Share

BAB 3 - TAKDIR YANG UNIK

“Apes banget yang semalem.” Edo menyisir rambut yang sengaja ia cat pirang dengan santai. Matanya melirik beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka sambil menebar senyum andalannya.

Beberapa gadis tersenyum sambil melirik malu-malu saat ketiga pria itu memasuki lobi mall dengan langkah tegap. Edo sengaja menggulung lengan baju untuk memperlihatkan otot lengannya kepada gadis-gadis yang berpapasan dengan mereka di mall.

“Jangan dibahas lagi, Blok,” ujar Fadlan sambil memeriksa email di ponselnya.

“Hhh, emang cewek cantik dan baik itu udah mulai langka. Tapi gue nggak nyangka kalo dia bahkan udah beranak. Bodynya masih gadis banget, Bro!” keluh Edo sambil menebar senyum kepada beberapa siswi SMA yang cekikikan saat berpapasan dengan mereka.

“Masih ada, Do, yang cantik, sukses, baik, dan masih single.” Fadlan mensejajari langkah Edo di escalator.

Pria berkaos hitam itu menatap ragu.

“Si Putri? Kurang apa dia? Kaya tujuh turunan, cantik, bohay, dan masih single.”

“Anj*ng. Dia mah beda kelas, Blok. Salah-salah lo mati duluan sebelum deketin dia. Hahahaha,” tawa Edo, meski sama sekali tidak menampik apa yang disampaikan Fadlan.  

Di belakang Edo dan Fadlan, Bara mengekor dengan wajah datar. Kedua tangannya tersemat di saku celana, sama sekali tidak bersemangat. Andai bukan karena undangan khusus dari Putri, adik Putra, mungkin ia akan memilih membenamkan diri di balik berkas-berkas kasus yang harus ia pelajari.

Namun hari ini, secara khusus Putri mengundang sahabat-sahabat kakaknya untuk datang ke acara soft opening restoran sushi miliknya.

Lagi-lagi Bara menghela napas berat, sambil menatap lurus ke depan. Namun, saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap bayangan seorang wanita di department store, langkah pria itu sempat terhenti beberapa detik.

“Lah, lo mau ke mana, Bar? Restonya di lantai 3!” tanya Fadlan saat melihat Bara malah berjalan ke arah berlainan.

“Kalian duluan aja, gue mau ke sana dulu,” ujar Bara menunjuk department store dengan pandangannya.

Edo dan Fadlan saling beradu pandang sejenak, sebelum menghilang di balik escalator menuju lantai 3.

***

“Ada yang ukuran XL?”

Bara benar-benar tidak mengerti apa yang tengah merasukinya hingga ia berada di dalam department store. Tempat yang hanya akan ia datangi ketika mengantar Cindy atau ibunya sendiri berbelanja. Terlebih, ia sampai menghampiri seorang karyawan department store untuk bertanya suatu barang, padahal biasanya ia hanya akan membeli apa yang ia lihat, tanpa repot-repot mencari yang tidak ada.

“Ya?”

Suaranya.

Suara itu seperti menghipnotis Bara.

Tidak salah lagi, wanita itu adalah wanita yang mereka lihat semalam. Namun, hari ini, ia tampak sedikit berbeda. Ia menggunakan seragam abu-abu berlogo merah, dengan wajah dirias sempurna, dan rambut tersanggul rapi.

“Ada yang bisa dibantu, Kak?” tanya wanita itu. Senyum professional, dan tatapan ramahnya membuat Bara harus berdeham beberapa kali sebelum kembali berbicara.

“Sa-saya, cari ini, ukuran XL.” Bara memaki dirinya sendiri yang terlihat konyol karena tergagap di hadapan wanita itu. Sekarang pasti wanita itu sudah menganggapnya bodoh.

“Maaf, Kak. Untuk model ini paling besar ukurannya L.”

Lagi-lagi suaranya membuat Bara terpesona.

“Tapi ini sepertinya cukup untuk Kakak,” tambahnya, tersenyum sopan.

