“Apa? Jadi akhirnya lo diputusin Cindy? Hahahahaha.” Tawa Edo menggema keras.
Bara menyesap rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskan asapnya ke langit malam.
“Hus! Jangan dibahas, lagi gloomy banget dia. Hahahaha. Pacaran 6 tahun akhirnya putus gara-gara mobil. Gokil!” Fadlan terkekeh sambil mengambil sepotong pisang goreng di plastik, sedang matanya tidak pernah lepas dari layar televisi.
“Anjing. Jadi alesannya gara-gara mobil doang? Elah, lu tinggal ngambil aja mobil di si Putra, cicil dah sampe lo mati, atau pura-pura lupa. Case clear, Bro!”
Lagi-lagi Bara hanya mengabaikan kata-kata salah satu sahabatnya itu.
“Sesat lu, Bego!”
“Hahaha, gue udah sampe mabok nawarin mobil sama si batu. Bukannya kenapa, tabungan dia itu udah lebih dari cukup buat beli mobil sama showroomnya! Emang dasar otaknya batu, bisa-bisanya tetep pake motor butut yang napasnya satu-dua. Padahal gajinya udah dua digit!” Putra menengahi tanpa sekalipun memalingkan mata dari layar televisi. “Lagian, Cindy kan mahasiwi kedokteran, wajar kalo dia minta lo naekin sedikit kualifikasi lo sebagai pacarnya.”
“Bener juga sih, saingan lo berat, Bar. Pasti monyet-monyet di kampusnya si Cindy bermobil semua, dan calon dokter. Lah lo cuma modal muka sedikit ganteng dan motor tua? Yang bener aja.” Edo melompat ke sisi ranjang, lalu menyomot potongan pisang goreng terakhir di dalam plastik.
“Halah, kalo udah matre mah matre aja, kaga perlu alesan abcd,” ujar Fadlan malas. “Untung sih lo diputusin sekarang, kalau tetap jadi ama si Cindy, bisa-bisa lo jual ginjal buat biayain gaya hedonnya dia.”
“Bener juga sih.” Edo mengangguk-ngangguk tanpa pendirian. “Ya udahlah, Bar, cewek masih banyak di luaran. Mau yang cantik, mau yang seksi, mau yang pinter, buanyak!”
“Yang sedikit itu cewek yang mau ama lo-nya hahahaha,” tambah Fadlan sebelum menghindar dari lemparan cabai di kantong plastik bekas gorengan.
“Berisik, Bangke. Do, gantiin dulu, gue mau boker.” Putra bergerak gelisah di tempatnya.
“Ogah, gue VCS sama si Mayang!”
“Cewe yang mana lagi itu si Mayang?”
“Yang tadi pagi.”
“Gila, bisa-bisanya ada cewek yang mau sama jambul ayam buluk lu itu.”
Edo pasti sudah akan melayangkan tinjunya andai Putra tidak menyela mereka lagi.
“Buruan, Bangs*t! Gue mau boker. Kalo menang, cicilan lo bulan depan gue kurangin separo.”
“Jing! Nanggung amat, Put!”
“Lo mau kaga? Tapi kalau kalah, cicilan lo gue tambahin separo.”
“Sial!” teriak Edo meski tetap melompat ke tempat Putra tadi. Sesekali ia melirik Bara yang masih menghela napas panjang berkali-kali sambil terus menatap ponselnya.
“Fokus, Blok! Kalau mati bisa mampus lo! Hahahaha,” ujar Fadlan yang menjadi rivalnya malam itu.
“Segini doang mah gampang!”
Ketika pintu kamarnya kembali terbuka, Fadlan mengernyit bingung. “Lah, kaga jadi boker, Put?”
Putra mengusap perutnya. “Kaga jadi! Udah melepet masuk lagi. Kamar mandi bawah lagi ada orangnya, lama bener! Keburu tentram lagi perut gue.”
“Malem natal begini kaga ada orang di kosan. Orang-orang pada cabut,” jelas sang pemilik kontrakan.
