Share

BAB 2

Restoran Askara. Salah satu tempat makan yang rasanya tidak kalah jika dibandingkan dengan Restoran bintang lima sekalipun. Letaknya berada di daerah perkantoran di kawasan Jakarta. Banyak kalangan yang datang baik pegawai kantoran bahkan mahasiswa di saat makan siang seperti sekarang atau makan malam.

Sebenarnya, Restoran Askara memang lebih pantas disebut dengan tempat makan jika dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya kuota pengunjung yang baru bisa menampung dua belas orang saja. Jam operasionalnya pun dibagi dua yaitu pagi jam sembilan sampai jam dua siang dan malam jam empat sore hingga sembilan malam. Karyawannya juga belum terlalu banyak yaitu tidak lebih dari sepuluh orang yang dibagi dua shift setiap harinya.

Bu Nur si pemilik bisnis tersebut memberikan kata Restoran untuk nama bisnisnya karena memiliki harapan jika suatu hari, usaha yang beliau rintis dapat menjadi besar dan terkenal seperti Restoran-Restoran pada umumnya.

Kael bekerja di tempat makan tersebut selama hampir empat tahun. Bisa juga dikatakan sejak Restoran Askara berdiri dengan posisi sebagai waiters.

“Argh! Akhirnya.” Kael duduk sambil meluruskan kedua kakinya saat tak ada pengunjung yang datang setelah Fatih membalik papan di depan dari BUKA menjadi TUTUP.

Siang ini, mereka tutup satu jam lebih cepat dari biasanya.

“Gue habis ini mau mandi langsung tidur,” ucap Fatih lalu menggeleng, “Nggak-nggak! Gue mau langsung tidur. Gila! Capek banget gue.” Fatih meralat ucapannya.

“Lo hari ini mau ikut anak-anak nongkrong nggak?”

“Nggak. Gue ada manggung entar malem,” jawab Kael yang melepaskan celemek di pinggangnya.

Kael tidak hanya melakukan satu pekerjaan tapi tiga pekerjaan. Pertama bekerja di Restoran Aksara, manggung di sebuah Cafe-Cafe atau Restoran di malam hari saat tidak bekerja di Restoran Aksara dan menjadi tutor Chea setiap empat dalam seminggu. Tidak jarang dia juga akan mejadi pengiring band jika ada konser musik. Hal itu dia lakukan untuk memenuhi kebutuhannya hidupnya yang sebatang kara.

Ayahnya sudah meninggal ketika Kael berusia enam bulan sementara Ibunya meninggal saat Kael berusia enam belas tahun. Selama setahun dia hidup di Panti Asuhan karena keluarga besar dari pihak Ibu dan Ayah tidak bisa merawatnya karena kesulitan ekonomi. Setelah lulus SMA, Kael harus mulai bekerja di Restoran Bu Nur mantan Ibu BK di SMA yang mulai membuka Restoran setelah pensiun.

“Lo jangan terlalu forsir diri lo buat kerja. Sekali-kali nikmatin hidup!”

“Manggung juga cara gue nikmatin hidup.”

“Terus gimana sama tes lo kemarin?”

“Bulan depan pengumumannya.”

Kael memang mengambil semua kesempatan di depan matanya jika menyangkut tentang impiannya menjad musisi. Belum lama ini, dia mencoba peruntungan dengan mengikuti seleksi beasiswa sebuah Yayasan ternama di Jakarta yang sedang mencari calon musisi untuk dibiayai kuliah di luar negeri. Kael berharap dia mendapatkan beasiswa itu sehingga bisa melanjutkan kuliah dan mengejar impiannya di negeri orang.

###

Malam pun tiba.

Chea sudah berada di sebuah Restoran Italia tempat Ayah melakukan reservasi untuk makan malam mereka. Dress polos merah jambu menjadi pakaian yang Chea pilih di hari bahagianya. Kado dari Tante Monic, adik Ayah yang tinggal di Singapura dan baru tiba siang tadi. Dia lekas mengenakannya karena ingin mengenakan pakaian baru di hari spesialnya.

Sayangnya, Chea harus bersabar menunggu Ayah datang. Sekitar empat puluh menit lalu, Ayah mengirimkan pesan bahwa akan terlambat datang karena masih bertemu dengan pasien. Chea beralasan bahwa dia masih di rumah agar Ayah tidak terburu-buru menyelesaikan pekerjaannya meski sebenarnya dia sudah berada di taksi.

Ponsel Chea berdering. Telpon dari Ayah yang membuat perasaannya berubah tidak enak.

Semoga bukan kabar buruk.

“Halo, Yah?”

“Chea, kamu udah di Restoran?”

“Kenapa emangnya?” tanya Chea enggan menjawab pertanyaan Ayah.

“Ayah minta maaf nggak bisa datang. Ada operasi mendadak. Kalo kamu udah di sana kamu makan sendirian aja tapi kalo masih di rumah, kamu nggak perlu pergi. Kamu di mana?”

