“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal.
“Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah.
“Lo lagi di mana sekarang? Lembur?”
Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan.
Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup.
Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam dan putranya pulang. Dan Bara berjanji kepada dirinya sendiri, setelah menyaksikan itu, ia akan mundur dan menghentikan ketertarikannya kepada Nilam, bagaimana pun caranya.
Nilam berjalan perlahan sambil terus menggendong Leo, lalu berhenti di pinggir jalan. Matanya menoleh ke sembarang arah, seperti mencari sesuatu atau seseorang, lalu menghela napas panjang.
Dan akhirnya Bara sadar jika Nilam sedang menunggu angkutan umum, karena berkali-kali ia menoleh setiap sebuah angkutan umum menepi, sayangnya itu bukan angkutan umum yang Nilam cari.
“Bar! Lo masih dengerin gue nggak sih?! Lo di mana?! Jangan macem-macem, Bar!” teriak Edo cemas di seberang telepon, bersamaan tetesan pertama hujan malam itu.
Tanpa aba-aba hujan turun dengan sangat deras. Bara memaki kesal, lalu melompat dari motornya, mencoba berteduh di bawah rindang pohon dengan sia-sia.
Di kejauhan, Nilam berlari menghindari hujan, berteduh di halte kosong bercahaya redup. Ia mengencangkan jaketnya di tubuh Leo, memastikan bocah kecil itu tetap hangat, saat tungkai kecilnya mulai gemetar kedinginan.
“BAR! HALO! GILA! LO DI MANA, ANJ*NG?!”
“Mana Putra?” tanya Bara dingin.
“Hah?”
“Mana Putra?!”
“I-ini.” Edo menyerahkan ponselnya kepada Putra yang mengernyit.
“Yo, Bar. Lo di mana? Perlu gue jemput?”
“Tunggu gue di showroom sekarang.”
“Hah?!”
“Gue butuh mobil.”
“HAH?!”
***
Tentu saja keajaiban itu tidak akan berlangsung selamanya. Tidak peduli secepat apa Bara memacu motornya ke kontrakan Fadlan tempat Putra berada dan meminjam mobilnya, tidak peduli segila apa Bara memecah hujan yang turun malam itu, saat Bara kembali ke depan mall, Nilam dan putranya sudah tidak ada di sana.
“GILA! GUE PIKIR LO KESAMBET SETAN JURIG POCONG!” teriak Edo saat akhirnya Bara kembali dengan wajah kusut ke kontrakan.
“Bar, lo galau wajar, tapi jangan berlebihan begini!” Fadlan mendesah, mengambil handuk kumal di tambang yang melintang, lalu melemparnya kepada Bara yang basah kuyup.
Putra yang mengelus dada paling dalam saat melihat kondisi mobilnya yang basah setelah dibawa Bara.
“ANJ*NG, CUMA GARA-GARA SI CINDY AJA LO BEGINI?! MASIH BANYAK CEWEK LAIN, BAR!”
Bara mengempaskan tubuhnya di kursi panjang depan gedung kontrakan sambil menatap hujan. Bayangan sosok Nilam yang termenung di halte lagi-lagi muncul tanpa diminta.
Saat ini, meski mungkin akan lebih menyakitkan, tapi Bara benar-benar berharap Nilam tengah menunggu suami atau ayah anak itu untuk menjemputnya, jadi ia tidak perlu menunjukan raut wajah sesedih itu.
“Lo sebenernya kenapa sih, Bar?” Putra duduk sambil membawa gelas kopi yang mengepulkan uap panas. “Lo abis dari mana?” tanyanya lagi.
Tadi, hampir saja mereka semua terkena serangan jantung karena terkejut dengan permintaan Bara. Bisa-bisanya pria itu meminta bertemu di showroom saat itu juga.
Bara mengambil rokok, lalu menyalakannya, pelan-pelan ia mengembuskan asap ke langit kelam. “Besok gue ke showroom, Put.”
Itu lagi.
Putra saling beradu pandang dengan Edo dan Fadlan.