Bara menelan ludah susah payah. Meski terlihat jauh lebih dewasa dengan seragamnya, tapi wanita itu tetap memiliki tatapan yang sama seperti semalam. Dan setelah berdiri berhadapan seperti ini, Bara baru menyadari betapa mungilnya wanita itu. Kedua manik matanya berwarna cokelat muda, dan pipinya bersemu setiap kali tersenyum.

“Kalau mau bisa dicoba dulu, Kak, kamar pasnya di sana.” Wanita itu menunjukkan bilik ganti di belakang punggungnya.

Bara menimbang sejenak. Jika ia pergi sekarang, bukan tidak mungkin ia akan kehilangan wanita itu.

“Hm, tapi saya masih bingung antara warna biru atau hitam,” ujar Bara.

“Mm, tapi warna coklat yang Kakak pegang juga sepertinya cocok.”

Glek.

Bara bahkan tidak sadar kalau dia mengambil kemeja warna coklat.

“Sebentar, saya ambilkan yang warna biru dan hitam.” Wanita itu berjalan ke rak di belakangnya, lalu mengambil dua model yang sama dengan dua warna berbeda.

Saat matanya serius menatap pakaian itu, Bara kembali terpaku. Bagaimana mungkin wanita itu terus bertambah cantik setiap detiknya?

“Ini, Kak, silakan,” ujar wanita itu, menyerahkan dua kemeja lainnya. Saat tangannya terulur, Bara sibuk memeriksa cincin yang mungkin tersemat di jari wanita itu.

Dan ketika ia tidak menemukan apa yang dicarinya, Bara mendesah lega. Namun, nama Leo yang ia dengar semalam masih terngiang-ngiang sangat jelas.  

Anakku, kata wanita itu semalam.

Apa artinya dia sudah menikah dan memiliki anak?

“Kak?”

Bara terkesiap dari lamunannya.

“Ah, maaf Mbak, saya masih bingung dengan dasinya juga. Warna yang cocok buat ketiga kemeja ini.”

“Tiga-tiganya?” Bahkan tatapan kebingungan wanita itu mampu membuat Bara kembali tak berkutik.

“Ya, tiga-tiganya. Bisa bantu cari dasi yang cocok?”

Wanita itu tersenyum sopan. “Baik, Kak, sebentar saya carikan dulu. Silakan dicoba dulu kemejanya.”

Bara menatap punggung wanita yang menjauh itu dengan pandangan tidak rela. Ini benar-benar gila. Selama 6 tahun hubungannya dengan Cindy, tidak pernah sekali pun ia memiliki perasaan seperti itu.

Bara bahkan tidak percaya jika ia baru saja mengikuti jejak Edo si playboy dalam menggoda wanita, dan apa-apaan kemeja yang ada di tangannya itu? Untuk apa ia membeli kemeja dengan model yang sama sebanyak itu?

Namun, saat mengingat bagaimana tatapan serius wanita itu saat memilih kemejanya, Bara tidak bisa berhenti tersenyum sambil berjalan ke kamar pas, dan mencoba salah satu kemejanya.

“Kak, ini dasinya.”

Kening Bara berkerut saat mendapati karyawan lain yang mengantar dasi itu kepadanya.

“Lho, Mbak yang tadi mana?” tanya Bara dingin.

“Oh, itu Mbaknya—”

“Ini untuk warna kemeja yang lainnya, Kak,” ujar wanita mungil yang kembali muncul di balik rak-rak pakaian yang lain. Kedatangannya langsung mencairkan kegusaran Bara. Ia membawa dua dasi dengan warna berbeda ke hadapan Bara. “Makasih ya, Mel,” bisiknya kepada karyawan yang tadi mengantar dasi pertama kepada Bara.

“Oke, Mbak, aku ke sana dulu kalau begitu,” ujar Mel sambil sesekali melirik Bara. Ia hampir saja lari ketakutan karena sikap dingin Bara beberapa saat yang lalu.

“Bagaimana, Kak, kemejanya?”

