Share

BAB 8 - PERTEMUAN PERTAMA

Di tengah lusinan orang yang berlalu lalang di dalam mall untuk mengincar midnight sale malam tahun baru, Bara berdiri sambil menatap lurus ke department store. Kedua tangannya tersemat di saku celana, dan wajah tampannya tampak sangat serius.

Beberapa gadis muda yang melihat sosok tampan Bara langsung saling berbisik. Dengan tubuh tegap, tinggi, dan wajah tampannya, mudah saja bagi Bara untuk menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Bahkan Edo pernah memintanya menjadi model pemotretan pertamanya dulu.

Bara menghela napas panjang. Sesuai dugaannya, wanita itu masih bekerja di malam tahun baru, saat kebanyakan orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka untuk merayakan malam pergantian tahun baru.

Dengan perlahan, Bara mulai berjalan mendekati rak-rak pakaian tempat Nilam berada. Semakin dekat, Bara semakin menyadari jika wajah Nilam sedikit berbeda dari kemarin. Ia memang masih tersenyum ramah kepada semua pengunjung mall, tapi matanya berkali-kali mengerjap sedih.

Apa wanita itu sakit? batin Bara cemas.

“Ni, kamu izin pulang aja sekarang,” ujar seorang rekan kerja seprofesi Nilam. Ia menghampiri dengan setumpuk jeans.

Bara mengusap tengkuknya. Sekali lagi, ia melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, yaitu menguping pembicaraan orang lain.

“Nggak apa-apa, Mbak. Lagian nggak enak juga sama yang lain.”

“Tapi kasihan anakmu, Ni.”

Deg.

Bara membeku seketika.

“Emangnya nggak ada yang bisa dititipi sama sekali sekarang?”

Nilam menggeleng pelan. “Nggak ada, Mbak. Yang lain lagi pergi malam tahun baruan.”

Wanita di sebelah Nilam menarik napas kasar. “Terus sekarang Leo di mana? Masih di Kidszone?”

“Iya, Mbak.”

Wanita itu melirik jam tangannya. “Duh, kasihan dia, Ni. Masa dia mau nunggu sampai selesai midnight sale? Kidszonenya aja mungkin tutup sejam lagi. Coba kamu bilang deh ke Pak Damar, dia pasti ngertiin. Kasihan Leo sendirian di bawah.”

Nilam semakin menundukkan kepalanya. “Iya, Mbak,” jawab Nilam pelan, meski ia tau, ia takkan pernah bisa meminta izin itu.

Ia sudah berulang kali meminta izin dengan alasan yang sama. Mungkin Damar, managernya, akan memberikan izin, tapi ia tidak akan bisa mengubah tatapan sinis rekan-rekannya yang lain.

“Nilam, Ega, ke sini sebentar. Bisa bantu di kasir dulu?” tanya seorang wanita yang melambaikan tangan kepada Nilam dan rekannya.

“Oh, iya, Mbak,” jawab keduanya seraya berjalan cepat ke kasir, meninggalkan Bara yang terdiam di depan tumpukan pakaian.

Ia tau ini bukan urusannya sama sekali. Namun, saat Nilam menjauh, saat ia mencoba tersenyum kepada antrian di depan kasir, Bara bisa merasa dadanya sedikit sesak.

Lalu dengan mantap, ia berjalan ke luar department store.

***

“Kalau gitu, buat apa dia di sini sekarang?”

“Hah? Siapa?”

“Itu, Bara.”

“Bara?!”

Baik Edo dan Fadlan langsung melongokan kepala untuk mengikuti arah yang ditunjuk Putra. Namun, di tengah lusinan orang-orang berlalu lalang di mall, mereka tidak menemukan Bara sama sekali.

“Kaga ada, Put.”

“Ada. Tadi gue beneran liat Bara.”

“Lah, kenapa dia ada di sini?”

Putra memutar bola matanya. Tadi ia juga menanyakan hal yang sama. Gegas, Bara meraih ponselnya, menekan nomor Bara.

“Sial, nggak diangkat,” keluh Putra tak sabar.

“Mungkin dia ke sini buat beli sesuatu dulu sebelum ke RS,” ujar Fadlan.

“Bisa jadi sih.”

Putra menyimpan kembali ponselnya ke atas meja. Kata-kata Fadlan memang masuk akal, tapi entah mengapa ia tetap merasa aneh melihat Bara berjalan bergegas di dalam mall sendirian. Beberapa hari yang lalu, pria itu juga pergi sendiri, dan ketika muncul kembali, ia membawa tiga pasang kemeja dan dasi dengan model sama tapi warna berbeda.

“Udah, nanti aja ditelpon lagi. Sekarang makan dulu!” ujar Edo saat melihat Putri kembali menghampiri meja mereka bersama dua pelayan lainnya.

