Share

2

Dengan perasaan malu, aku harus mengakui kalau ucapan Nenek memang ada benarnya.

Sesampainya di kota, aku nyaris melupakannya kalau tak ada amulet yang selalu bergantung di leherku.

Kota ini benar-benar menyita perhatianku seolah ada aura magis yang menyelubunginya.

Dulu, kami tinggal di desa terpencil di hutan. Jauh dari tetangga maupun keramaian.

Di kota ini, jalan-jalan begitu ramai. Banyak toko yang menjual barang-barang yang asing bagiku.

Boneka, gaun, perhiasan, sepatu, bahkan sampai makanan.

Gedung-gedung dengan kaca mengkilap menjulang tinggi dan kereta kuda yang terparkir di depannya. Aku tak pernah melihat kereta kuda sebanyak itu.

Jalannnya dibuat dari batu-batu berwarna kelabu sehingga saat hujan tiba, aku tidak akan menemui genangan air atau lumpur yang bisa merusak sepatuku. 

Oh, juga lampu-lampu di jalan yang menerangi saat malam tiba terlihat seperti parade kunang-kunang.

Semuanya begitu indah.

Kami tinggal di rumah yang cukup besar untuk berempat. Tapi tak lama kemudian, Ayah memperkerjakan beberapa orang untuk membersihkan rumah, memasak bahkan seorang kusir untuk kami. 

Aku juga memiliki banyak teman yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka mengundangku untuk minum teh atau sekedar berbelanja gaun. 

Singkat kata, kehidupanku saat itu sesempurna mimpi.

Tapi seperti mimpi lainnya, aku harus terbangun.

Bermula setelah pesta ulang tahun sekaligus debutante pertamaku di usia tujuh belas tahun. 

Pertama kalinya aku melepas amulet dari Nenek dan meletakkannya di laci.

Ibu membelikanku sebuah kalung dengan bandul dari batu safir. Warnanya serasi dengan warna mataku sekaligus gaun yang kupakai.

Pesta itu dihadiri teman-temanku, kolega dan kerabat dari keluargaku.

Bukan rahasia umum, bahwa ini juga menandakan bahwa aku sedang mencari calon suami.

Usiaku sudah dianggap cukup untuk membangun rumah tangga.

Ayah mengenalkanku dengan beberapa kandidat yang tentu saja memiliki hubungan dengan koleganya. Beberapa dari mereka sedikit menarik perhatianku karena paras mereka.

Tapi hanya itu saja.

Tidak ada yang benar-benar kusukai.

Pesta berakhir beberapa menit sebelum tengah malam.

Aku kelelahan karena berdansa lebih dari sepuluh lagu. Kakiku seolah-olah bisa patah kapan saja. Sepatu hak tinggi yang kupakai hanya memperparah nyeri di kedua tumitku.

Aku melepas gaun dan berganti dengan piyama. Kulepas kalung itu dan kembali memasang amulet pemberian Nenek.

Kupandangi pantulan diri di cermin dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Nenek sekarang.

Mungkin usianya sudah delapan puluhan.

Aku yakin sekali ia masih hidup dengan  sehat. Aneh sekali membayangkan beliau sakit.

Nenek memiliki tubuh dan stamina yang kuat. Beliau masih sanggup menebang kayu dan mencari makanan di hutan. Sejauh yang kuingat ia tak pernah memakan daging. Mungkin karena itulah, hewan-hewan di hutan menghormatinya. 

Aku pernah melihatnya duduk di pinggir sungai bersama seekor beruang besar bewarna cokelat. 

Nenek memberikan setoples madu dan beruang itu menjilatinya dengan rakus. Beliau mengajaknya berbincang tapi beruang itu nampak sibuk dengan makan siangnya. 

Saat toples itu bersih, beruang itu menggeram sekali dan pergi begitu saja. 

Barulah, aku yang bersembunyi di semak belukar berani mendekatinya.

Aku mencium batu hijau itu dan naik ke ranjang.

Begitu pagi tiba, aku benar-benar terkejut.

Masih dengan gaun tidurku, aku terduduk di tanah yang keras. 

Tempat yang harusnya adalah kamarku berubah menjadi hutan lebat. 

Lebih lebat dari hutan di kampung halamanku.

Pohonnya begitu rapat hingga aku tak bisa melihat apa yang ada didepan. Entah jalan setapak atau tepi juranglah yang menyambutku di depan.

Terik matahari tertutup dedaunan rimbun sehingga tak terasa menyengat kulit.

Kakiku terasa aneh saat menginjak tanah yang kasar dan keras.

"Ayah? Ibu?" Aku memanggil mereka tapi tak kudengar apapun selain  gema suaraku sendiri.

Jantungku berdebar dengan kencang. Kuingatkan diriku agar tidak panik dan mulai berpikir alasan yang logis kenapa aku bisa berakhir di hutan ini.

Tapi tak ada hal yang bisa kupikirkan.

Untuk menambah masalah yang kuhadapi, perutku tanpa rasa malu berbunyi pelan. Aku mengutuk diriku yang masih bisa merasakan kelaparan di saat seperti ini.

Jadi kuputuskan untuk mencari makan dan sekaligus jalan keluar dari hutan ini.

Tapi belum sempat aku melangkah, gelombang kepanikan menyerangku. Terdengar suara langkah yang menginjak dedaunan kering dan menerobos pepohonan.

Manusiakah itu?

Atau hewan buas?

Jangan-jangan sebelum aku sempat menemukan makanan, ia akan menjadikanku sarapan paginya.

Tapi kepanikan itu berubah menjadi kelegaan saat pemilik langkah itu muncul dari balik pepohonan.

Seorang laki-laki seumuran denganku. Wajahnya putih dengan rambut hitam dan mata hijau gelap. Ada bintik-bintik di kedua pipinya.

Seketika aku mengenalinya.

Kami jelas tak pernah bertemu. Tapi aku mengenalnya begitu saja. Karena dia adalah bagian masa kecilku.Tokoh utama dari dongeng yang diceritakan nenekku.

Dia adalah Maxwell Ignatius De Albertine, pangeran terkutuk yang dibuang keluarganya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status