Bara membaca name tag wanita itu secepat kilat. Nilam. Nama yang indah, secantik sosoknya.

“Oh, ini baru mau saya coba. Tapi Mbak tunggu dulu di sini, biar bisa cocokin dasinya.” Bara benar-benar muak kepada dirinya sendiri karena mengikuti cara menjijikan Edo, tapi entah mengapa ia benar-benar tidak ingin wanita itu pergi begitu saja.

“Baik, Kak,” jawab wanita bernama Nilam itu sopan.

Cepat-cepat Bara mengganti kemejanya dengan salah satu kemeja baru yang ia bawa, lalu keluar dari kamar pas. Nilam benar, kemeja itu sangat pas di tubuhnya, bahkan sekarang kemeja itu membuat otot-otot tubuhnya terlihat jelas, dan ia tidak sabar untuk menunjukkannya kepada Nilam. Tidak sia-sia ia berolah raga setiap hari.

“Gimana, Mbak, cocok?” tanya Bara di hadapan Nilam.

“Ya?” Nilam mengerjap bingung. Sangat jarang konsumen meminta pendapat mengenai pakaian yang sudah dicobanya di kamar pas.

“Mm, dasinya mana yang cocok?” ujar Bara menahan malu.

Bibir Nilam kembali melengkung tipis. Ia mengambil dasi berwarna biru lalu memberikannya kepada Bara.

“Ini bisa dicoba juga?” tanya Bara.

“Bisa, Kak.”

“Bisa tolong dibantu? Sa-saya masih belum ahli pakai dasi.” Itu adalah kebohongan yang gila dan menjijikan, tapi terlontar begitu saja dari mulutnya.

Meski sempat ragu selama beberapa saat, akhirnya Nilam mengangguk. “Baik, Kak.”

Setiap wanita itu mendekat, Bara bisa merasakan detak jantungnya kian berlompatan. Terlebih ketika ia bisa menghirup aroma lembut dari wanita itu.

“Maaf, Kak, bisa agak menunduk sedikit.”

“Oh, iya!” jawab Bara tanpa sengaja terdengar penuh semangat, dan itu membuat Nilam terkekeh pelan.

Bara berani bersumpah, jika itu adalah senyuman paling indah yang pernah ia lihat. Gerakan lembut Nilam saat memasangkan dasi, sentuhan ringan yang tanpa sengaja terasa, membuat Bara benar-benar semakin terpesona.

Ia harus menahan dirinya sendiri agar tidak menarik tubuh mungil Nilam ke dalam dekapannya saat itu juga.

“Nah.” Seperti gadis kecil yang baru saja membuat manusia salju dengan sempurna, wanita itu tersenyum puas melihat dasi yang terpasang sempurna. “Bagaimana, Kak?” tanyanya sopan.

“Ya, ya. Ini sempurna,” jawab Bara setelah membeku beberapa saat.

“Ada lagi yang dibutuhkan?”

“Kamu sudah menikah?”

“Ya?”

***

“ANJ*NG! ITU TELEPON CUMA PAJANGAN DOANG?!” teriak Edo saat Bara akhirnya muncul di restoran Putri.

Fadlan dan Putra ikut menatap kesal kepada pria itu. 

“GILA EMANG!” Fadlan ikut memaki sambil menenggak habis colanya.

“Lo dari mana aja, Bar? Itu apaan lagi?” tanya Putra saat Bara duduk di sampingnya. Ia merebut plastik yang dibawa Bara, lalu mengeluarkan isinya. “Buset, lo beli apaan ini?!” tanya Putra saat melihat tiga kemeja dengan model sama dan warna berbeda, dan tiga dasi dengan warna senada.

“HEH? LO KESAMBET, BAR? APA MAU KOSIDAHAN BELI KEMEJA SERAGAM BEGINI?!” pekik Edo ngeri. Namun, Bara sama sekali tidak menjawabnya. Karena saat ini jiwa Bara tertinggal di sebuah titik di department store mall itu.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani Pratama
mungkin Nilam juga sedang galau, he
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status