***

Playground di lantai dasar mall itu ternyata cukup ramai. Beberapa anak, ditemani kedua orang tua mereka tampak bermain seru di dalam Kidszone. Untuk anak-anak yang lebih besar dibiarkan main sendiri, sedangkan orang tua mereka hanya menunggu di area tunggu di dalam Kidszone sambil sibuk memainkan ponsel.

Bara mengedarkan pandangan dari pagar setinggi perutnya, mencari sosok Leo di delam Kidszone. Ia bahkan baru beberapa kali melihat Leo, itu pun hanya kejauhan, tapi Bara sama sekali tidak ragu untuk mencari bocah itu.

Lengking tawa dari Kidszone menggema, menambah kehangatan di malam tahun baru.

Dua bocah yang cukup besar melompat bersama di trampoline, membuat anak-anak yang lebih kecil memilih pergi menyingkir sebelum tertimpa mereka berdua. Mereka tertawa-tawa riang, sambil terus mengusir anak-anak yang bermain tanpa didampingi orang tua dari perosotan, seakan itu adalah milik mereka berdua.

Lalu, saat mereka berhenti disudut Kidszone sambil terkekeh, Bara menyipitkan matanya.

Di hadapan kedua bocah itu, seorang bocah yang lebih kecil tampak mengerut ketakutan. Ia bahkan tidak melakukan apa pun saat dua bocah itu merebut kasar bola di tangannya, lalu mendorongnya menjauh dari area perosotan.

Dada Bara mendidih marah. Tanpa sadar ia langsung berjalan ke pintu masuk Kidszone.

“Maaf, Pak, Bapak mau masuk ke Kidszone?” tanya seorang gadis muda, menghadang langkah Bara. Ia bukan Amel, penjaga Kidszone yang kemarin Bara lihat.

“Ya, ya. Anak, mm, anak saya di dalam,” ujar Bara sedikit ragu.

Gadis itu tersenyum sopan. “Tapi pendamping tambahannya dikenakan biaya, Pak.”

“Saya akan bayar.” Bara mengeluarkan dompet dari sakunya, lalu menyerahkan pecahan uang seratus ribu kepada gadis itu. “Saya sudah bisa masuk?”

“Bapak bawa kaos kaki?”

“Kaos kaki?”

“Ya, setiap pengunjung harus menggunakan kaos kaki.”

Sh*t, maki Bara sambil melihat kaki polosnya di dalam sepatu.

“Kalau tidak ada kaos kaki?”

“Tidak boleh masuk, Pak. Tapi Bapak bisa beli di sini.”

“Ya, ya. Saya beli,” ujar Bara tidak sabar. Matanya terus menatap ke dalam playground, dan dua bocah itu tampak masih asyik membuli anak kecil di hadapan mereka.

“Saya sudah boleh masuk, Mbak?”

“Ini gelangnya, Pak, dan ini kaos kaki dan kembaliannya. Silakan dipakai.”

Astaga. Bara benar-benar mulai kehabisan kesabaran untuk mengikuti semua peraturan itu, saat yang ingin dilakukannya sekarang adalah melompati pagar dan menyelamatkan Leo dari dua bocah nakal yang mengganggunya.

“Sudah, Mbak,” ujar Bara.

Gadis itu menekan tombol di bawah mejanya, lalu pintu Kidszone terbuka otomatis.

Tanpa basa-basi lagi, Bara langsung merangsek masuk ke dalam Kidszone. Diam-diam, gadis penjaga pintu itu mengekori kepergian Bara. Padahal ia sudah berusaha menahan pria tampan itu lebih lama di pintu kasir, tapi ternyata ia sama sekali belum puas melihat sosoknya.

Pria itu sangat tampan, dan tampak masih sangat muda, sangat disayangkan ia sudah memiliki anak. Andai ia belum memiliki istri atau kekasih, gadis itu pasti bersedia menyatakan cintanya terlebih dahulu. Namun, saat ia melihat pria itu menghampiri seorang bocah yang duduk sendirian di sudut Kidszone, gadis itu memalingkan wajahnya dengan sedikit perasaan kesal.

Saat akhirnya ia sampai di hadapan Leo, Bara menghentikan langkahnya.

Bocah mungil itu duduk sendirian sambil memeluk lutut di sudut Kidszone, sedangkan dua anak yang tadi menganggunya sudah sibuk memainkan bola yang direbut dari Leo.

Bara menghela napas panjang, lalu berjongkok di hadapan bocah itu.

Wajah lucunya terbenam di antara lutut, menatap lantai warna-warni Kidszone. Sesekali ia menyeka matanya yang basah dengan punggung tangan kecilnya.

Di mata Bara, tubuh Leo tampak seperti gumpalan bola mungil yang bisa mengeluarkan air mata, dan itu membuat Bara tak kuasa untuk tidak mengulurkan tangannya.

“Halo, Leo, mau main sama Om?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani Pratama
kasian Leo ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status