Share

Merasa Jengah

Sejak mendapat salam dari laki-laki bernama Galang, Kinar memang suka senyum-senyum sendiri. Namun, bukan berarti dia telah merasakan jatuh cinta. Lebih tepatnya ia hanya mengagumi sosok tampan itu.

Jengah. Hampir tiap hari ia menghadiri acara resepsi pernikahan. Dari teman semasa sekolah, teman kerja hingga anak dari rekan kerja ayahnya. Hal itu membuat Kinar menjadi bumerang.

Kinar masih berdiri di depan cermin untuk memastikan tampilannya agar terlihat sempurna. Kali ini, atasan kebaya berbahan brokat warna merah marun dipadu padankan dengan bawahan rok batik belahan samping, membalut tubuh rampingnya. Fix! Tampilan Kinar telah paripurna saat akan menghadiri resepsi pernikahan sepupunya.

"Ish, males sebenarnya! Mana besok mesti meeting sama Pak Ghani, lagi!" dengus Kinar kesal.

Kinar lantas kembali menatap cermin, menyelipkan rambut yang ia biarkan terurai itu ke belakang telinga, agar tidak menutupi sebagian wajahnya. Sesaat kemudian melangkah ke luar kamar, menemui bapak, ibu dan juga adiknya yang telah siap berangkat menuju acara resepsi anak sang paman.

"Wah, Mbak Kinar cantik banget, lho, Mbak," ujar Dayu menatap takjub.

"Idih lebay!" ketus Kinar bernada bercanda.

"Bener yang dibilang adikmu itu, Kinar! Kamu cantik malam ini. Ibu doakan nanti ada yang naksir di sana!" timpal sang ibu kemudian.

"Udah deh, Bu, stop! Kalau Ibu gini terus, malah Kinar gak mau berangkat, lho!" balas Kinar yang jengah tiap kali sang ibu membahas soal jodoh, jodoh dan jodoh.

"Gak gitu maksud, Ibu, Nar," ujar Widya sedikit melunak agar anak gadisnya itu tidak ngambek.

Tin! Tin!

Bunyi klakson kendaraan roda empat yang dikemudikan sang ayah berbunyi, menandakan agar Kinar, ibunya dan juga sang adik agar segera naik.

"Bu, jangan lupa kunci pintunya!" seru Ridwan lagi kepada Widya.

Kinar dan Dayu lebih dulu beriringan menaiki mobil, disusul sang ibu.

Kendaraan roda empat itu kemudian melaju meninggalkan rumah. Menembus jalanan menuju acara resepsi pernikahan sepupu Kinar.

Kinar yang duduk persis di belakang jok ibunya, menoleh menatap ke luar jendela kaca mobil. Jalanan tampak lengang dan gelap karena minim lampu penerangan jalan. Gadis dua puluh dua tahun itu menghela napas panjang. Ia merasakan begitu jengah. Apalagi, Kinar telah memprediksi apa yang bakalan terjadi nanti begitu berada di tempat resepsi pernikahan sepupunya itu.

"Pelan-pelan aja, deh, Pak. Jalanan sini ini memang gelap. Masih untung sekarang, ya, Pak, gak ada begal. Kalau jaman dulu, kan, ngeri!" ujar Widya yang mengeluh jalanan tampak gelap.

"Bentar lagi sampe, kan, Bu?" sela Kinar sambil menyentuh lengan sang ibu dari belakang.

"Iya. Tuh, jalan depan sana itu nanti belok, udah sampe deh!" sahut Widya kemudian sambil menoleh sejenak.

"Suara musiknya juga udah kedengeran, kan, Mbak? Kupingku salah gak, sih?" celetuk Dayu.

"Aturan calon suamimu ikut, lho, Yu," timpal Kinar.

"Dia gak bisa, Mbak. Lagi ke luar kota."

Tak terasa mobil yang dikemudikan Ridwan berhenti saat  beberapa orang berusaha menghentikan, agar meletakkan aman mobil di tempat parkir yang telah disediakan. Kinar lantas turun dari mobil diikuti Dayu dan juga ibunya.

"Tunggu Bapak dulu aja, deh, Bu! Jadi, kita bareng-bareng jalan kaki ke sananya!" usul Kinar yang melihat ibunya seakan-akan sudah tidak sabar menuju tempat resepsi.

"Iya juga, ya, Nar," sahut ibunya yang tampak malu-malu.

Tak berapa lama, Ridwan telah menghampiri keluarganya, kemudian jalan bersama menuju tempat resepsi yang telah padat tamu undangan. Paman Kinar sebagai sang empunya hajat menyulap halaman rumahnya menjadi tempat resepsi yang lumayan mewah. 

Kinar menatap sekeliling di tengah-tengah padatnya tamu undangan yang telah duduk. Tenda panjang dengan hiasan rumbai-rumbai perpaduan warna putih dan keemasan menambah elegan tempat resepsi pernikahan sepupunya itu. Sejenak, Kinar membayangkan jika dirinya menjadi pengantin.

"Hei, Mbak Kinar! Baru datang juga?"

