Perjalanan menuju Tusban telah dimulai. Atau setidaknya begitu.
Kami meninggalkan rumah si tetua setelah sarapan.Dia sepertinya benar-benar tak ingin merenovasi dindingnya yang hancur tersebut.
Max dan aku bukannya menolak ingin membantu. Tapi kami tak bisa melakukan apapun.
Meski begitu, sepanjang perjalanan ini, Max menggerutu dan terus mengataiku sebagai penyihir tanpa hati.
Kubiarkan saja dia. Ini bukan pertama kalinya ia mengataiku macam-macam. Dan juga, sihir, yang masih belum kukuasai dengan benar ini, lebih mumpuni untuk menghancurkan sesuatu ketimbang memperbaiki.
Max menatap langit saat kami berada di area terluar perbatasan hutan timur.
"Ternyata sudah tengah hari. Perasaanku saja atau kita memang berjalan lebih cepat dari sebelumnya?"
Aku membungkuk agak dalam ke arah pegunungan bersalju yang baru kulewati. "Terima kasih, Dewi Fa
"Jadi, ini yang kau bilang keren?" Tanyaku di atas batang pohon.Iya, benar. Max duduk di sebelahku yang memegangi batang pohon besar dengan erat.Lengah sedikit, riwayatku pasti tamat akibat jatuh dari ketinggian sepuluh meter."Dari sini pemandangannya sangat keren bukan. Lagipula, kita bisa melihat keadaan kota." Katanya sambil memegangi dahan pohon yang didudukinya. "Ah, lihat! Ada di sana! Sepertinya masih aman." "Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan monster-monster yang ada di bawah kita? Aku bukan pecinta ketinggian, dasar sial!" Kupikir Max akan mengalahkan kumpulan ogre itu dalam sekali sabetan. Tapi aku salah, dia memang menyerang beberapa dari mereka.Setelah dua menit mengayunkan pedang, Max mengangkat tubuhku dan menaruhku di pundaknya sebelum mulai berlari secepat kilat meninggalkan para ogre tersebut.Tidak berhenti disitu, ia
Max mengusap dahinya yang penuh keringat sebelum memanggil namaku. "Abby, kau baik-baik saja? Kenapa diam saja?""Maaf, aku nyaris ketiduran." Max menyeringai saat menyadari kesinisan dalam nada bicaraku. "Sepertinya aku terlalu bersemangat. Sini, berjalanlah di dekatku. Aku masih bisa mencium bau mereka dalam sepersekian meter." Aku mengangguk dan memutuskan untuk fokus pada jalan yang kulalui. Mayat-mayat Ogre bersimpah darah jatuh berserakan di atas tanah. Baru beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang aneh pada mereka. "Apa benda hijau di balik lengan mereka ini?" Alis lelaki itu naik sebelah, "Benda hijau?" "Seperti kancing." Kataku sambil mengangguk. Max menggunakan pedangnya untuk menyetuh bagian tubuh yang kumaksud. Untungnya ia masih memakai sarung tangan hitam saat meraih kancing bulat bewarna
Namaku Abigail Montlace. Semua orang memanggilku Abigail atau si bungsu dari keluarga Montlace.Tapi nenekku memanggilku Abby. Aku sangat menyukai nama itu. Sebenarnya aku menyukai apa saja yang dikatakan nenek.Beliau adalah pendongeng yang hebat. Cara penyampaiannya benar-benar bagus seolah semua dongeng yang diceritakan adalah kisah nyata.Tapi ada sebuah cerita yang paling kusukai yaitu mengenai Pangeran Maxwell.Pangeran malang itu dibuang oleh keluarganya karena sebuah kutukan yang menjadikannya seekor kucing saat matahari tenggelam. Ia akan kembali menjadi manusia saat lewat tengah malam.Dan hanya cerita itu saja yang tidak kuketahui akhirnya.Pernah suatu ketika aku menanyakan hal itu. Kalau tidak salah, saat usiaku masih tujuh tahun.Nenek dengan senyum hangatnya, menjawab bahwa ia masih belum menemukan akhir cerita yang pantas untuk pangeran Maxwell."Jadi, Nenek membuatnya sendiri?""Tentu saja tidak, Abby. Angin yang memberitahu
Dengan perasaan malu, aku harus mengakui kalau ucapan Nenek memang ada benarnya.Sesampainya di kota, aku nyaris melupakannya kalau tak ada amulet yang selalu bergantung di leherku.Kota ini benar-benar menyita perhatianku seolah ada aura magis yang menyelubunginya.Dulu, kami tinggal di desa terpencil di hutan. Jauh dari tetangga maupun keramaian.Di kota ini, jalan-jalan begitu ramai. Banyak toko yang menjual barang-barang yang asing bagiku.Boneka, gaun, perhiasan, sepatu, bahkan sampai makanan.Gedung-gedung dengan kaca mengkilap menjulang tinggi dan kereta kuda yang terparkir di depannya. Aku tak pernah melihat kereta kuda sebanyak itu.Jalannnya dibuat dari batu-batu berwarna kelabu sehingga saat hujan tiba, aku tidak akan menemui genangan air atau lumpur yang bisa merusak sepatuku.Oh, juga lampu-lampu di jalan yang menerangi saat malam tiba terlihat seperti parade kunang-kunang.Semuanya begitu indah.Kami tinggal di rumah yang cukup be