Edo mendesah sambil memberikan tatapan ‘apa gue bilang’ kepada kedua temannya. Hipotesis pertama Edo adalah : Bara mau menuruti permintaan Cindy demi bisa kembali dengan mantan kekasihnya itu. Dan meski sebelumnya Putra menyangkal, sekarang mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali percaya dengan pemikiran Edo.
Sekarang harapan mereka hanya satu. Jangan sampai ketika Bara sudah melakukan apa yang diinginkan Cindy, tapi gadis itu malah sudah memiliki kekasih yang baru.
“Lo mau ambil mobil?” tanya Fadlan, membawakan kaos ganti untuk sahabatnya.
Bara menerima uluran kaos itu, lalu membuka satu persatu kancing bajunya. “Ya,” katanya, sambil menggunakan kaos yang diberikan Fadlan.
“Bagus lah. Emang sudah waktunya lo tinggalin motor lo itu.” Edo menyulut rokok, lalu menarik napas dalam-dalam.
Putra tidak sepenuhnya setuju. Ia tidak ingin Bara berubah hanya karena Cindy, tapi ia juga tidak tahan melihat kegalauan pria itu beberapa hari belakangan ini. “Oke, besok datang aja ke showroom. Lo mau mobil apa?”
“Apa aja, yang penting nyaman, dan aman buat anak-anak.”
Glek.
Mata Edo membulat seketika. “Cindy hamil?!” pekiknya kaget.
Sabtu pagi.Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di D
“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.“K*nthu mata lo. Orang si C
Di tengah lusinan orang yang berlalu lalang di dalam mall untuk mengincar midnight sale malam tahun baru, Bara berdiri sambil menatap lurus ke department store. Kedua tangannya tersemat di saku celana, dan wajah tampannya tampak sangat serius.Beberapa gadis muda yang melihat sosok tampan Bara langsung saling berbisik. Dengan tubuh tegap, tinggi, dan wajah tampannya, mudah saja bagi Bara untuk menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Bahkan Edo pernah memintanya menjadi model pemotretan pertamanya dulu.Bara menghela napas panjang. Sesuai dugaannya, wanita itu masih bekerja di malam tahun baru, saat kebanyakan orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka untuk merayakan malam pergantian tahun baru.Dengan perlahan, Bara mulai berjalan mendekati rak-rak pakaian tempat Nilam berada. Semakin dekat, Bara semakin menyadari jika wajah Nilam sedikit berbeda dari kemarin. Ia memang masih tersenyum ramah kepada semua pengunjung mall, tapi matanya
“Duh dokter Cindy… bisa-bisanya dokter tetap cantik pas kerja di malem tahun baru begini,” keluh Imel, perawat jaga di IGD, saat melihat Cindy berjalan ke meja perawat dengan status pasien yang baru.“Iya loh, aku juga bingung.” Yumi, yang sejak tadi sibuk membuat laporan, mengangkat wajahnya. “Dokter Cindy ini sudah cantik, dan bawaannya positive vibes gitu. Rahasianya apa sih, Dok?”“Nggak ada rahasia apa-apa, Sus. Saya kan cuma menunaikan tugas aja,” senyum Cindy ramah.“Kan, suaranya aja merdu banget. Pokoknya kalau ada Dokter Cindy, IGD jadi berasa lebih tenang walau pasiennya numpuk.”Yumi mengangguk setuju.“Tapi Dokter nggak ada acara apa-apa malam tahun baru ini sama sang pacar?” goda Imel.Semua orang di IGD sudah mengetahui jika Cindy memiliki kekasih super tampan, tapi sama sekali tidak tau jika hubungan mereka sudah kandas beberapa waktu yang
