Share

Part 6

"Kenapa sih tu muka lecek amat? Katanya mau curhat, buruan deh cerita kupingku udah siap nih dengerin keluh kesah sahabat tercintaku ini!"

Menjadi wanita rumah tangga seutuhnya membuatku bosan. Berulangkali aku meminta izin kepada suamiku untuk bekerja, tapi selalu penolakan yang aku dapat.

"Mencari nafkah itu tugas suami jadi kamu nggak usah mikir cari uang. Kalau jatah bulanan habis tinggal bilang, nanti aku tambah. Aku mau punya istri penurut yang mengurus rumah dan suami seutuhnya."

"Tapi aku bosan di rumah terus Mas!"

"Kamu bisa refreshing dengan jalan-jalan sebentar ke mall atau kumpul bareng teman. Dengan syarat kamu harus selalu ada saat aku di rumah!"

Dan benar saja, aku menjadi wanita rumahan yang hanya keluar saat kebutuhan rumah telah habis dan juga bertemu dengan sahabatku saat aku jenuh.

Seperti saat ini, aku tidak mau stress sendiri memikirkan kisah rumah tanggaku. Oleh sebab itu aku ingin berbagi sedikit kisah dengan sahabatku Safira.

"Mas Danu nikah lagi Fir," ucapku berusaha terlihat setenang mungkin.

"Seriusan?" tanya Fira sambil melotot kearahku.

"Biasa aja ngeliatin aku, bisa-bisa lompat itu mata!"

"Beneran Danu nikah lagi, sama siapa?"

"Sama mantan pacarnya dulu."

"Terus kamu diem aja, ngizinin gundik masuk dalam rumah tanggamu?"

"Aku nggak punya pilihan lain. Saat itu hanya ada dua pilihan antara dipoligami atau dicerai. Nggak mungkin kan kalau aku jadi janda sedangkan pernikahanku baru berjalan selama satu tahun?"

"Apa yang salah dengan status janda? Setidaknya itu lebih terhormat daripada merebut milik orang lain."

"Iya, tapi disisi lain aku juga mikirin perasaan orang tuaku di kampung. Setiap bulan mereka mendapat kiriman uang dari nafkah yang mays Danu kasih ke aku, kalau aku cerai gimana perasaan mereka?"

"Itulah mengapa aku selalu bilang kalau wanita itu harus mandiri, jangan terlalu bergantung kepada laki-laki apalagi soal uang biarpun kalian adalah suami istri."

"Aku juga pingin jadi wanita mandiri, tapi kamu tau sendiri kan kalau Mas Danu sama sekali nggak ngasih aku izin kerja diluar?"

"Heh Nilam Wulandari! Memangnya semua pekerjaan yang menghasilkan uang harus meninggalkan rumah?"

"Iyalah, gimana mau dapat uang kalau berdiam diri di rumah? Mau ternak tuyul atau b*bi ngepet sekalian biar cepat kaya."

"Nih kaya gini kalau punya otak tapi ditaruh di ponsel. Ponselnya jadi pintar tapi yang punya ponsel zonk."

"Ihh nyebelin banget sih! Aku ini curhat sama kamu biar dapat pencerahan tapi kamu malah mancing emosi aku, pake segala ngatain aku b*d*h lagi."

"Gini ya aku jelasin, jaman sekarang ini semuanya serba digital. Tak perlu mengeluarkan banyak tenaga cukup memaksimalkan fungsi otak dan gawai yang kamu punya, maka kamu bisa menghasilkan uang."

"Gimana caranya?" Jujur aku masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh Fira.

Maklum saja meski punya smartphone canggih yang dibelikan oleh Mas Danu, tapi hanya dua aplikasi yang sering aku gunakan yaitu yang berlogo hijau dan biru.

"Kamu coba cari di g****e pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah! Aku tungguin sampai kamu benar-benar paham."

Aku menuruti perintah Fira. Benar saja banyak pekerjaan yang menghasilkan uang dari rumah hanya bermodalkan smartphone.

"Udah ngerti kan apa maksud aku?"

Aku mengangguk, sekarang aku hanya harus fokus pada satu pekerjaan yang sesuai dengan passionku.

"Sekarang langkah apa yang akan kamu ambil?"

"Kalau aku jadi reseller produk kecantikan yang saat ini lagi booming itu gimana menurut kamu?"

"Hmn... Boleh juga. Tapi satu pesanku yang harus kamu ingat! Meskipun pekerjaan yang akan kamu tekuni ini terlihat mudah, tapi aku yakin tetap akan ada tantangan didalamnya. Apalagi berdagang itu bukan hal yang mudah satu yang musti kamu ingat, sabar!"

Banyak nasehat yang keluar dari mulut Safira seperti nasehat seorang ibu kepada anaknya. Tapi aku senang, sikap dewasanya seakan menjadi pengganti sosok ibu yang jauh disana.

Gawaiku berdering, tertera nama Mas Danu disana.

"Halo dek kamu dimana, di rumah kok nggak ada siapa-siapa?" tanya Mas Danu dari ujung telepon.

"Ini aku lagi ketemuan sama temanku. Lho katanya kamu masih dua hari lagi pulangnya, kok sekarang udah pulang?"

"Mas, Mbak Nilamnya kemana sih, aku udah capek tau pengen istirahat?"

Suara itu, suara Viola. Bisa-bisanya Mas Danu membawa Viola ke rumah kami. Padahal pada kesepakatan awal sebelum menikah, Mas Danu sudah berjanji tak akan menyatukan dua istrinya ini dalam satu rumah.

"Dek buruan pulang ya, aku tunggu di rumah!"

Sambungan telepon diputus dari sebrang sana.

"Fir, makasih ya nasehatnya. Tapi kayaknya aku harus pulang sekarang."

"Iyadeh, yang udah ditunggu sama suami tercinta."

Sebenarnya malas rasanya pulang sekarang dan melihat sepasang pengantin baru itu di rumah.

Ada perasaan rindu yang membuncah saat tak berjumpa beberapa hari dengan mas Danu, tapi itu dulu. Kalau sekarang rasa rindu itu entah hilang kemana.

"Eh tapi sayang kalau pulang, lagipula ini masih siang. Kita ke salon aja yuk!" ajakku pada Fira.

"Bukannya udah disuruh balik sama suamimu?" tanya Fira penuh selidik.

"Aku lagi malas ketemu sama adik madu."

Akhirnya kami menghabiskan waktu di salon langganan. Mungkin spa dapat merilekskan pikiran agar bisa selalu berfikir jernih.

Maaf Mas Danu, sepertinya kamu dan istri barunmu harus menungguku sedikit lebih lama di teras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status