"Astaga, Lin, kamu, kok, bisa sampe sini juga? Jangan-jangan pacarmu, teman pengantin laki-lakinya, ya?" sahut Kinar.

"Idih ngaco, Mbak Kinar! Kayla, kan, teman aku waktu SMP, Mbak!"

"Oh ya?"

"Iya, Mbak. Ya udah, deh aku duduk dekat Mbak Kinar aja. Biar ada temen ngobrol juga, Mbak. Dayu, ikut juga, Mbak?"

"Ikut. Tapi, mungkin duduk dekat Ibu, kali?"

Kinar yang bertemu rekan sekantornya lantas duduk berdampingan. Prosesi adat pengantin telah dimulai. Kinar berusaha menyaksikan prosesi demi prosesi acara pengantin tersebut.

"Mbak Kinar! Mbak, kenal cowok yang duduk di sebelah sana itu, gak, sih?" tanya Linda sambil menyentuh lengan Kinar yang sedang serius menatap ke arah pengantin.

"Siapa? Yang mana?" 

"Itu, Mbak! Yang pake kemeja lengan panjang warna coklat. Aku gak kenal, tapi dari tadi liat terus ke arah sini, trus kayak nunjuk-nunjuk, Mbak Kinar, gitu, deh!"

Kinar mengarahkan pandangannya lalu tercengang melihat Galang. Laki-laki itu yang menitipkan salam untuk dirinya saat menghadiri acara pertunangan Marisa saat itu. Ia ternyata juga hadir di acara resepsi pernikahan sepupu Kinar tersebut.

"Mbak Kinar, kenal?" tanya Linda.

"Untuk ngobrol dan tatap muka, sih belum. Cuma, pernah tau cowok itu, sih."

"Pantes aja, dari tadi, tuh, ngliatin ke sini terus, Mbak. Kayaknya naksir, Mbak Kinar, tuh. Ayuk, Mbak gaet aja! Ganteng, lho."

"Ah, kamu!"

Kinar menyela ucapan Linda, padahal dalam batinnya berbunga-bunga. Sekilas ia melirik ke arah laki-laki yang dimaksud. Kinar tersipu malu, wajahnya merona seketika saat pandangannya bersirobok dan mendapat balasan senyum serta lambaian tangan dari Galang.

Tak terasa resepsi telah berakhir. Sang pengantin diarak menuju jalan untuk bersalaman dengan para tamu yang beranjak pulang. Sedangkan Kinar masih duduk di tempatnya, menanti bapak, ibu dan juga adiknya yang belum ketahuan duduk di sebelah mana.

Ia melongok ke arah jam yang membelit pergelangan tangannya. Batinnya sedikit risau ingin segera pulang karena harus menyiapkan keperluan meeting untuk atasannya, besok.

Kinar beranjak dari duduk, kemudian berjalan menuju rumah sang paman. Ia mencari keberadaan ayahnya yang hendak diajaknya pulang.

"Pak, masih lama?" bisik Kinar bertanya pada ayahnya yang sedang asyik mengobrol. Di situ juga ada ibunya. Sedangkan Dayu tampak asyik mengobrol dengan sepupunya yang lain.

Resepsi pernikahan sang sepupu memang menjadi ajang silaturahmi keluarga besar sanak saudara Kinar.

"Bentar, Kinar. Bapak gak enak, kan, sama pamanmu kalau buru-buru pulang?" sahut sang ayah membuat Kinar kesal.

"Kinar besok kerja, Pak. Mana mesti nyiapin keperluan meeting Pak Ghani!" cicit Kinar yang telah sewot sejak tadi.

"Ya udah, kamu pamit dulu sama keluarga pamanmu dan tunggu di depan sana!" seru sang ayah kemudian.

***

Kinar semakin kesal saja karena sang ayah tak juga muncul. Padahal telah lima belas menit ia menunggu. Sebentar-sebentar pandangannya tertuju pada rumah sepupunya.

"Kinar! Kamu beneran, Kinar, kan?" 

Kinar tersentak saat tiba-tiba Galang menyapanya. Jantungnya seketika berdegup kencang dan ia merasakan gugup. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah saking kagetnya.

"I-iya, benar. Kenapa, ya?"

"Ayo, aku antar pulang!"

"Maaf. Aku lagi nunggu Bapak, kok. Rasanya gak perlu, deh, Mas," tolak Kinar sambil tersenyum tipis dan kedua tangannya menelungkup di depan dada.

"Kata suami Kayla aku disuruh nganter kamu, lho?"

"Ah, mungkin Mas Galang salah orang, kali, ya," balas Kinar.

"Coba, deh, kamu tanya sama Pras! Soalnya, dia tadi bilang minta tolong sama aku, suruh nganterin pulang kakak sepupu Kayla, tadi bilangnya," terang Galang.

"Oke. Aku tanya dulu ke sana, ya?"

Galang tampak mengangguk. Kinar lantas membalikkan badan, melangkah pelan menuju rumah pamannya. Ia ingin memastikan kebenaran ucapan Galang. Bagi Kinar, dirinya harus lebih berhati-hati sebagai wanita. Jaman sekarang banyak modus yang digunakan laki-laki untuk mendekati mangsanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status