“Terus di bawah siapa yang mandi? Kunti? Wangi sabunnya semerbak begitu si kunti jaman sekarang.”
Fadlan meletakkan stik PSnya sambil berpikir sejenak. “Yang masih ada di kosan itu cuma gue dan… Mbak Wati!”
“Buset, anak bawah yang montok itu?!”
Fadlan mengangguk, seingatnya memang ia sempat melihat Wati saat ia pulang membeli gorengan tadi sore.
“Dan dia lagi mandi?”
Ting!
Tanpa aba-aba lagi, ketiga pria yang sebelumnya sibuk bermain game play station itu langsung melompat meninggalkan taruhan dan stik game mereka.
Fadlan menyambar ponselnya di atas meja, Edo langsung berlari ke luar kamar tanpa repot-repot menggunakan sepatunya, bahkan Putra sudah kembali menuruni tangga dengan langkah berjinjit.
Meski sekarang mereka sudah tidak menggunakan seragam abu-abu lagi, tapi kebiasaan yang mempersatukan mereka itu tidak pernah berubah, termasuk Bara. Dulu mereka bahkan pernah masuk ke ruang BK bersama-sama karena ketahuan mengintip kakak kelas mereka.
Namun, sedetik kemudian, ketiga wajah itu kembali muncul di balik pintu saat menyadari Bara sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.
“Jir, beneran galau dia,” gumam Edo tidak percaya. Biasanya, meski sudah memiliki pacar seorang calon dokter, Bara tidak pernah absen menikmati hal-hal yang menyenangkan sebagai seorang pria.
“Hah! Cabut aja kalo gitu. Yuk cari makan!” Putra mendesah lelah sambil mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi.
Fadlan mengangguk dan mematikan perangkat gamenya, tapi Bara sama masih tidak bergerak. Ia hanya tetap merokok sambil menatap langit-langit kamar Fadlan.
“Apa kita gorok aja dia sekarang? Lo apal nomor pin ATMnya kan?” tanya Edo.
“Masih, 112233,” jawab Fadlan.
“Bagus. Mana golok, Lan?”
Putra menatap sahabatnya dengan prihatin. Ini kali pertamanya mereka mendapati seorang Bara menggalau karena wanita. Di antara mereka berempat, Bara adalah yang paling tampan, Putra yang paling kaya, Edo yang paling br*ngsek tapi ramah, sedangkan Fadlan adalah yang paling standar, tapi sangat loyal.
Saat mereka lulus SMA, Bara berpacaran dengan Cindy, dan kisah itu berlanjut sampai mereka lulus kuliah, sedangkan Cindy masih harus melanjutkan KOAS untuk melengkapi studi kedokterannya.
6 tahun berlalu, dan akhirnya kisah cinta masa muda itu berakhir juga.
“Anjing dah ini yang galau! Buruan bangun gue lapar!” teriak Edo seraya menarik kaki Bara. “Galaunya tunda dulu b*ngsat!”