Chea menghela nafas. Dia tahu situasi seperti ini sering terjadi setiap akan pergi dengan Ayah tapi meski begitu, Chea masih saja merasa kecewa terlebih hari ini adalah hari ulang tahunnya.

“Chea? Kamu denger Ayah?” suara diseberang telepon menyadarkan Chea.

“Denger kok. Terus Ayah pulang jam berapa?” Masih enggan memberitahu posisinya berada.

“Ayah akan usahain pulang cepet. Kamu di mana sekarang, Nak?”

“Kalo gitu ya udah, Yah. Ayah kan harus siap-siap untuk operasi, sampai ketemu di rumah,” ucapnya dengan menahan tangis.

Chea menjatuhkan ponselnya dengan lunglai. Dia memandang kue ulang dihadapannya. Seharusnya malam ini, Chea meniupkan lilin ulang tahun bersama Ayah bukan sendirian seperti sekarang.

Harusnya aku nggak terlalu berharap banyak.

Chea berdecak lidah saat menghapus air matanya. Dia tidak ingin menangis di hari ulang tahunnya. Tapi, air matanya tak selaras dengan keinginannya.

Alunan piano terdengar memainkan melodi lagu sedih yang membuat Chea tak bisa lagi menahan tangisnya. Kedua tangannya berada di atas meja dan menutupi wajah cantiknya. Dia akhirnya menangis.

###

“Chea?” Kael menghampiri meja makan Chea.

Beberapa menit lalu, dia sudah mengamati kedatangan Chea. Dia memang tidak berniat menghampiri Chea karena tidak ingin mengganggu waktu Chea yang seperti akan makan malam dengan seseorang. Entah siapa seseorang itu mungkin Pak Cakra, Ayah Chea atau kekasih Chea yang tidak kunjung datang.

Wajah Chea yang dari diselimuti senyum, cemas, berubah menjadi sedih usai menerima telpon dari seseorang. Tak lama Chea pun menangis di saat dia mulai memainkan sebuah lagu untuk para pengunjung Restoran.

Gadis itu memandang Kael dengan deraian air mata, “Ka-el?” ucapnya yang mulai terisak dan menghapus air matanya.

“Kamu kenapa di sini sendirian? Dan nangis lagi.” Kael menarik kursi dan duduk disamping Chea.

Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan kemarin, Kael mencemaskan Chea saat melihat gadis itu menangis sendirian.

Kael melirik kue ulang tahun di meja Chea. Dia kembali menatap Chea dengan iba. Kael mulai menebak dalam pikirannya bahwa seseorang yang seharusnya merayakan ulang tahun bersama Chea telah membatalkan janjinya.

Kael refleks menghapus air mata di kedua pipi Chea, “Udah jangan nangis. Masak yang ulang tahun nangis sih.”

Tapi yang terjadi, tangis Chea justru kembali pecah membuat Kael bingung. Dia memandang sekelilingnya dan mendapati tatapan para pengunjung serta waiters di Restoran melihat ke arah mereka dengan berkasak-kusuk. Kael mencoba menjelaskan dengan menggoyangkan tangannya bahwa Chea menangis bukan karena dia.

“Chea, jangan nangis dong!” Memegang dagu Chea agar dapat melihat wajah gadis itu.

Gadis itu menatapnya dengan sorot matanya seperti seekor kucing yang kehilangan induknya dan meminta untuk dibawa pulang karena merasa takut sendirian.

Tangan Kael bergerak dengan sendirinya menyibakan rambut Chea dan menghapus air mata Chea. Gadis itu kembali membuatnya terkejut karena menghambur dalam pelukannya secara tiba-tiba.

“Tiga menit aja. Aku cuman butuh tiga menit untuk nenangin diri aku.”

Kael tidak merespon ucapan Chea. Dia juga tidak berniat melepaskan pelukan Chea. Tangan Kael justru kembali bergerak menyentuh punggung Chea dan menepuknya. Dia mendengar Chea kembali terisak.

###

Sepanjang perjalanan baik Kael ataupun gadis itu hanya diam duduk di kursi belakang taksi. Ya. Kael mengantarkan Chea pulang dengan taksi. Transportasi umum yang hampir tidak pernah dia gunakan sepanjang hidupnya karena ongkosnya yang mahal. Dia tidak mungkin mengantarkan Chea dengan KRL atau Busway karena tidak ingin membuat Chea merasa tidak nyaman. Pertama kalinya, dia memikirkan kenyamanan orang lain dibandingkan keadaan dompetnya.

