Share

BAB 1

Kael mulai gelisah menunggu di sebuah Cafe seorang diri. Beberapa kali laki-laki berusia awal dua puluh tahun itu mengarahkan pandangannya ke arah pintu masuk. Sudah setengah jam dia duduk ditemani secangkir latte panas dan dua buku akademik yang menjadi bacaannya karena menunggu seseorang yang seharusnya sudah bersamanya.

Kael melihat ponselnya untuk memeriksa pesan yang masuk dari seseorang bernama Chea. Pesan terakhir dari seseorang yang tidak menggunakan foto sebagai profil W******p-nya itu mengabarkan bahwa dia akan terlambat lima menit. Tapi, Kael sudah menunggunya selama empat puluh menit jam.

Dan masalah profil W******p yang tidak ada gambarnya. Ada dua kemungkinan. Pertama, gadis yang akan menjadi muridnya memang tidak memasang foto untuk profilnya. Kedua, nomor Kael memang sengaja tidak dia simpan sehingga Kael tidak akan mengetahui wajah muridnya itu.

Salah satu teman semasa SMA-nya menawarkan untuk menjadi tutor pribadi seorang anak SMA bernama Chea. Temannya juga memberi informasi bahwa Chea merupakan siswi SMA dari sekolah termana di Jakarta. Ayahnya merupakan dokter spesialis di Jakarta dan tentunya dia akan mengikuti jejak sang Ayah. Sayangnya, nilai akademis Chea tidak mendukung sehingga Ayahnya mencarikan tutor untuk Chea. Mengejutkannya lagi, gadis yang kata teman Kael memiliki paras cantik itu suka membuat ulah agar tutornya tidak betah. Sudah hampir tujuh kali dalam enam bulan termasuk teman Kael yang mengundurkan diri sebagai tutor. Entah karena tidak betah dengan perilaku kurang ajar Chea atau karena nilai Chea yang tidak meningkat sehingga Ayah Chea harus mengganti mereka.

“Kael bukan, ya?”

Kael mengarahkan pandangannya ke asal suara itu. Seorang siswi SMA mengenakan seragam dengan rok dan dasi bermotif kotak-kotak biru tua dipadukan dengan kemeja lengan panjang putih yang digulung dengan rompi cream sudah berdiri di hadapan Kael.

Dia pun mengangguk, “Chea?” Kael balik bertanya.

Chea tidak menjawab pertanyaan Kael dan lantas duduk di kursi yang kosong.

“Kamu terlambat setengah jam lebih sepuluh menit dari kesepakatan kita,” ucap Kael sembari melihat jam ditangannya.

Temannya sudah memberi pesan untuk tidak terlalu bersikap baik kepada gadis itu.

“Sorry. Aku nggak tahu kalo jalannya macet.” Chea menyandarkan punggungnya dan mulai asyik dengan ponselnya.

“Sejak kapan Jakarta nggak macet?” sindir Kael.

Chea mengangkat tangannya kepada salah satu waiters, “Aku juga harus pesen sesuatu, kan?”

“Silakan!”

Chea mulai membuka buku menu yang diberikan oleh waiters, “Lemon tea dan Spagetti satu,” kata Chea lalu menutup buku menunya dan mengembalikan kepada pria yang mengenkaan kaos kerah merah dengan celemek hitam yang terikat dipinggangnya.

“Bisa kita mulai?” tanya Kael.

“Sabar kenapa sih. Aku laper mau makan.”

“Sambil nunggu kenapa kita nggak mulai aja? Menghemat waktu kita kan?”

“Aku nggak bisa mikir kalo perut laper. Nggak bisa fokus. Santai aja dulu.”

Kael menarik nafasnya agar rasa kesal yang mulai muncul dalam dirinya hilang. Dia sudah diberitahu oleh temannya bahwa Chea akan membuat dia kesal karena sikapnya agar Kael tidak betah menjadi tutornya dan dia tidak boleh menyerah. Kael membutuhkan pekerjaan ini sehingga dia harus bertahan setidaknya satu bulan.

Tidak! Tidak sebulan tapi sampai dia bisa membuat Chea masuk ke Fakultas Kedokteran di UI. Pak Cakra sudah berjanji saat mereka bertemu tiga hari lalu. Beliau akan memberikan bonus dua kali lipat dari upah Kael mengajari Chea jika Chea berhasil masuk ke Fakultas Kedokteran UI.

###

Chea dengan santai menikmati makan siangnya yang terlambat. Pukul setengah tiga sore memang sudah bukan lagi disebut makan siang. Gadis yang memiliki poni di kepalanya itu memang sengaja makan di saat dia bertemu dengan tutor pribadinya. Dia juga sengaja datang terlambat dan membuat Kael menunggu.