"Nona mengenal saya?" Tanyanya dengan dahi berkerut. Dia membungkuk sedikit sebelum melanjutkan, "Maaf atas ketidaksopanannya, tapi saya tidak yakin pernah menemui anda sebelumnya."Aku tergagap. Sepertinya tanpa sadar aku mengucapkan namanya keras-keras."Aku.. aku.. sebenarnya.."Kruyuk!Perutku kali ini berbunyi sangat keras. Membuatku sangat malu. Tapi Maxwell tidak menampakkan emosi apapun.Ia memandangku dari ujung rambut sampai kaki lalu melepaskan mantel hitam panjang yang dipakainya.Ia masih memakai kemeja biru gelap berlengan panjang dan celana panjang cokelat tua. Sarung pedangnya bertengger di pinggul sebelah kirinya."Sepertinya anda lebih membutuhkan ini dari saya. Dahan dan ranting bisa melukai lengan anda."Aku menerima mantel tersebut dan segera memakainya. "Terima kasih."Ia lalu melepas kedua sepatu bots warna kulitnya dan menaruhnya di depan kakiku.Tentu saja aku menolaknya."Tidak perlu seperti i
Maxwell mengangkat sebelah alisnya saat aku menyeruput sisa sup kentang buatannya dari mulut mangkuk.Entah karena lapar atau dia memang pandai memasak, tapi rasa supnya enak sekali. Aku bahkan tak menolak saat ia menuangkan sisa sup dari panci kepadaku."Kau tak bisa terus menggunakan mantel tua itu."Aku mengangguk. Kali ini setelah menghabiskan dua mangkuk sup, perutku takkan berulah lagi. "Sebelum itu, tolong jelaskan alasan kenapa kau ingin tapi tidak jadi membunuhku?""Maafkan aku. Tapi ayahku, Raja Albertine, sering mengirim mata-mata ataupun pembunuh bayaran untukku. Kupikir kau adalah salah satunya. Tapi, ternyata kau utusan penyihir suci.""Siapa yang kau maksud penyihir suci? Jujur saja, aku memang tidak tahu bagaimana bisa ada di tempat ini. Tapi yang jelas, aku bukanlah utusan siapapun.""Dari mana kau dapatkan kalung itu?""Ini hadiah perpisahan dari Nenek. Tapi benda ini bisa saja dibeli di pasar atau malah seseorang memberikannya pa
Entah dari mana aku mendapatkan keberanian itu, tapi tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya. "Maxwell Ignatius de Albertine, aku sudah bertekad agar kau bisa menikah dengan seorang gadis manusia dan memiliki anak-anak manusia juga. Kau harus hidup bahagia dan terbebas dari kutukan sialan itu lagi.""Maxwell Knightwood, itu nama yang kupakai sekarang." Ia menepis tanganku dan merapikan kerah bajunya. "Kenapa kau terobsesi sekali dengan hal itu? Aku sudah bahagia. Sekarang yang terpenting, kau harus pulang. Keluargamu pasti sudah menunggumu.""Kau benar. Keluargaku pasti sudah menungguku. Karena itu mari kita patahkan kutukannya sekarang juga. Agar aku bisa pulang dengan nyaman. Anggaplah ini sebagai balas budi karena kau menyelamatkanku.""Balas budi?" Maxwell nampak tertegun dengan ucapan itu. "Aku menolongmu karena itu adalah hal yang benar.""Tapi tak semua orang melakukan hal yang benar. Kebanyakan hanya melakukan hal yang mudah. Kau bisa membiarkanku mati
Maxwell nampak aneh. Sejak kejadian itu, lelaki itu selalu nampak sedang berpikir keras.Berkali-kali ia menanyakan pertanyaan yang sama."Apakah kau benar-benar memegang liontin tersebut?"Kami sedang menerobos hutan. Sesekali, ia menggunakan pedang untuk menebas ranting dan daun-daun yang menghalangi langkah kami.Jalan yang kali ini kami lewati berbeda dengan yang kami lalui untuk pergi ke pasar. Maxwel tidak menjawab saat kutanya mengenai kemana sebenarnya tujuan kami.Ia sepertinya sedang tak berminat untuk bicara. Jadi, aku berhenti mencoba.Jam makan siang sudah terlewat. Tapi kami masih berada dalam hutan.Malahan kalau bisa kubilang, kami hanya berjalan berputar-putar.Aku mengisi botol minuman untuk ketiga kalinya saat kami melewati sungai."Kau tidak haus?"Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab dan terus berjalan. Sambil menghela nafas berat, aku mengikutinya lagi dengan langkah lebar."B