Share

4

Maxwell mengangkat sebelah alisnya saat aku menyeruput sisa sup kentang buatannya dari mulut mangkuk.

Entah karena lapar atau dia memang pandai memasak, tapi rasa supnya enak sekali. Aku bahkan tak menolak saat ia menuangkan sisa sup dari panci kepadaku.

"Kau tak bisa terus menggunakan mantel tua itu."

Aku mengangguk. Kali ini setelah menghabiskan dua mangkuk sup, perutku takkan berulah lagi. "Sebelum itu, tolong jelaskan alasan kenapa kau ingin tapi tidak jadi membunuhku?"

"Maafkan aku. Tapi ayahku, Raja Albertine, sering mengirim mata-mata ataupun pembunuh bayaran untukku. Kupikir kau adalah salah satunya. Tapi, ternyata kau utusan penyihir suci."

"Siapa yang kau maksud penyihir suci? Jujur saja, aku memang tidak tahu bagaimana bisa ada di tempat ini. Tapi yang jelas, aku bukanlah utusan siapapun."

"Dari mana kau dapatkan kalung itu?"

"Ini hadiah perpisahan dari Nenek. Tapi benda ini bisa saja dibeli di pasar atau malah seseorang memberikannya pada nenekku. Yang jelas, aku bukan utusan penyihir suci."

"Nenekmu orang seperti apa?"

Aku menjelaskan semua hal tentang nenekku kecuali dongeng-dongennya.

Entah kenapa aku tak ingin menceritakkannya.

"Kurasa bukan Penyihir Suci. Dari yang kudengar, ia tak menikah. Apalagi memilik seorang cucu."

"Kau tak pernah bertemu dengannya?"

"Pernah saat usiaku lima tahun. Ia mengunjungiku untuk memberikan berkat. Tapi seluruh wajahnya tertutup cadar."

Aku mencoba mengingat kembali dongeng yang di ceritakan Nenek mengenai Maxwell. Cerita itu hanya bisa kuingat secara samar.

Saat Maxwell lahir, seorang ratu dari salah satu kerajaan yang dihancurkan oleh Raja Albertine memberikan kutukan tersebut kepada keturunannya sehingga ia takkan memiliki pewaris. Hal ini membuat raja mengadopsi keponakannya dan membuang Maxwell.

Tanpa sepengetahuan raja, Ibu Maxwell, Ratu Augusta Margarite de Albertine, menyuruh seorang dayang untuk menyelamatkannya dan Maxwell pun ia asuh seperti anak sendiri.

Sayangnya, entah bagaimana Raja mengetahui hal itu.

Ia mengasingkan ratu di pulau terpencil dan mulai memburu Maxwell.

Mereka lalu hidup berpindah-pindah menghindari bahaya.

Lalu saat ia menginjak umur sepuluh tahun, dayang tersebut meninggal. Maxwell yang sebatang kara itu berniat mematahkan kutukannya dan berencana hidup normal.

"Kau adalah utusan yang ketujuh."

"Maaf? Apa?"

"Setelah kematian Ibu, setiap tahun penyihir suci mengirimkan seseorang untuk membantuku."

"Darimana kau tahu kalau mereka dari penyihir itu?"

"Saat memberikan berkat kepadaku. Dia memberiku pesan bahwa utusan dengan cahaya suci akan membantuku."

Kalau begitu, cahaya yang keluar dari amulet ini...

Berarti kedatanganku kesini adalah untuk membantu Maxwell memecahkan kutukannya? Jadi, aku bisa mengetahui akhir cerita tersebut!

"Tidak perlu." Kata Maxwell seolah ia bisa menebak apa yang kupikirkan. "Aku sudah menyerah. Terakhir kali Raja Albertine mengirim orang suruhannya sekitar dua tahun yang lalu. Mungkin mereka memberi laporan bahwa aku telah mati atau semacamnya. Yang jelas, hidupku sudah tenang. Aku sudah menerima kutukan ini sebagai bagian dari hidupku."

"Tidak bisa! Kau harus bebas dari kutukanmu lalu menikah dengan seorang puteri dari kerajaan yang makmur. Lalu kalian hidup bahagia selama-lamanya."

Itulah adalah akhir paling cocok untuk seorang pangeran.

"Abby. Semua anak perempuan adalah seorang puteri bagi keluarganya. Entah dia bangsawan atau bukan, bagiku semua sama."

"Kau sudah punya gadis yang kusukai?"

Maxwell menyilangkan lengan, "Ada beberapa kucing betina yang menarik perhatianku."

"Kau tidak serius, kan?"

"Aku ini manusia separuh kucing. Jadi, pertanyaanmu kurang spesifik."

"Maksudku gadis manusia."

"Tidak ada. Maksudku, belum. Tapi kalaupun ada. Aku tak yakin mereka mau menikah dengan orang sepertiku. Itu adalah bagian dari kutukan tersebut. Tapi setidaknya, aku mungkin bisa memiliki selusin anak kucing yang lucu."

"Dan kau ingin membangun sebuah kerajaan dengan anak-anak kucing itu? Kau tahu tidak? Bisa saja kucing-kucing itu tidak hamil karenamu. Mereka bisa saja hamil dengan kucing lain tapi tetap memintamu bertanggung jawab!"

Maxwell meringis, "Maaf, aku tidak tahu kalau ini tidak lucu untukmu."

