Share

3

"Nona mengenal saya?" Tanyanya dengan dahi berkerut. Dia membungkuk sedikit sebelum melanjutkan, "Maaf atas ketidaksopanannya, tapi saya tidak yakin pernah menemui anda sebelumnya."

Aku tergagap. Sepertinya tanpa sadar  aku mengucapkan namanya keras-keras.

"Aku.. aku.. sebenarnya.."

Kruyuk!

Perutku kali ini berbunyi sangat keras. Membuatku sangat malu. Tapi Maxwell tidak menampakkan emosi apapun.

Ia memandangku dari ujung rambut sampai kaki lalu melepaskan mantel hitam panjang yang dipakainya.

Ia masih memakai kemeja biru gelap berlengan panjang dan celana  panjang cokelat tua. Sarung pedangnya bertengger di pinggul sebelah kirinya.

"Sepertinya anda lebih membutuhkan ini dari saya. Dahan dan ranting bisa melukai lengan anda."

Aku menerima mantel tersebut dan segera memakainya. "Terima kasih."

Ia lalu melepas kedua sepatu bots warna kulitnya dan menaruhnya di depan kakiku.

Tentu saja aku menolaknya."Tidak perlu seperti ini."

"Saya tak bisa membiarkan seorang perempuan bertelanjang kaki, Nona..."

"Abigail Montlace. Panggil saja Abby."

Mata Maxwell berkedip sekali. "Saya tidak yakin bisa memanggil nama depan anda, Nona Montlace."

"Tidak. Tidak apa-apa. Saya sama sekali tidak keberatan."

"Baiklah kalau begitu, Nona Mon, ehem, Abby. Anda kelihatannya mengenal  saya jadi saya tidak perlu memperkenalkan diri. Mohon ikuti langkah saya setelah anda memakai sepatu itu."

Segera kupakai sepatu yang sudah pasti kebesaran untuk kakiku. Secara mengejutkan, aku tak mencium bau keringat. Baik dari mantel atau sepatunya. Sepertinya itu adalah kelebihan yang hanya dimiliki laki-laki tampan.

"Aku sudah selesai, Maxwell."

Alisnya naik sebelah dan kalaupun ia keberatan, ia tak menampakkan apapun di wajahnya.

Maxwell mulai berjalan dan aku mengikutinya.

Beberapa kali wajahku tertampar dahan dan ranting tapi kutahan diri agar tidak mengeluh. 

"Bagaimana anda bisa sampai di sini, Nona Abby?" Tanyanya.

Oh iya! Bagaimana bisa aku lupa?

Aku kan sedang berada di hutan antah berantah. Rumahku mungkin berada ribuan kilometer dari sini. Bagaimana aku bisa lupa betapa mendesaknya situasiku saat ini?

Dasar gila!

Mungkin karena bertemu Maxwell jadi aku tidak begitu panik. Bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang familiar di tempat yang asing membuatku agak tenang. 

Walaupun tentu saja, Maxwell tidak merasakan hal yang sama denganku.  

"Saya tidak tahu. Tiba-tiba terbangun begitu saja di sini. Oh, tolong panggil Abby saja. Sepertinya kita seumuran."

Ia meliriku sebentar lalu mengalihkan pandangan ke depan. "Begitu, kah?"

Ada jeda sebentar sebelum dia bertanya lagi. "Anda berasal dari kerajaan mana? Bagaimana bisa anda mengenal saya?"

Aku terdiam dan bertanya-tanya apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mana bisa kubilang kalau aku mendengarnya dari dongeng yang diciptakan Nenek?

Kecuali...

Kecuali semua dongeng itu benar adanya. 

Kemudian semuanya masuk akal. Pantas saja, Nenek tidak bisa memberitahukan akhir cerita itu. Dan itu berarti... "Apakah anda belum lepas dari kutukan tersebut?"

Kali ini langkah Maxwell berhenti. Seperempat detik kemudian ia mencabut pedang dan mengarahkannya ke daguku.

Secara otomatis, aku mengangkat kedua tanganku sebagai tanda bahwa aku tak bersenjata.

"Siapa kau sebenarnya, Abigail Montlace?" Suaranya mendadak dingin dan ia tak lagi bicara formal padaku. "Apa Raja Albertine yang mengirimmu? Aku tahu sekarang. Ini trik baru. Mengirim gadis yang kelihatannya tidak berdaya lalu mencoba menjebakku. Kalau begitu, komplotanmu bersembunyi di sekitar sini. Mereka menungguku lengah. Begitu, kan?"

"Tidak. Kau salah paham!"

Tapi Maxwell kelihatannya tidak tertarik pada penjelasanku dan bersiap menyerangku.

Lalu terjadi sesuatu yang ajaib saat pedang itu nyaris menggores leherku.  Amulet yang kupakai tiba-tiba keluar dari balik mantel dan memancarkan cahaya putih yang menyilaukan.

Dalam dua detik yang membutakan mata, amulet itu kembali bertengger di leherku. Warna batunya yang tadinya hijau berubah menjadi putih bersih seperti mutiara.

Aku tak mengerti apa yang terjadi.  Tapi Maxwell segera mengembalikan  pedang itu ke tempatnya semula.

"Jadi, kau utusan penyihir suci?"

Apa dia bilang? Penyihir apa?

Wajah Maxwel mengendur. "Kenapa tidak mengatakannya sejak awal?"

Aku ingin bertanya tapi perutku bersuara lebih dulu.Membuatku lebih frustasi dari sebelumnya.

Aku memang lapar. Tapi tidak selapar itu! Kalau hanya berjalan selama satu atau dua jam, aku masih sanggup!

Untuk pertama kalinya, aku melihat senyum kecil bertengger di wajah lelaki itu. "Kurasa kita harus mengurus perutmu dulu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status