Kael melirik ke samping kanannya. Chea duduk bersandar di jendela mobil dengan tatapan mata kosong. Rasa penasaran Kael muncul tentang siapa yang membuat Chea menangis di hari ulang tahunnya. Pak Cakra atau kekasihnya? Meski Kael tidak yakin jika sepasang anak muda yang menjalin kasih akan makan malam ditempat mewah yang bahkan Kael sendiri pun tidak akan bisa mengajak gadis yang dicintainya nanti makan malam di sana.

Kalau bicara tentang seorang gadis. Dia hampir tidak pernah berpikir akan menjalin hubungan dengan seorang gadis dalam waktu dekat. Fokusnya hanya satu meraih impiannya sebagai musisi.

“Aku bisa pulang sendiri. Nggak perlu harus anterin aku,” ucap Chea tanpa menoleh kepadanya.

Kael menatap Chea yang tak menatapnya, “Saya nggak yakin biarin kamu pulang sendiri dengan keadaan kamu sekarang.”

“Tapi dari mana kamu tahu malam ini aku ulang tahun?”

“Kue ulang tahun di meja tadi. Hari ini bukan ulang tahun kamu?”

Oh ... mungkin pacarnya yang ulang tahun.

“Ngenes ya? Di hari spesial aku, Ayah aku justru milih pekerjaan dia dibandingkan rayain ulang tahun anaknya. Keadaan darurat. Operasi dadakan. Emang dokter yang ada di Rumah Sakit itu cuman dia doang?”

Kael hanya memperhatikan Chea yang berusaha tersenyum meski raut sedih diwajahnya masih menghiasi.

“Jangan seperti itu! Ayahmu kerja juga buat kamu. Saya rasa kamu akan ngerti gimana tanggung jawab beliau sebagai dokter setelah kamu mengikuti jejak Ayahmu itu.”

Chea membenarkan posisi duduknya. Dia tidak lagi bersandar pada jendela mobil, “Aku nggak mau jadi dokter. Jadi, jangan terlalu berharap kalo kamu bisa buat aku diterima di Fakultas Kedokteran sesuai dengan Ayahku mau.”

Kael menatap Chea. Dia mulai tertarik dengan pembicaraan Chea. Setidaknya, dia ingin tahu alasan Chea tidak ingin menjadi seperti yang Pak Cakra inginkan. Mencari akar permasalahan untuk memecahkan masalahnya adalah hal yang harus Kael lakukan.

“Kenapa emangnya?”

###

Pertama kalinya, ada seseorang yang bertanya kepada dirinya saat tahu dia tidak ingin menjadi dokter seperti Ayah. Mendiang Ibu bahkan tidak bertanya saat Chea membicarakan tentang keinginan Ayah kepadanya. Beliau hanya mengatakan akan membantu Chea berbicara kepada Ayah agar Ayah memahami bahwa dia tidak ingin menjadi dokter.

Chea menatap ke depan. Sebuah kenangan ketika dia masih kecil mendadak hadir dalam benaknya seperti sebuah cuplikan film. Malam itu atau lebih tepatnya hampir setiap malam, ia melihat Ibu ketiduran di sofa karena menunggu Ayah pulang. Setiap pagi, Ibu harus kecewa karena Ayah tidak menyentuh sarapan yang Ibu buatkan bahkan bekal makan siang pun tak tersentuh dengan alasan Ayah tidak memiliki waktu untuk menikmatinya. Paling menyedihkan di saat Ibu berjuang melawan sakitnya, Ayah masih sibuk dengan pekerjaan itu dan membiarkan dia sendirian melepas kepergian Ibu.

“Karena jadi dokter itu bikin capek dan nggak ada waktu buat keluarga. Aku nggak mau keluarga aku nanti harus merasa kesepian karena aku yang harus kerja terus di Rumah Sakit.”

Rasa sesak yang selama ini ada dalam dada Chea seakan hilang setelah dia mengatakan alasan yang tidak bisa dia katakan kepada siapapun. Air matanya kembali menetes tapi Chea lekas menghapusnya. Dia mengalihkan pandangannya untuk memandang ke luar jendela. Sudah cukup Kael melihatnya menangis malam ini. Tidak untuk ketiga kalinya.

“Mas, Mbak udah sampai,” celetuk sopir taksi.

Dia dan Kael pun keluar secara bersamaan melalui pintu yang berbeda. Taksi biru itu pun melaju meninggalkan mereka.

“Makasih udah anterin aku pulang.”

Kael mengangguk, “Chea, selamat ulang tahun.”

“Oh ... iya, makasih,” ucap Chea canggung.

Aneh. Suasana di antara mereka menjadi canggung.

“Kamu pulang pakek apa? Taksinya malah kamu suruh pergi.”

“KRL atau mungkin naik Busway.”

“Kamu harus jalan cukup jauh sampai ke Halte atau Stasiun. Nggak pa-pa emangnya?”

Kael menggeleng.

“Kalo gitu ati-ati.”

Tangan Chea bergerak untuk melakukan salam perpisahan kepada Kael yang akan berpisah dengannya malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status