Cerita sebenarnya, dia sudah datang lebih dulu di Cafe. Lima menit lebih awal dari Kael. Dia lantas mengirimkan pesan kepada Kael memberi kabar bahwa dia akan terlambat lima menit. Setelah itu, dia mengamati Kael diam-diam berharap Kael tak betah menunggunya dan membatalkan les mereka hari ini. Tapi dia salah mengira.

“Udah selesai makannya?” tanya Kael setelah Chea menghabiskan spagetti pesanannya.

“Nggak liat kalo habis?” Chea lekas meminum lemon tea.

Kael melihat jamnya lagi. Entah sudah berapa kali laki-laki yang mengenakan kaos putih dipadukan dengan kemeja biru laut melihat jam tangannya selama Chea mengamatinya.

“Tinggal dua puluh menit waktu kita.”

Chea berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan senangnya karena puas sudah membuang waktu tujuh puluh menit mereka.

“Hari pertama saya nggak akan langsung kasih materi. Saya akan kasih tau rulles selama kita les.”

Mendadak perasaan Chea merasa tidak enak mendengar suara Kael yang terdengar tegas dan membuat sekitar Chea menjadi dingin. Tapi, Chea berusaha untuk tetap tenang di depan Kael.

“Kalo kamu terlambat atau buat saya menunggu. Jam les kita akan bertambah. Misalkan aja sekarang, kamu udah buat saya nunggu selama hampir satu jam lebih sepuluh menit. Itu artinya, kita akan tambah waktu les kita dengan waktu yang sama.”

“Loh kok gitu? Kan kita udah sepakat kalo selesai setengah empat.”

“Itu kalo kamu datang tepat waktu.”

“Terus kalo kamu yang telat?”

“Saya akan terima risikonya dengan nggak akan ngeganti jam yang udah saya lewati tapi kamu harus ingat kalo saya nggak pernah terlambat. Kalo misal nggak bisa datang tolong kasih kabar maksimal satu jam sebelumnya dan nanti kita akan ganti di hari lain. Mulai lusa usahain untuk makan dulu sebelum ketemu saya.”

Chea menatap tak percaya dengan tutor barunya. Dia sadar bahwa tutornya kali ini bukan orang yang mudah menyerah, “Kamu dapat bayaran berapa sih sampai harus berlebihan kayak gini? Oh .. aku tahu. Kamu butuh uang kan? Kalo gitu kita pura-pura untuk tetap les selama sebulan. Gimana? Kamu dapet untung kan?”

Tentu saja tawaran Chea tidak akan ditolak. Kapan lagi Kael akan mendapatkan gaji tanpa harus mengajari Chea belajar meski hanya sebulan. Ini bukan kali pertama Chea menawarkan kesepakatan ini dan mantan tutornya entah yang mana menerima tawaran Chea.

“Saya lebih tertarik dengan kesepakatan yang Pak Cakra tawarkan daripada tawaran kamu. Jadi, bantu saya supaya saya bisa memenuhi kesepakatan itu. Paham?!”

Chea menahan kekesalannya ketika Kael menolak mentah-mentah yang dia tawarkan. Dan kesepakatan Ayah? Chea tidak tahu bahwa antara Ayah dan Kael membuat kesepakatan. Jika tawaran Chea ditolak itu artinya uang yang Ayah tawarkan dalam kesepakatan itu jauh lebih besar dari gaji yang Kael terima.

Sialan!

###

Tidak ada yang menyambut kepulangan Chea meski dia belum pulang terlalu malam. Sejak Ibu meninggal lima tahun lalu, rumah memang mulai berubah sepi setiap Chea pulang ke rumah. Ayah yang masih sibuk di Rumah Sakit hampir membuat ia tidak bisa menemuinya setiap hari. Pulang saat larut malam dan tidur seharian jika kebagian shift malam dan akan bangun saat akan berangkat lagi ke Rumah Sakit.

Makan malam? Chea bahkan tidak nafsu makan saat tahu bahwa dia akan menikmati makan malamnya sendirian. Andai dia memiliki saudara, dia tidak akan sesepi ini jika berada di rumah. Dia menyesal pernah mengatakan tidak ingin memiliki adik hanya karena takut kasih sayang orang tuanya terbagi. Dia tak menyangka orang tuanya akan menuruti permintaannya begitu saja.

Suara kunci dibuka terdengar dari dalam. Chea menoleh ke pintu dan mendapati Ayah pulang dengan keadaan lusuh dan tampak lelah. Kemejanya satu keluar dan satu dimasukkan. Dasinya sudah berpindah di genggaman tangan Ayah.

