Share

BAB 5 - NEGATIVE THINKING

“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal.

“Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah.

“Lo lagi di mana sekarang? Lembur?”

Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan.

Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup.

Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam dan putranya pulang. Dan Bara berjanji kepada dirinya sendiri, setelah menyaksikan itu, ia akan mundur dan menghentikan ketertarikannya kepada Nilam, bagaimana pun caranya.

Nilam berjalan perlahan sambil terus menggendong Leo, lalu berhenti di pinggir jalan. Matanya menoleh ke sembarang arah, seperti mencari sesuatu atau seseorang, lalu menghela napas panjang.

Dan akhirnya Bara sadar jika Nilam sedang menunggu angkutan umum, karena berkali-kali ia menoleh setiap sebuah angkutan umum menepi, sayangnya itu bukan angkutan umum yang Nilam cari.

“Bar! Lo masih dengerin gue nggak sih?! Lo di mana?! Jangan macem-macem, Bar!” teriak Edo cemas di seberang telepon, bersamaan tetesan pertama hujan malam itu.

Tanpa aba-aba hujan turun dengan sangat deras. Bara memaki kesal, lalu melompat dari motornya, mencoba berteduh di bawah rindang pohon dengan sia-sia.

Di kejauhan, Nilam berlari menghindari hujan, berteduh di halte kosong bercahaya redup. Ia mengencangkan jaketnya di tubuh Leo, memastikan bocah kecil itu tetap hangat, saat tungkai kecilnya mulai gemetar kedinginan.

“BAR! HALO! GILA! LO DI MANA, ANJ*NG?!”

“Mana Putra?” tanya Bara dingin.

“Hah?”

“Mana Putra?!”

“I-ini.” Edo menyerahkan ponselnya kepada Putra yang mengernyit.

“Yo, Bar. Lo di mana? Perlu gue jemput?”

“Tunggu gue di showroom sekarang.”

“Hah?!”

“Gue butuh mobil.”

“HAH?!”

***

Tentu saja keajaiban itu tidak akan berlangsung selamanya. Tidak peduli secepat apa Bara memacu motornya ke kontrakan Fadlan tempat Putra berada dan meminjam mobilnya, tidak peduli segila apa Bara memecah hujan yang turun malam itu, saat Bara kembali ke depan mall, Nilam dan putranya sudah tidak ada di sana.

“GILA! GUE PIKIR LO KESAMBET SETAN JURIG POCONG!” teriak Edo saat akhirnya Bara kembali dengan wajah kusut ke kontrakan.

“Bar, lo galau wajar, tapi jangan berlebihan begini!” Fadlan mendesah, mengambil handuk kumal di tambang yang melintang, lalu melemparnya kepada Bara yang basah kuyup.

Putra yang mengelus dada paling dalam saat melihat kondisi mobilnya yang basah setelah dibawa Bara.

“ANJ*NG, CUMA GARA-GARA SI CINDY AJA LO BEGINI?! MASIH BANYAK CEWEK LAIN, BAR!”

Bara mengempaskan tubuhnya di kursi panjang depan gedung kontrakan sambil menatap hujan. Bayangan sosok Nilam yang termenung di halte lagi-lagi muncul tanpa diminta.

Saat ini, meski mungkin akan lebih menyakitkan, tapi Bara benar-benar berharap Nilam tengah menunggu suami atau ayah anak itu untuk menjemputnya, jadi ia tidak perlu menunjukan raut wajah sesedih itu.

“Lo sebenernya kenapa sih, Bar?” Putra duduk sambil membawa gelas kopi yang mengepulkan uap panas. “Lo abis dari mana?” tanyanya lagi.

Tadi, hampir saja mereka semua terkena serangan jantung karena terkejut dengan permintaan Bara. Bisa-bisanya pria itu meminta bertemu di showroom saat itu juga.

Bara mengambil rokok, lalu menyalakannya, pelan-pelan ia mengembuskan asap ke langit kelam. “Besok gue ke showroom, Put.”

Itu lagi.

Putra saling beradu pandang dengan Edo dan Fadlan.

Edo mendesah sambil memberikan tatapan ‘apa gue bilang’ kepada kedua temannya. Hipotesis pertama Edo adalah : Bara mau menuruti permintaan Cindy demi bisa kembali dengan mantan kekasihnya itu. Dan meski sebelumnya Putra menyangkal, sekarang mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali percaya dengan pemikiran Edo.

Sekarang harapan mereka hanya satu. Jangan sampai ketika Bara sudah melakukan apa yang diinginkan Cindy, tapi gadis itu malah sudah memiliki kekasih yang baru.

“Lo mau ambil mobil?” tanya Fadlan, membawakan kaos ganti untuk sahabatnya.

Bara menerima uluran kaos itu, lalu membuka satu persatu kancing bajunya. “Ya,” katanya, sambil menggunakan kaos yang diberikan Fadlan.

“Bagus lah. Emang sudah waktunya lo tinggalin motor lo itu.” Edo menyulut rokok, lalu menarik napas dalam-dalam.

Putra tidak sepenuhnya setuju. Ia tidak ingin Bara berubah hanya karena Cindy, tapi ia juga tidak tahan melihat kegalauan pria itu beberapa hari belakangan ini. “Oke, besok datang aja ke showroom. Lo mau mobil apa?”

“Apa aja, yang penting nyaman, dan aman buat anak-anak.”

Glek.

Mata Edo membulat seketika. “Cindy hamil?!” pekiknya kaget.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani Pratama
Ya Allah Bara sweet bngett. semoga jodoh sama Nilam ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status