Dengan perasaan malu, aku harus mengakui kalau ucapan Nenek memang ada benarnya.
Sesampainya di kota, aku nyaris melupakannya kalau tak ada amulet yang selalu bergantung di leherku.Kota ini benar-benar menyita perhatianku seolah ada aura magis yang menyelubunginya.Dulu, kami tinggal di desa terpencil di hutan. Jauh dari tetangga maupun keramaian.Di kota ini, jalan-jalan begitu ramai. Banyak toko yang menjual barang-barang yang asing bagiku.Boneka, gaun, perhiasan, sepatu, bahkan sampai makanan.Gedung-gedung dengan kaca mengkilap menjulang tinggi dan kereta kuda yang terparkir di depannya. Aku tak pernah melihat kereta kuda sebanyak itu.Jalannnya dibuat dari batu-batu berwarna kelabu sehingga saat hujan tiba, aku tidak akan menemui genangan air atau lumpur yang bisa merusak sepatuku.
Oh, juga lampu-lampu di jalan yang menerangi saat malam tiba terlihat seperti parade kunang-kunang.Semuanya begitu indah.Kami tinggal di rumah yang cukup besar untuk berempat. Tapi tak lama kemudian, Ayah memperkerjakan beberapa orang untuk membersihkan rumah, memasak bahkan seorang kusir untuk kami. Aku juga memiliki banyak teman yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka mengundangku untuk minum teh atau sekedar berbelanja gaun. Singkat kata, kehidupanku saat itu sesempurna mimpi.Tapi seperti mimpi lainnya, aku harus terbangun.Bermula setelah pesta ulang tahun sekaligus debutante pertamaku di usia tujuh belas tahun. Pertama kalinya aku melepas amulet dari Nenek dan meletakkannya di laci.Ibu membelikanku sebuah kalung dengan bandul dari batu safir. Warnanya serasi dengan warna mataku sekaligus gaun yang kupakai.Pesta itu dihadiri teman-temanku, kolega dan kerabat dari keluargaku.Bukan rahasia umum, bahwa ini juga menandakan bahwa aku sedang mencari calon suami.Usiaku sudah dianggap cukup untuk membangun rumah tangga.Ayah mengenalkanku dengan beberapa kandidat yang tentu saja memiliki hubungan dengan koleganya. Beberapa dari mereka sedikit menarik perhatianku karena paras mereka.Tapi hanya itu saja.Tidak ada yang benar-benar kusukai.Pesta berakhir beberapa menit sebelum tengah malam.Aku kelelahan karena berdansa lebih dari sepuluh lagu. Kakiku seolah-olah bisa patah kapan saja. Sepatu hak tinggi yang kupakai hanya memperparah nyeri di kedua tumitku.Aku melepas gaun dan berganti dengan piyama. Kulepas kalung itu dan kembali memasang amulet pemberian Nenek.Kupandangi pantulan diri di cermin dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Nenek sekarang.Mungkin usianya sudah delapan puluhan.Aku yakin sekali ia masih hidup dengan sehat. Aneh sekali membayangkan beliau sakit.Nenek memiliki tubuh dan stamina yang kuat. Beliau masih sanggup menebang kayu dan mencari makanan di hutan. Sejauh yang kuingat ia tak pernah memakan daging. Mungkin karena itulah, hewan-hewan di hutan menghormatinya. Aku pernah melihatnya duduk di pinggir sungai bersama seekor beruang besar bewarna cokelat. Nenek memberikan setoples madu dan beruang itu menjilatinya dengan rakus. Beliau mengajaknya berbincang tapi beruang itu nampak sibuk dengan makan siangnya. Saat toples itu bersih, beruang itu menggeram sekali dan pergi begitu saja. Barulah, aku yang bersembunyi di semak belukar berani mendekatinya.Aku mencium batu hijau itu dan naik ke ranjang.Begitu pagi tiba, aku benar-benar terkejut.Masih dengan gaun tidurku, aku terduduk di tanah yang keras.
Tempat yang harusnya adalah kamarku berubah menjadi hutan lebat. Lebih lebat dari hutan di kampung halamanku.Pohonnya begitu rapat hingga aku tak bisa melihat apa yang ada didepan. Entah jalan setapak atau tepi juranglah yang menyambutku di depan.