"Setidaknya berjuanglah lebih keras, Maxwell."

"Maksudmu, untuk melucu?"

"Untuk seluruh kehidupanmu!" Jawabku gemas. "Kau adalah manusia asli. Tidak seorang pun yang bisa mengubahnya. Karena itu, kau seharusnya berusaha lebih keras untuk mematahkan kutukannya."

Maxwell menatapku tanpa berkedip, "Kau tidak ingin menanyakan nasib keenam utusan penyihir suci sebelumnya? Mereka mati, Abby. Mereka semua mati konyol hanya untuk membantu orang yang bahkan tidak mereka kenal. Akan lebih baik jika aku mengantarmu pulang ke rumah. Kau berkumpul dengan keluargamu dan aku bisa menjalani kehidupanku lagi." 

"Aku bukan utusan penyihir suci! Aku tahu pasti soal itu. Jadi aku tidak akan mati semudah itu."

Maxwell menghela nafas dan beranjak dari kursinya. "Ayo kita pergi sekarang."

Aku mengekorinya, "Kemana?"

"Mencari pakaian yang pantas untukmu."

"Kau punya uang?" Aku tidak bermaksud merendahkan atau semacamnya.

Maxwell tinggal di pondok kecil yang terbuat dari kayu dan anyaman jerami sebagai atapnya. Di dalamnya hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur yang merangkap sebagai ruang tamu.

Dan sama sekali tidak barang berharga di sini. Aku bahkan tak menemukan potret ibunya di manapun.

"Ada." Jawabnya singkat sambil menutup pintu di belakangku.

"Dari mana?" Tanyaku sambil berjalan mengikutinya.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Hutan ini tidak selebat sebelumnya. Kebanyakan ditumbuhi pohon pinus juga tanaman buah berry liar. Sinar matahari kini terasa lebih bersahabat. Kuduga sekarang mungkin bahkan belum tengah hari.

"Aku menjual apa saja yang aku temukan di hutan ini."

"Kau berburu disini?"

Maxwell menggeleng, "Mereka adalah  pemilik hutan ini. Aku tak ingin mengusiknya. Bagaimanapun aku hanyalah tamu di sini. Jadi, aku mencari kayu bakar ataupun buah-buahan."

"Kau bukannya sudah lama tinggal disini?"

"Baru empat bulan. Aku selalu mencari tempat yang lebih hangat sebelum musim dingin tiba."

"Kenapa?" Kami berhenti saat sampai di pinggir sungai. Beruntungnya, ada beberapa batu besar sebagai pijakan.

"Pegang tanganku. Disini agak licin." Katanya sambil menawarkan tangannya. Aku mengenggamnya dan merasakan telapak tangannya yang kasar. Tapi ada sesuatu dalam genggamannya yang membuatku merasa tenang. "Jalan perlahan saja, ya."

"Kau belum menjawab pertanyaanku."  

"Musim dingin membuat matahari tenggelam lebih cepat dan malam terasa lebih lama dari musim lainnya. Aku tak menyukainya." 

Kami sudah sampai di seberang sungai. Sayup-sayup aku bisa mendengar keramaian. Sepertinya kami akan segera sampai di pasar.

"Keluargamu pasti mengkhawatirkanmu." Kata Maxwell kepadaku. Ia memunggungiku jadi aku tak bisa melihat ekspresinya.

Lalu terbayang wajah orang tuaku yang panik karena tak menemukanku di kamar. Kakakku akan memeriksa semua teman-temanku. Keluargaku mungkin akan menghubungi petugas keamanan dan melaporkan kehilanganku.

Besar kemungkinan, mereka telah mencetak fotoku dengan tulisan 'Dicari Orang Hilang' dan menyebarkannya ke media massa di seluruh benua. Belum-belum aku telah merindukan mereka.

Aku hampir mengatakan hal tersebut tapi urung saat melihat punggung Maxwell yang nampak kesepian.

Tak bisa kubayangkan apa saja yang telah ia lewati selama ini. Dibuang keluarganya, dikejar para pembunuh bayaran, ibu asuhnya meninggal dan semua utusan penyihir suci mati di depannya.

Sebuah keajaiban bahwa ia masih hidup dengan baik dan tetap menjaga kewarasannya.

Seandainya aku menjadi Maxwell, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Hidup sebagai manusia di pagi hari dan kucing saat malam.

Tubuhku mendadak menggigil membayangkan Maxwell dan selusin anak kucing. Aku sama sekali tak memiliki masalah dengan kucing. Hanya saja membayangkan dia dan kucing-kucing betina itu..

Tidak.. Tidak.. Maxwell tak mungkin melakukan hal itu!

Memang aku harus melakukan ini! Pertemuan ini telah ditakdirkan karena suatu hal. Yaitu mematahkan kutukannya. Bagaimanapun ia harus memiliki anak-anak manusia!

Kalau seandainya misi ini memakan waktu beberapa minggu, orang tuaku pasti takkan keberatan.

Tapi dari mana kami harus mulai? 

"Kau tahu cara mematahkan kutukan ini?"

"Entahlah."

"Kau tidak menemukan petunjuk apapun? Bahkan bersama para utusan penyihir suci?"

Dia berbalik dan menatapku lekat- lekat. Mata hijaunya terlihat menakutkan, "Kupikir kita sudah sepakat, Abby. Kau harus segera pulang! Anggap saja kita tak pernah bertemu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status