“Lo yakin nggak salah liat, Put?” tanya Edo sambil menepuk perutnya yang sedikit membesar karena terlalu banyak makan.Putra menatap ponsel, nomor Bara masih belum bisa dihubungi. Entah sedang apa pria itu sampai-sampai tidak mengangkat teleponnya sama sekali.“Lo kata gue rabun? Gue yakin itu Bara.”Edo melihat jam di ponselnya. Sudah satu jam berlalu. “Yah, tapi mungkin sekarang dia udah cabut ke rumah sakit,” ujar Edo asal. Ia menenggak habis minuman yang ada di atas meja.“Anj*ng, pesen lagi kek!” protes Putra kesal saat melihat gelasnya kosong.“Bara belum datang ke rumah sakit,” gumam Fadlan menengahi pertengkaran Putra dan Edo. “Nih, gue tanya ke si Riri.” Ia menunjukkan pesannya kepada Riri di ponsel.“Lah, kok lo nanya Riri, emang dia tau Bara mau ke RS?”“Tau, kan gue yang bilang,” jawab Fadlan polos.“H
“BARA B*NGS*T!!! GILA!”“Pak, dilarang melompati pagar!” teriak gadis penjaga Kidszone panik saat melihat seorang pria hendak melompat pagar pembatas.“Anj*ng! Berhenti, B*go!”Fadlan dan Putra yang baru separuh sadar dari keterkejutan mereka langsung menahan tubuh Edo yang menggila. Beberapa anak dan orang tua yang masih berada di Kidszone menatap bingung ketiganya.“Pak, dilarang buat keributan di sini, atau akan saya panggil security!” ancam gadis itu semakin panik.“SINI LO, GILA!” teriak Edo kesetanan.“BERHENTI, K*MPRET!” Wajah Edo mulai memerah karena menahan tubuh pria itu.“Maaf, Mbak, jangan panggil security,” ujar Putra sambil berusaha keras menarik mundur tangan Edo.Di dalam Kidszone, Bara ikut ternganga tidak percaya dengan apa yang ia lihat.“Om, Om kenapa? Om kenal orang-orang itu?” tanya Leo
“Dok, belum pulang?” tanya Yumi saat melihat Cindy masih duduk di lobi rumah sakit. Matanya menatap tayangan televisi yang mati dengan tatapan kosong, sedang tangannya terus menggenggam ponsel.“Eh, iya sebentar lagi, Sus.”“Ohhhh, jangan-jangan Dokter lagi nunggu jemputan pangerannya ya, biar bisa langsung rayain malam tahun baru?” goda Yumi yang hanya dibalas sebuah senyuman simpul dari Cindy. “Ya sudah saya duluan ya, Dok!” Wanita itu melambaikan tangannya.“Iya, Sus, hati-hati di jalan.”“Siap, Dok.”Cindy tersenyum hingga sosok Yumi menghilang di balik kelamnya malam, lalu perlahan senyuman itu berubah menjadi tatapan kosong lagi.Di pagi hari, ruang pendaftaran itu sangat sibuk dan sesak, tapi kini, semuanya terasa lenggang dan hampa, sekosong hatinya saat ini.Pukul 10.20Cindy beranjak dari kursinya saat petugas keamanan menyapa dengan senyuman dan
“Mama! Kita mau ke mana? Kenapa Mama masukkin baju Leo ke tas?”“Kita harus pergi dari sini sekarang juga, Le.”“Pergi? Pergi ke mana? Naik kereta lagi?”“Iya, kita akan pergi jauh.”“Leo nggak mau, Ma! Leo mau di sini!” teriak Leo tiba-tiba. Ia menarik tas bergambar dinosaurus kesayangannya, lalu mengeluarkan baju-baju yang sudah ibunya masukkan ke dalam tas.“LEO!” bentak Nilam marah.“Leo nggak mau pergi lagi, Ma! Leo mau sekolah di sini! Leo nggak mau jadi anak baru lagi! Leo suka teman-teman di sini!”Mata Nilam berkilat marah. Ia merebut tas yang diambil Leo, lalu memasukkan kembali baju-baju itu ke dalam tas tanpa repot-repot melipatnya.“Nanti Mama carikan sekolah yang baru yang lebih bagus.”“NGGAK MAU!” teriak Leo marah. “Leo nggak mau sekolah yang lebih bagus! Leo nggak suka! Leo mau di sini!&rdquo