Terik matahari tertutup dedaunan rimbun sehingga tak terasa menyengat kulit.Kakiku terasa aneh saat menginjak tanah yang kasar dan keras."Ayah? Ibu?" Aku memanggil mereka tapi tak kudengar apapun selain gema suaraku sendiri.Jantungku berdebar dengan kencang. Kuingatkan diriku agar tidak panik dan mulai berpikir alasan yang logis kenapa aku bisa berakhir di hutan ini.Tapi tak ada hal yang bisa kupikirkan.Untuk menambah masalah yang kuhadapi, perutku tanpa rasa malu berbunyi pelan. Aku mengutuk diriku yang masih bisa merasakan kelaparan di saat seperti ini.Jadi kuputuskan untuk mencari makan dan sekaligus jalan keluar dari hutan ini.Tapi belum sempat aku melangkah, gelombang kepanikan menyerangku. Terdengar suara langkah yang menginjak dedaunan kering dan menerobos pepohonan.Manusiakah itu?Atau hewan buas?Jangan-jangan sebelum aku sempat menemukan makanan, ia akan menjadikanku sarapan paginya.Tapi kepanikan itu berubah menjadi kelegaan saat pemilik langkah itu muncul dari balik pepohonan.Seorang laki-laki seumuran denganku. Wajahnya putih dengan rambut hitam dan mata hijau gelap. Ada bintik-bintik di kedua pipinya.
Seketika aku mengenalinya.Kami jelas tak pernah bertemu. Tapi aku mengenalnya begitu saja. Karena dia adalah bagian masa kecilku.Tokoh utama dari dongeng yang diceritakan nenekku.
Dia adalah Maxwell Ignatius De Albertine, pangeran terkutuk yang dibuang keluarganya."Nona mengenal saya?" Tanyanya dengan dahi berkerut. Dia membungkuk sedikit sebelum melanjutkan, "Maaf atas ketidaksopanannya, tapi saya tidak yakin pernah menemui anda sebelumnya."Aku tergagap. Sepertinya tanpa sadar aku mengucapkan namanya keras-keras."Aku.. aku.. sebenarnya.."Kruyuk!Perutku kali ini berbunyi sangat keras. Membuatku sangat malu. Tapi Maxwell tidak menampakkan emosi apapun.Ia memandangku dari ujung rambut sampai kaki lalu melepaskan mantel hitam panjang yang dipakainya.Ia masih memakai kemeja biru gelap berlengan panjang dan celana panjang cokelat tua. Sarung pedangnya bertengger di pinggul sebelah kirinya."Sepertinya anda lebih membutuhkan ini dari saya. Dahan dan ranting bisa melukai lengan anda."Aku menerima mantel tersebut dan segera memakainya. "Terima kasih."Ia lalu melepas kedua sepatu bots warna kulitnya dan menaruhnya di depan kakiku.Tentu saja aku menolaknya."Tidak perlu seperti i
Maxwell mengangkat sebelah alisnya saat aku menyeruput sisa sup kentang buatannya dari mulut mangkuk.Entah karena lapar atau dia memang pandai memasak, tapi rasa supnya enak sekali. Aku bahkan tak menolak saat ia menuangkan sisa sup dari panci kepadaku."Kau tak bisa terus menggunakan mantel tua itu."Aku mengangguk. Kali ini setelah menghabiskan dua mangkuk sup, perutku takkan berulah lagi. "Sebelum itu, tolong jelaskan alasan kenapa kau ingin tapi tidak jadi membunuhku?""Maafkan aku. Tapi ayahku, Raja Albertine, sering mengirim mata-mata ataupun pembunuh bayaran untukku. Kupikir kau adalah salah satunya. Tapi, ternyata kau utusan penyihir suci.""Siapa yang kau maksud penyihir suci? Jujur saja, aku memang tidak tahu bagaimana bisa ada di tempat ini. Tapi yang jelas, aku bukanlah utusan siapapun.""Dari mana kau dapatkan kalung itu?""Ini hadiah perpisahan dari Nenek. Tapi benda ini bisa saja dibeli di pasar atau malah seseorang memberikannya pa
Entah dari mana aku mendapatkan keberanian itu, tapi tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya. "Maxwell Ignatius de Albertine, aku sudah bertekad agar kau bisa menikah dengan seorang gadis manusia dan memiliki anak-anak manusia juga. Kau harus hidup bahagia dan terbebas dari kutukan sialan itu lagi.""Maxwell Knightwood, itu nama yang kupakai sekarang." Ia menepis tanganku dan merapikan kerah bajunya. "Kenapa kau terobsesi sekali dengan hal itu? Aku sudah bahagia. Sekarang yang terpenting, kau harus pulang. Keluargamu pasti sudah menunggumu.""Kau benar. Keluargaku pasti sudah menungguku. Karena itu mari kita patahkan kutukannya sekarang juga. Agar aku bisa pulang dengan nyaman. Anggaplah ini sebagai balas budi karena kau menyelamatkanku.""Balas budi?" Maxwell nampak tertegun dengan ucapan itu. "Aku menolongmu karena itu adalah hal yang benar.""Tapi tak semua orang melakukan hal yang benar. Kebanyakan hanya melakukan hal yang mudah. Kau bisa membiarkanku mati
