Share

Part 4

"Jadi bagaimana Danu, kamu bersedia kan menikah dengan Viola?"

Hening beberapa saat, kulirik mas Danu yang ternyata juga tengah menatapku seakan meminta persetujuanku untuk menjawab pertanyaan Mama. Aku hanya mengangguk pelan.

"Iya Ma, aku akan menuruti keinginan Mama untuk menikah dengan Viola," ucap Mas Danu lirih.

"Lalu bagaimana dengan mbak Nilam apa dia setuju dengan pernikahan kami?" tanya Viola.

Ah gadis ini, bukankah dia yang kekeh ingin bersanding dengan Mas Danu, tapi kenapa sekarang dia bertanya seolah-olah mengerti perasaanku.

Andai aku punya kuasa untuk menolak poligami ini, sudah tentu aku dengan tegas berkata tidak. Tapi yasudahlah aku hanya berdoa semoga bisa terus kuat dan sabar.

"Tentu saja Nilam akan setuju sayang, lagipula Nilam punya hak apa untuk melarang Danu menikahimu. Seharusnya ia beruntung karena Danu masih mempertahankannya, kalau tidak pasti dia sudah menjadi gadis miskin seperti dulu. Nilam juga pasti akan berfikir seribu kali untuk menuntut cerai dari Danu, mau makan apa dia tanpa uang dari Danu selama ini kan dia hanya ongkang-ongkang kaki memeras keringat putraku."

"Tapi Ma, bukankah istri itu tanggung jawab suami? Jadi wajar kalau saya mendapatkan uang nafkah dari Mas Danu selaku suami saya."

"Inilah yang perbedaan antara wanita berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan. Seorang wanita yang berpendidikan pasti akan berfikir untuk meringankan beban suaminya, sedangkan yang pendidikannya zonk pasti memanfaatkan suami untuk menjadi sapi perah agar bisa foya-foya tanpa harus bekerja keras."

"Sudahlah Ma, memang aku yang melarang Nilam untuk bekerja. Dia benar, mencari nafkah itu memang tugas seorang suami. Jadi Mama tak perlu berfikir bahwa Nilam hanya memanfaatkan aku," ucap mas Danu membelaku.

"Terus saja kamu sudutkan wanita yang melahirkanmu ini hanya untuk membela istrimu yang mand*l itu!"

"Ma, aku sudah menyetujui keinginan Mama untuk menikahi Viola. Jadi Danu minta tolong sama Mama, tolong terima Nilam menjadi bagian keluarga kita, dia juga menantu Mama!"

"Mas tolong jangan memaksa Mama, mungkin Mama perlu waktu untuk menerima Mbak Nilam! Lagipula Mama sudah berbesar hati merestui pernikahan kalian meski itu pasti berat bagi Mama," ucap Viola sok manis, ah pandai sekali dia mengambil hati calon mertuanya.

"Terima kasih sayang, kamu memang calon menantu Mama yang pengertian. Beruntung sekali Mama mendapatkan menantu berkelas sepertimu," ucap mama sambil membelai rambut Viola.

"Danu rasa acara makan malam ini sudah selesai, kalau begitu aku sama Nilam pamit mau pulang duluan!"

"Oh ya kalau begitu kamu antar Viola sekalian, kasian dia kalau harus pulang sendirian!"

"Rumah kita beda arah Ma, biar aku pesankan taxi online," ucap mas Danu sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan membuka sebuah aplikasi berlogo hijau.

"Danu! Kamu tega membiarkan Viola naik taksi sendirian? Dia itu perempuan, jika ada hal buruk terjadi padanya bagaimana? Mama nggak mau tau, cepat antar dia pulang!"

"Dek kamu nggak keberatan kan kalau kita anterin Viola dulu?"

Aku hanya mengangguk.

"Nilam nggak akan keberatan, kalau sampai dia keberatan suruh saja dia pulang dengan ojek online!"

"Sudahlah Ma, Nilam nggak keberatan kok. Kalau begitu kami permisi, assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Mas Danu dan Viola bergantian mencium tangan Mama, tapi saat giliranku Mama justru melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka kearah lain.

Sabar Nilam, sabar. Walau begitu dia tetap mertuamu, wanita yang telah melahirkan suamimu.

Saat aku hendak membuka pintu mobil bagian depan, Viola ternyata mendahuluiku.

"Gantian aku yang di depan ya Mbak? Lagipula Mbak kan sudah biasa didepan, itung-itung aku belajar menjadi pendamping Mas Danu," ucap Viola sambil tersenyum.

Tak ada jawaban yang kukeluarkan dari mulutku. Lebih baik diam dan mengalah.

"Ingat nggak Mas, itu cafe dimana pertama kali kamu menyatakan cinta kepadaku. Aku ingat kamu bawa bunga mawar putih kesukaan aku sama kalung berlian," celoteh Viola sambil menunjuk cafe mewah di pinggir jalan yang kami lewati.

"Iya aku ingat," jawab mas Danu singkat.

"Aku tau pasti kamu akan mengingatnya seumur hidup kamu. Itukan hari yang paling bersejarah buat kita, dulu kita udah janji buat mengikat hubungan kita dalam tali pernikahan. Tapi kamu malah nikah sama orang lain. Tapi aku seneng karena sebentar lagi janji kita waktu itu bakal terlaksana, kita akan menjadi pasangan yang tak terpisahkan lagi."

Jika ditanya aku cemburu, maka pasti jawabnya iya. Bagaimana aku tak cemburu lelaki yang Viola ceritakan adalah laki-laki yang saat ini masih berstatus sebagai suamiku.

Meski pada kenyataanya sebentar lagi dia bukan hanya milikku.

Perjalanan ini terasa begitu panjang karena aku seakan menjadi obat nyamuk bagi dua insan di depanku ini.

Ingin rasanya mata ini terpejam dan terlelap agar tak mendengar celotehan-celotehan Viola yang terus-menerus membahas kisah cinta monyetnya dulu.

Dia bercerita panjang lebar seakan aku ini hanya patung tak bernyawa dan berperasaan. Sebagai perempuan harusnya dia paham posisi sesama wanita. Tapi sudahlah bukankah semua pel*kor itu tak berperasaan.

"Mbak Nilam, dulu waktu pacaran, Mas Danu itu nurut banget sama aku. Aku mau makan apa aja pasti dibawain ke rumah, kalau sama Mbak Nilam gitu juga nggak?"

"Sayangnya aku mengganggap Mas Danu itu sebagai suami, kepala keluarga jadi aku nggak kepikiran tuh buat jadiin Mas Danu tukang pengantar makanan. Lagipula apa gunanya punya tangan, punya kaki kalau apa-apa mesti dilayani orang lain."

Ternyata ucapanku berhasil membungkam mulut Viola. Terbukti ia berhenti mengoceh, aku lihat dari kaca spion nampak ekspresinya yang terlihat jengkel dan mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.

Aku tau tujuannya ingin semakin membakar api cemburuku, sayangnya caranya tak berhasil. Justru aku sekarang yang berhasil membuat dia badmood.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status