Emang! Otak sama selangkangan udah kaga sinkron. Segitu sang*nya lo ama dia sampe datengin dia tiap hari begitu?! Advokat apaan yang kerjaannya ngemall setiap hari.”Bara melonggarkan dasi, lalu duduk di balik meja bertuliskan namanya.“Jangan-jangan lo ke sana cuma buat nyari bahan on*ni?”“B*ngs*t!” Bara melempar tatapan tajam kepada Edo, tapi tidak menciutkan nyali Edo sama sekali.“Lo nggak inget apa kata Mbak Wati?” Putra menarik kursi lain, lalu duduk di samping Fadlan. “Kalau dia sampe nuntut lo gimana? Kredibilitas lo sebagai pengacara bisa hancur.”Bara menyapu rambutn
“Cin!!” Riri melambaikan tangan dari kejauhan sambil menyeret koper. Wajah manisnya berhias senyum lebar, meski kulit gadis itu terlihat lebih cokelat dari sebelumnya.BRUK.Riri menjatuhkan koper begitu saja di depan pintu asrama Cindy, lalu melompat untuk memeluk gadis itu.“Kamu pasti kangen akuuu!!” teriaknya riang. “Nih, aku sudah bawa oleh-oleh buat kamu dan Kak Mira.”Mira adalah rekan satu profesi Cindy yang tinggal di asrama yang sama. Saat mendengar suara riang Riri, ia langsung mengangkat wajahnya dari balik laptop, lalu melambaikan tangan.“Hai, Ri!”“Kak Mira!” Riri melepaskan pelukannya dari sosok Cindy, lalu beralih memeluk Mira yang tengah menonton drama korea kesukaannya.“Kamu baru datang?” tanya Mira seraya melirik koper yang ditinggalkan Riri di ambang pintu.“Kamu kan bisa ke rumah dulu baru ke sini,” gerutu Cindy, tapi deng
“Anak itu beneran nggak nangis?” tanya Yumi, perawat yang bertugas siang itu. Ia mengintip sedikit dari balik gorden pembatas ruang tindakan.Imel, rekan kerjanya, berjalan sambil mendorong dressing trolley yang sudah digunakan. “Nangis lah,” katanya sambil lalu. Kemudian merapatkan gorden di belakang punggungnya.“Tapi nggak separah anak yang di sebelah loh,” ujar Yumi, berjalan mengekor di belakang Imel. “Tapi dia beneran bisa ngerasain sakit kan, Mel?”Imel membawa dressing trolleynya ke samping meja perawat. Sejujurnya ia juga memiliki kekhawatiran yang sama seperti Yumi.Siang ini, ketika ruang IGD terasa lenggang, secara tiba-tiba mereka kedatangan dua pasien cilik yang memecah ketenangan itu. Kepanikan yang bercampur raungan tangis adalah yang terburuk. Namun, mereka juga tidak bisa meminta anak-anak itu berhenti menangis, terlebih saat mereka lihat luka ternganga di beberapa bagian tubuh keduanya.
Beberapa saat yang lalu.“Ya ampun, lihat deh. Di paviliun mawar lagi ada yang ribut.” Yumi menunjukkan foto di ponselnya kepada Imel dan dua rekannya yang lain.Terlihat beberapa orang wanita berdiri di depan sebuah kamar. Seorang perawat sudah mencoba melerai mereka.“Jangan-jangan kasus perselingkuhan.”“Hus! Ini kan bangsal anak.”“Eh, iya yah.” Imel mengangguk-ngangguk. “Ehhhh, sebentar. Coba lihat fotonya.” Imel meraih ponsel Yumi, lalu memperbesar foto itu. “Ini kan ibu guru pasien tadi, iya kan?”“Astaga, iya!” pekik Yumi setelah menyadari orang-orang di dalam foto itu. “Dokter Cindy! Gawat!” teriaknya, memanggil Cindy yang berjalan melewati mereka.***Brak.Tanpa sadar, Bara membuka pintu IGD dengan kekuatan penuh hingga membuat salah satu daun pintunya menabrak ujung ranjang kosong di sis
“Apa kita sama sekali nggak punya harapan lagi? Apa kamu nggak bisa maafin aku? Apa kamu nggak bisa kasih aku satu kesempatan lagi?”Pertanyaan itu bukan sekedar kata, tapi sebuah ungkapan kerinduan dan penyesalan yang selama ini Cindy rasakan.Ia tau, ia yang sudah memutuskan hubungannya dengan Bara, tapi sejujurnya, ia sangat mencintai pria itu. Waktu menahun yang mereka lalui bersama tidak bisa menguap begitu saja. Justru, detik demi detik, rasa rindu yang Cindy rasakan kian menggunung tinggi.Hari di mana ia melangkah pergi meninggalkan Bara di kencan mereka yang damai, adalah hari penuh penyesalan.Andai bisa memutar balikkan waktu, Cindy ingin kembali ke saat itu. Ia ingin membalas genggaman tangan Bara, ia ingin terus bersandari di dada bidang pria itu, ia ingin mendengar suara Bara yang memanggil namanya dengan penuh kasih. Ia ingin kembali ke masa itu, dan memperbaiki semuanya.Takkan ia permasal