Maxwell nampak aneh. Sejak kejadian itu, lelaki itu selalu nampak sedang berpikir keras.Berkali-kali ia menanyakan pertanyaan yang sama."Apakah kau benar-benar memegang liontin tersebut?"Kami sedang menerobos hutan. Sesekali, ia menggunakan pedang untuk menebas ranting dan daun-daun yang menghalangi langkah kami.Jalan yang kali ini kami lewati berbeda dengan yang kami lalui untuk pergi ke pasar. Maxwel tidak menjawab saat kutanya mengenai kemana sebenarnya tujuan kami.Ia sepertinya sedang tak berminat untuk bicara. Jadi, aku berhenti mencoba.Jam makan siang sudah terlewat. Tapi kami masih berada dalam hutan.Malahan kalau bisa kubilang, kami hanya berjalan berputar-putar.Aku mengisi botol minuman untuk ketiga kalinya saat kami melewati sungai."Kau tidak haus?"Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan. Sambil menghela nafas berat, aku mengikutinya lagi dengan langkah lebar."B
Aku hanya bisa melihat tiga hal di Pegunungan Utara. Tumpukan salju, pohon pinus yang meranggas dan langit dengan awan mendung."Ceritakanlah mengenai tempat tinggalmu." Kata Maxwell.Tapi jangankan untuk bercerita, bibirku tak bisa berhenti menggigil. Ini bukan musim dingin pertamaku.Malahan aku paling menyukai saat membuat boneka salju juga ketika berbaring di dekat perapian dengan selimut tebal dan secangkir cokelat panas.Tapi salju di sini benar-benar berbeda. Dinginnya sampai menembus tulang dan aku nyaris tak bisa menggerakan jemari tangan atau kakiku yang terasa kebas.Bahkan hembusan anginnya pun mengerikan. Beberapa kali aku nyaris terjungkal saking kencangnya angin tersebut. Tentu saja aku tak melihat rumah penduduk di daerah ini.Kemungkinan terburuk yang bisa ku alami adalah mati beku tanpa ditemukan siapapun.Tapi aku penasaran, apakah terkubur dalam gundukan salju akan membuat tubuh kita tidak membusuk unt
Hari ini aku tidak bisa tidur karena lapar.Jatah makan malamku sudah habis dan aku tak mungkin melahap jatah Maxwell juga.Mungkin karena aku tak memakai korset, nafsu makanku bertambah cukup banyak.Jadi, kupaksakan diri untuk membayangkan makanan enak sambil menatap api buatan Maxwell yang menjilati langit-langit gua.Baru saja saat aku membayangkan sepiring ayam panggang, terdengar suara serigala yang melolong.Aku mengenali suara itu sebagai tanda bahaya dan membangunkan Maxwell, yang sudah berubah menjadi manusia, dari tidurnya."Tidak apa, mereka hanya menumpang lewat," katanya dengan nada malas sebelum melanjutkan tidurnya lagi.Tapi aku menahannya, "Suara mereka terdengar sangat dekat. Cepat matikan apinya! Jangan-jangan mereka dapat mencium aroma keberadaan kita,"Maxwell menjentikan jarinya membuat sekeliling gua menjadi gelap. Hembusan angin di luar menjadi terasa amat dingin.Maxwell bersiap akan bergelun
Rasanya aku mau pingsan! Tentu saja karena kekenyangan. Semua makanan ini tidak bisa habis dan terus beregenerasi.Matahari sudah bersinar beberapa menit yang lalu, membagikan sedikit kehangatan."Kau tidak merasa pusing? Yang barusan kau lakukan itu sihir tingkat menengah. Pasti ada efek sampingnya, bukan? " Tanya Maxwell."Aku hanya merasa tubuhku menjadi berat."Lelaki itu mendengus sebelum mencecap winenya sampai habis, "Perutmu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Jadi, berhati-hatilah."Aku mengambil kalkun panggang utuh, membungkusnya dengan daun-daun pinus kering sebelum memasukkannya ke dalam tas ku.Maxwell tidak membawa apapun, saat kutanya kenapa. Dia menjawab, "Sifat serakah takkan membawamu kemanapun." "Terserah, pokoknya jangan minta meski hanya segigit. Ayo kita harus segera lanjutkan perjalanan." Aku harus segera bergerak untuk menghil
Orang bilang hidup memang penuh kejutan. Tapi aku tidak suka kejutan semacam ini.Si laba-laba dengan tenang memilih untuk menonton kami dari jaring buatannya. Mengawasi dengan penuh konsentrasi sebelum menjadikan kami sebagai makan malam."Abby, kau punya ide?" Bisik Maxwell."Meskipun jarak pandang si tikus tanah itu terbatas, ia bisa mendengar gerakan kita.""Itu 'kan memang pengetahuan umum, Abby.""Karena itu, kau saja serang dia dari dekat dan mengecohnya. Aku akan mengusahakan sesuatu dengan sihirku." Kuakui aku jadi agak sedikit congkak dengan kekuatan baru ini. Semangatku membara seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Dia mengangguk dan mulai menyerang si tikus. Kalau boleh kubilang, gerakannya sangat tangkas dan cepat. Ia melayangkan serangan tersebut dengan mantap seolah yakin akan mengenai sasarannya.Dari gerakannya, Maxwell be