Share

Korban Modus

Hari-hari berlalu, Kinar masih pada aktivitas rutinnya bekerja. Jam dinding kantor hampir mendekatinya jam pulang. Beruntung, laporan harian telah selesai dikerjakan Kinar, dan tinggal menghadap pimpinan saja. Kinar juga menatap sang teman yang juga telah selesai membuat laporan. Jadi nanti keduanya bisa menghadap sang pimpinan secara bersamaan.

Kinar beranjak dari ruangan menuju toilet untuk merapikan wajah, berdandan sebelum menuju ruangan sang pimpinan. Dengan cepat, ia pun kembali ke ruangannya lagi.

"Wah, udah cantik aja. Kamu ini sempat-sempatnya, mau pulang aja, dandan dulu?" celetuk Linda.

"Iya dong."

"Tapi menurutku, Mbak Kinar tuh, gak guna dandan, kalau ada cowok yang dekat-dekat tapi malah ditolak tanpa ba-bi-bu," ujar Linda kemudian terkekeh.

Kinar tak menyahut. Keduanya lantas menuju ruang pimpinan. Usai menyerahkan laporan harian tentang kinerja promosi beberapa tujuan wisata yang diadakan di kantor tour and travel tempatnya bekerja, Kinar keluar ruangan. Tentu saja bersama Linda, sang rekan kerja.

"Kinar! Ada yang nyari kamu, tuh!" teriak seorang satpam wanita saat Kinar menuju gerbang.

"Siapa?" sahut Kinar.

"Cowok pokoknya. Orangnya ganteng, lho."

"Siapa, ya? Kayaknya aku gak minta dijemput sama cowok manapun, tuh," kilah Kinar sambil berusaha mengingat.

Kinar masih berdiri dan mencoba memutar memori, akan tetapi tak menemukan jawaban tentang cowok yang menjemputnya. Sedangkan sang satpam wanita telah berlalu dari pandangannya.

"Hei, bengong? Ayuk buruan keluar, takut ketinggalan bis!" Linda menyenggol lengan Kinar yang tampak berdiri mematung.

Silau. Bias mentari yang telah bergeser ke ufuk barat menyilaukan pandangan, saat Kinar melangkah keluar menuju gerbang kantor.

Dengan tangan kanan menahan silau dan tangan kiri digandeng Linda, ia segera berjalan menuju halte bis.

"Kinar!" teriak seorang laki-laki. Sontak, gadis itu menoleh ke arah suara lelaki yang memanggilnya. Sejenak, ia mengernyitkan dahi sambil mengamati lelaki ber-helm yang berdiri hanya beberapa meter di hadapannya itu. 

"Ish manyun! Kalo aku ada yang jemput gitu, seneng deh. Apalagi cowok seganteng dia." Linda menggoda sekaligus menyindir seraya menyenggol lengan Kinar dengan sikut.

"Bodo amat!" pekik Kinar memasang muka kesal, karena lelaki di hadapannya itu tak lain adalah Galang.

Dengan wajah tersenyum, Galang menghampiri Kinar yang masih berdiri di luar gerbang kantor.

"Mendingan gak usah naik bis. Biar aku yang nganter kamu pulang," ujar Galang begitu berada di hadapan Kinar dengan jarak yang sangat dekat.

"Gak, ah! Siapa juga yang nyuruh jemput?" tolak Kinar.

"Inisiatif aku sendiri, Nar," balas laki-laki itu.

"Baiklah, terima kasih. Tapi maaf, lebih enak naik bis deh." Kinar benar-benar menolak sambil tersenyum walaupun terlihat hambar.

"Ya udah. Meskipun kamu gak mau, aku tau apa yang harus kulakukan," sahut Galang dengan wajah pasrah. 

Kinar lantas mengabaikan ucapan laki-laki itu. Ia bergegas menyusul Linda yang lebih dulu berjalan menuju halte.

"Dasar modus! Kapok rasanya dari dulu jadi korban modus. Gak lagi, deh!" gerutu Kinar dalam batin.

Bis sudah berhenti, saat Kinar tiba di halte. Ia segera menyusul Linda yang telah naik duluan. Kini, Galang tampak tak putus harapan dan memilih mengikuti gadis itu dengan mengendarai motor.

"Songong amat sih, Mbak Kinar. Gak kasihan apa? Udah dibela-belain dijemput, eh Mbak Kinar malah  gak mau." Linda lagi-lagi protes atas sikap Kinar memperlakukan Galang.

"Aku gak songong, cuma jaga diri aja. Jaman sekarang banyak modus, cowok ngedeketin cewek," dalih Kinar.

