Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
"Kinar! Pokoknya, Ibu gak mau tau! Kamu harus cepetan cari jodoh. Adikmu itu udah dilamar, Kinar ...!" ujar Widya begitu memasuki kamar anak gadisnya. Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu baru saja menerima calon besan dari adiknya Kinar."Kenapa, Ibu jadi sewot gini, sih, Bu? Lah, biarin aja Dayu menikah duluan, orang dia udah dapet jodoh, kok," sahut Kinar yang merasa kesal karena ibunya terus saja mengintimidasi dirinya."Gak begitu, Kinar! Pamali kalau kamu sampe dilangkahi sama adikmu. Apalagi, Ibu, tuh, ya ... pusing dengerin tetangga yang bilang kamu perawan tak laku-laku," jelas sang ibu membuat Kinar diam-diam semakin kesal."Ibu gak usah gubris omongan orang, Bu. Nanti kalau waktunya udah tepat, pasti Kinar juga dapat jodoh, Bu. Ibu, tenang aja, deh!""Pokoknya Ibu pengen kudu kamu yang duluan nikah. Jangan sampe kamu dilangkahi adikmu, Kinar!" pekik ibunya lagi. Sesaat kemudian Widya keluar dari kamar Kinar dengan wajah bersungut-sungut.Kinar merebahkan badan di
Sejak mendapat salam dari laki-laki bernama Galang, Kinar memang suka senyum-senyum sendiri. Namun, bukan berarti dia telah merasakan jatuh cinta. Lebih tepatnya ia hanya mengagumi sosok tampan itu.Jengah. Hampir tiap hari ia menghadiri acara resepsi pernikahan. Dari teman semasa sekolah, teman kerja hingga anak dari rekan kerja ayahnya. Hal itu membuat Kinar menjadi bumerang.Kinar masih berdiri di depan cermin untuk memastikan tampilannya agar terlihat sempurna. Kali ini, atasan kebaya berbahan brokat warna merah marun dipadu padankan dengan bawahan rok batik belahan samping, membalut tubuh rampingnya. Fix! Tampilan Kinar telah paripurna saat akan menghadiri resepsi pernikahan sepupunya."Ish, males sebenarnya! Mana besok mesti meeting sama Pak Ghani, lagi!" dengus Kinar kesal.Kinar lantas kembali menatap cermin, menyelipkan rambut yang ia biarkan terurai itu ke belakang telinga, agar tidak menutupi sebagian wajahnya. Sesaat kemudian melangkah ke luar kamar, menemui bapak, ibu dan
Kinar dengan cepat menemui Galang lagi yang masih berada di tepi jalan depan tempat resepsi. Laki-laki itu tersenyum menatap Kinar yang makin mendekat."Tebakanku pasti bener, kan?" "Ternyata iya, Mas. Bapakku yang tadi meminta tolong sama suaminya Kayla.""Ya udah. Sekarang kamu tunggu di sini, aku mau ambil motor dulu. Oke?""Siap."Kinar mengangguk, kemudian tersenyum menatap punggung atletis milik Galang yang terbalut kemeja lengan panjang itu. Tempat parkir yang lumayan dekat dari tempat resepsi, membuat Galang yang telah mengendarai motor dengan cepat menghampiri Kinar lagi."Ayo naik!"Kinar masih terpaku sambil salah tingkah menatap motor sport yang dikendarai Galang. Gadis itu merasa kikuk, karena kebingungan untuk naik dengan keadaan jok belakang yang menungging. Padahal Kinar mengenakan rok panjang dengan belahan samping."Gimana naiknya, ya, Mas?""Bonceng cewek aja!" seru Galang sambil tersenyum ke arah Kinar yang masih tampak bingung.Kinar lantas berusaha untuk naik di