Share

BAB 4 - KENYATAAN YANG PAHIT

SH*T.

Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.

“B*ngsat!” maki Bara kesal.

Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.

“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”

Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.

“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.

“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.

Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.

“Hus! Dia lagi sensi. Jangan ganggu,” ujar Putra seraya menarik lengan Putri.

“Ish, kenapa sih?!”

“Dia baru putus dari Cindy, Put. Jangan deket-deket, nanti kamu dimakan. Lebih baik duduk di samping Mas Edo sini, atau dipangkuan Mas juga boleh.”

Pletak!

Putra melempar sumpit di hadapannya, dan secara otomatis melenyapkan senyuman mesum Edo.

“Mas Bara baru putus? Astagaaa… syukurlah.” Bukannya menjauh, Putri malah semakin menempelkan tubuhnya ke tubuh kaku Bara. “Akhirnya Mas Bara putus juga dari si nenek lampir itu. Dia memang nggak baik buat Mas Bara.”

Fadlan mengerjap bingung. “Perasaan kalau kalian ketemu, kamu baik banget sama dia,” gumamnya bingung.

Selama ini, setiap mereka pergi bersama, Bara akan selalu membawa Cindy, dan Putra membawa adiknya. Dan kedua wanita berbeda usia 6 tahun itu terlihat sangat akur, laksana sahabat yang begitu dekat.

Putri mengerucutkan bibirnya, tidak memedulikan apa yang dikatakan Fadlan sama sekali. “Sekarang Mas Bara lagi jomblo dong?” tanyanya riang, sambil menempelkan dadanya ke lengan kekar Bara.

Edo yang melihat tubuh ranum Putri tidak bisa mengedipkan mata sama sekali. Ia benar-benar berharap bisa menggantikan posisi Bara saat ini juga. Namun, saat ia melihat tatapan tajam Putra, ia hanya mampu menelan ludahnya sendiri.

Bruk.

Tiba-tiba saja Bara bangkit dari kursinya. Hampir saja Putri terjerembab jatuh di samping pria itu.

“Gue pergi dulu.”

“Lho? Kok pergi? Kan belum makan? Aku sudah siapin menu spesial buat Mas Bara loh.”

“Lo mau ke mana, Bar?”

“Bar!”

“Bar, jangan bunuh diri!”

***

Bara tau, kesan pertemuan keduanya dengan Nilam sangat buruk. Ia masih mengutuki hal itu sampai sekarang. Bahkan mungkin Edo akan melakukan hal itu jauh lebih baik dari pada yang ia lakukan. Namun entah bagaimana, keesokan harinya Bara kembali datang ke department store yang sama, dengan tujuan gila yang sama juga.

Ia mendesah tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Untuk apa ia datang lagi? Apa yang akan ia katakan kepada Nilam jika mereka tidak sengaja bertemu kembali? Dan… Arggghh! Kejadian kemarin benar-benar memalukan.

Bara menghela napas panjang sambil memaki kebodohannya sendiri, dan bersyukur panggilan telepon di ponselnya membuat Bara memiliki alasan untuk segera kembali ke kantor saat itu juga.

Namun, saat Bara tanpa sengaja melihat sosok cantik Nilam bersama seorang bocah di lorong mall, tubuh Bara membatu seketika.

Nilam masih menggunakan seragam department store, tapi ditutupi jaket hitam yang sederhana. Ia mengapit tangan bocah kecil berwajah memerah itu sambil menghela napas berkali-kali. Dilihat bagaimana pun, Nilam tampak sangat kelelahan.

Mereka berdua berjalan menuruni escalator di depan toko furniture sampai ke lantai bawah, lalu berakhir ke Kidszone yang ada di lantai dasar mall itu.

Diam-diam Bara mengikuti mereka dari kejauhan, dadanya bergemuruh tidak menentu saat melihat Nilam dan bocah kecil di sampingnya. Mungkin bocah itu baru berusia 4 atau 5 tahun, dan ia memiliki wajah serupa Nilam, tapi jauh lebih mungil.

“Le, Mama masih harus kerja. Kamu tunggu di sini dulu, ya,” ujar Nilam, berlutut di hadapan putranya di depan pintu masuk Kidszone.

Bocah kecil itu menggeleng perlahan. “Leo mau sama Mama,” katanya, hampir menangis.

“Iya, nanti kita pulang ke rumah sama-sama. Mama kerja di atas. Kamu bisa main di sini dulu,” bujuk Nilam.

“Tapi Leo mau sama Mama,” rengek bocah kecil itu.

Nilam menarik napas panjang. Ia melirik petugas Kidszone yang sudah menanti.

“Sini, Sayang. Leo main sama Tante Amel dulu ya sambil nunggu Mama pulang.” Petugas Kidszone itu ikut berlutut di samping Leo.

“Nggak mau, Leo mau sama Mama.” Leo mulai menangis.

“Le, kalau kamu nakal, Mama nggak akan sayang kamu lagi!” ancam Nilam putus asa.

Wajah Leo semakin tertunduk di hadapan kemarahan ibunya. “Tapi… hiks… Leo mau sama Mama…”

“Kalau mau sama Mama kamu harus nurut. Mama kerja dulu sekarang. Kamu tunggu di sini, oke? Nanti Mama jemput,” bujuk Nilam lelah.

Akhirnya, setelah dibujuk beberapa saat Leo mengangguk meski masih dengan mata basah. Nilam tersenyum dan mengecup puncak kepala putranya. Lalu, dengan langkah cepat, ia kembali pergi menghilang di balik escalator.

Bara yang menyaksikan kejadian itu diam-diam semakin tidak memiliki kekuatan untuk berdiri. Ia bersandar di lorong mall dengan wajah nelangsa.

Jadi Nilam benar-benar sudah memiliki anak?

Pupus sudah harapannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status