"Gak tertarik sama gantengnya?" tanya Linda yang wajahnya tampak menyesalkan sikap Kinar terhadap cowok tersebut.

"Mau makan gantengnya apa?!" ketus Kinar.

"Sayang, lho!" sindir Linda.

"Norak!" ketus Kinar lagi.

Sesekali Kinar menoleh ke belakang, dan Galang pun tampak masih saja membuntuti bis.

"Kasihan. Dia masih ngikutin, tau!" celetuk sang teman membuat Kinar diam-diam merasa kesal.

"Lah, biarin," sahutnya tak ambil pusing.

"Awas nyesel lho, nanti. Apalagi Mbak Kinar kan, udah mau ditinggal adik nikah, kan?" singgung Linda membuat emosi Kinar semakin naik, tetapi ia masih sanggup meredamnya.

"Apa hubungannya?" sergah Kinar yang tak terima karena rekan kerjanya seakan-akan membela tindakan Galang.

Kinar menoleh ke arah jendela bagian kanan, sekelebat pandangannya tertuju pada Galang yang menyalip bis. Padahal sebentar lagi ia dan Linda sampai di tempat pemberhentian. Punggung Galang mulai menghilang menembus jalanan. 

"Biarin aja deh! Mau dia marah, jengkel, kesel sama aku. Bodo amat!" gumam Kinar dalam batin. Ia menghela napas kasar.

Bis pun berhenti tepat di tempat biasa. Ia dan Linda turun beriringan. Berjalan dengan Linda menuju rumah melewati jalan setapak yang di kanan dan kirinya hamparan sawah yang sangat luas. Sejenak pemandangan itu menghilangkan rasa penat Kinar usai bekerja dan rasa kesalnya akibat Galang yang tiba-tiba datang menjemput di kantor. Padahal, sebelum-sebelumnya saat laki-laki itu beberapa kali main ke rumahnya, Kinar telah memasang wajah judes begitu menemuinya. Namun ternyata, sikap gadis itu tak membuat Galang patah arang.

Kinar pun berpisah dengan Linda di pertigaan jalan. Kemudian ia berjalan sendirian menuju rumah. Bayangan wajah Galang yang kecewa saat ditolak tadi melintas di pelupuk mata Kinar.

"Ah, bodo amat!" gumamnya lagi berusaha menyingkirkan rasa kasihan.

"Datang kerja, kok, cemberut gitu, Nar?" tegur sang ibu yang berpapasan dengannya di teras saat menyajikan secangkir kopi di meja.

"Gak pa pa, Bu."

Kinar terpaksa berbohong membalas tanya ibunya sembari meletakkan sepatu di rak yang terletak di sudut teras. Ia bergegas menuju kamar, tetapi langkah ibunya terdengar sedang membuntuti dirinya.

"Ada masalah di kantor?" tanya Widya.

"Gak ada, Bu. Ibu tenang aja, Kinar cuma capek aja, kok," sahutnya.

"Ya udah kalau gitu. Buruan mandi, biar capeknya ilang. Siapa tau ada Arjuna yang ngapelin anak Ibu," canda Widya sambil tersenyum. 

Kinar tak lantas mengindahkan nasihat ibunya yang disertai gurauan itu. Justru dengan santainya, ia merebahkan badan di kasur sambil membayangkan wajah Galang yang kelihatan sorot matanya sangat kecewa, tadi.

Selama ini, ia memang agak jutek dengan cowok. Apalagi dengan Galang yang baru saja dikenalnya. Bukan karena apa, patah hati berkali-kali itu membuat Kinar sakit hati begitu dalam. Ia lantas tidak ingin mudah berharap terhadap laki-laki. 

Saat ini bagi Kinar bukan waktunya berharap lagi, melainkan ia ingin mewujudkan harapan. Jadi, ia harus benar-benar memilih laki-laki yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup.

Trauma yang menderanya seakan-akan telah mendarah daging sehingga Kinar terkadang lebih memilih menutup hati ketimbang harus tersakiti.

"Buruan cari jodoh, Kinar! Ibu sudah gak tahan lagi dengan omongan tetangga." Ucapan sang ibu tiba-tiba terngiang di telinga Kinar. Seketika batinnya berdenyut nyeri. 

Pantaskah di saat Kinar baru berusia dua puluh dua tahun tetapi dibilang perawan tak laku?

Kinar menghela napas kasar. Dia ingin sekali membalas ucapan-ucapan nyinyir tetangga dan siapapun yang mengatainya, tetapi batin kecilnya tak mau melakukan itu. Kinar merasa buang-buang energi  menanggapi hal tak bermanfaat seperti itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status