“Baru pulang kamu?” tanya Ayah saat melihat Chea masih mengenakan seragam sekolahnya tanpa sepatu karena sudah dia lepas usai masuk.

“Iya. Ayah udah makan?”

“Kamu belum makan?”

“Belum.”

“Kalo gitu makanlah!” Ayah mengeluarkan dompetnya dan memerikan dua lembar uang seratus ribu kepada Chea, “Beli makan untuk kamu!”

“Ayah?”

“Ayah mau istirahat aja. Ayah capek.” Ayah beralih ke dapur yang berada di belakang Ayah.

Rumah mereka memang tidak luas. Dapur, ruang makan dan ruang tengah menjadi satu. Dua kamar dengan satu kamar mandi. Setelah Ibu meninggal, mereka memutuskan untuk pindah dari rumah mewah berlantai dua ke rumah yang lebih kecil karena merasa hidup berdua tidak perlu rumah mewah.

“Les kamu gimana hari ini?”

Chea memutar bola matanya. Jika dia mengeluh tentang sikap Kael kepada Ayah itu akan menjadi boomerang untuknya, “Lancar.”

“Jangan ganti tutor lagi! Dia anak terpintar semasa SMA bahkan dapat beasiswa masuk ke Fakultas Kedokteran di UI.” Beliau nampak berpikir setelah mengambil gelas, “Ayah nggak ngerti kenapa dia justru nolak beasiswa itu. Nggak ada seberuntung dia. Ayah bahkan mengulang sampai dua kali untuk bisa dapetin beasiswa itu.” Ayah meneguk air putih yang sudah Ayah tuangkan dalam gelas.

“Ayah ...-”

Ayah menatap Chea dengan tatapan tanya sambil menaruh gelasnya di atas meja, “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?”

Aku nggak mau masuk ke Fakultas Kedokteran.

Chea menggeleng.

Sejak kecil, Ayah memang sudah mendoktrinnya agar menjadi sepertinya meski Ibu selalu meminta Ayah untuk tidak memaksakan kehendaknya dan membiarkan Chea memilih apa yang dia inginkan. Nilai sekolah Chea memang bagus. Dia tergolong anak yang cerdas di sekolah sehingga Ayah yakin Chea bisa menjadi sepertinya tapi empat tahun terakhir nilai Chea menjadi turun karena Chea sengaja membuat nilainya menjadi jelek. Dia ingin Ayah tahu bahwa dia tidak berminat menjadi seperti Ayah. Sayangnya, Ayah justru mendaftarkan Chea ke sebuah bimbel dan ketika Chea naik kelas 3 merekrut tutor pribadi.

###

Suasana pagi di rumah Chea memang berbeda dengan suasana pagi di rumah lainnya. Tidak ada kehangatan yang terjadi antara Chea dan Ayah saat mereka duduk bersama menikmati sereal yang menjadi menu sarapan mereka. Chea akui Ayah memang tipe laki-laki kaku yang jarang sekali berbicara. Sejak Ibu meninggal, suasana rumah memang berbeda 180 derajat sebab sosok Ibulah yang membuat suasana pagi menjadi berwarna.

“Kamu nggak lupa kan acara makan malam nanti?” tanya Ayah.

“Nggak kok, Yah. Kita mau berangkat bareng?”

“Nggak. Ayah akan berangkat dari Rumah Sakit. Kamu naik taksi aja nanti kita ketemu di Restoran.” Ayah lekas menengguk habis air putihnya.

“Iya, Yah.”

Beliau lekas berdiri dan tak lupa menenteng tas kerjanya, “Ayah berangkat dulu.”

Chea mencium tangan Ayah.

Ayah berjalan menuju pintu sementara Chea memilih untuk membereskan meja makan.

“Chea.” Ayah memanggil namanya dengan nada yang serius.

Chea berpaling menatap Ayah yang sudah berdiri di depan pintu mungkin jarak Ayah dan pintu hanya enam puluh sentimeter saja.

“Selamat ulang tahun, Nak.”

Chea tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca mendengar ucapan singkat yang tulus dari Ayah. Dia tahu betul Ayah memang tak pandai mengekspresikan perasaannya, “Makasih, Yah.”

Chea menarik nafas dan menghemuskan secara perlahan. Cara yang dia lakukan agar tidak menangis dimomen bahagianya.

Hari ini Chea genap berusia tujuh belas tahun. Tidak ada perayaan spesial karena Chea memang tidak suka itu. Dia lebih suka menghabiskan hari spesialnya bersama orang tersayang. Rencananya, dia dan Ayah akan makan malam di luar untuk merayakan hari spesialnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status