***
“Badan aja gede, giliran putus mewek, Anj*ng,” gerutu Edo kesal sambil mendorong-dorong punggung Bara untuk segera turun dari mobil.“Cewek masih banyak, Bar. Besok gue kenalin sama klien gue! Mau model kaya gimana juga ada!”“Yang jadi-jadian juga ada ya, Lan?”“Hahahaha banyak, Bro, kalo lo doyan.”Edo bergidik seketika, “Dikasih gratis juga ogah gue, masih doyan yang ori!” katanya, sambil mengusap tengkuk yang meremang seketika. “Nah, baru juga diomongin, tuh ada cewek.” Edo menyeringai lebar saat melihat dua orang wanita duduk berhadapan di kedai nasi goreng favorit mereka.Fadlan ikut mengekor arah pandang Edo, dan mengangguk-ngangguk.“Kang, 4 ya, seperti biasa.” Putra menghampiri Firman, sang pemilik kedai nasi goreng. “Siap, Mas,” jawab Firman riang. Akhirnya setelah sempat sepi sesorean ini, ia mulai mendapatkan konsumennya kembali.Ketika berjalan melewati meja kedua wanita itu, Edo sengaja sedikit bersiul dan mengeraskan suara untuk menarik perhatian keduanya. Ia juga sen
“Apes banget yang semalem.” Edo menyisir rambut yang sengaja ia cat pirang dengan santai. Matanya melirik beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka sambil menebar senyum andalannya.Beberapa gadis tersenyum sambil melirik malu-malu saat ketiga pria itu memasuki lobi mall dengan langkah tegap. Edo sengaja menggulung lengan baju untuk memperlihatkan otot lengannya kepada gadis-gadis yang berpapasan dengan mereka di mall.“Jangan dibahas lagi, Blok,” ujar Fadlan sambil memeriksa email di ponselnya.“Hhh, emang cewek cantik dan baik itu udah mulai langka. Tapi gue nggak nyangka kalo dia bahkan udah beranak. Bodynya masih gadis banget, Bro!” keluh Edo sambil menebar senyum kepada beberapa siswi SMA yang cekikikan saat berpapasan dengan mereka.“Masih ada, Do, yang cantik, sukses, baik, dan masih single.” Fadlan mensejajari langkah Edo di escalator.Pria berkaos hitam itu menatap ragu.“Si Putri? Kurang apa dia? Kaya tujuh turunan, cantik, bohay, dan masih single.”“Anj*ng. Dia mah beda
SH*T.Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.“B*ngsat!” maki Bara kesal.Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.“Hus! Dia lagi
“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal. “Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah. “Lo lagi di mana sekarang? Lembur?” Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan. Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup. Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam da
Sabtu pagi.Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di D
“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.“K*nthu mata lo. Orang si C
Di tengah lusinan orang yang berlalu lalang di dalam mall untuk mengincar midnight sale malam tahun baru, Bara berdiri sambil menatap lurus ke department store. Kedua tangannya tersemat di saku celana, dan wajah tampannya tampak sangat serius.Beberapa gadis muda yang melihat sosok tampan Bara langsung saling berbisik. Dengan tubuh tegap, tinggi, dan wajah tampannya, mudah saja bagi Bara untuk menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Bahkan Edo pernah memintanya menjadi model pemotretan pertamanya dulu.Bara menghela napas panjang. Sesuai dugaannya, wanita itu masih bekerja di malam tahun baru, saat kebanyakan orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka untuk merayakan malam pergantian tahun baru.Dengan perlahan, Bara mulai berjalan mendekati rak-rak pakaian tempat Nilam berada. Semakin dekat, Bara semakin menyadari jika wajah Nilam sedikit berbeda dari kemarin. Ia memang masih tersenyum ramah kepada semua pengunjung mall, tapi matanya
“Duh dokter Cindy… bisa-bisanya dokter tetap cantik pas kerja di malem tahun baru begini,” keluh Imel, perawat jaga di IGD, saat melihat Cindy berjalan ke meja perawat dengan status pasien yang baru.“Iya loh, aku juga bingung.” Yumi, yang sejak tadi sibuk membuat laporan, mengangkat wajahnya. “Dokter Cindy ini sudah cantik, dan bawaannya positive vibes gitu. Rahasianya apa sih, Dok?”“Nggak ada rahasia apa-apa, Sus. Saya kan cuma menunaikan tugas aja,” senyum Cindy ramah.“Kan, suaranya aja merdu banget. Pokoknya kalau ada Dokter Cindy, IGD jadi berasa lebih tenang walau pasiennya numpuk.”Yumi mengangguk setuju.“Tapi Dokter nggak ada acara apa-apa malam tahun baru ini sama sang pacar?” goda Imel.Semua orang di IGD sudah mengetahui jika Cindy memiliki kekasih super tampan, tapi sama sekali tidak tau jika hubungan mereka sudah kandas beberapa waktu yang