Share

BAB 7

Pandangan Chea tidak lepas memandangi Kael yang sedang bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung. Secara kebetulan ketika Chea sedang ingin menikmati waktu me time-nya, dia tidak sengaja melihat kedatangan Kael di Cafe. Kael yang datang bersama dua temannya tapi Kael lekas meninggalkan kedua temannya dan menuju ke panggung. Chea sudah tidak tahu ke mana dua teman Kael itu. Fokusnya hanya tertuju kepada Kael.

Kael nampak menikmati ketika bermain gitar sambil menyanyikan lagu milik band Gigi. Beberapa kali, Kael melakukan kontak mata dengan para pengunjung hingga akhirnya menatap ke arah Chea. Sontak Chea tersenyum meski dirinya tidak yakin bahwa Kael menyadari keberadaannya.

Chea lantas memberikan tepuk tangan dengan semangat usai lagu Arman Maulana cs itu selesai Kael nyanyikan. Tidak hanya Chea yang memuji penampilan Kael dengan bertepuk tangan, pengunjung lainnya pun begitu.

“Terima kasih atas kesedian anda sekalian mendengarkan suara saya bernyanyi. Nggak terasa, saya udah nemein kalian di sore hari ini selama hampir satu jam. Jadi, udah semestinya saya pamit. Bye, semua,” ucap Kael mengakhiri pertunjukannya.

Satu jam? Chea bahkan tidak merasa bahwa Kael sudah bernyanyi seorang diri selama satu jam. Mungkin karena dia sangat menikmati penampilan Kael yang tidak hentinya membuatnya terpukau.

“Kamu kok di sini?” tanya Kael ketika menghampiri Chea.

“Mampir doang. Habis bosen kalo di rumah.”

“Ujiannya gimana?”

Lima hari terakhir ini, Kael sering menanyakan bagaimana ujian sekolah yang Chea jalani. Dan karena itu mereka menjadi sering berkirim pesan.

“Tinggal pasrah aja sih sama nilainya.” Chea mulai murung memikirkan nilai ujiannya nanti. Dia takut nilainya tidak meningkat dan membuat Kael digantikan dengan orang lain.

“Kael!” suara perempuan memanggil Kael.

Perempuan yang sepertinya seusianya Kael berjalan menghampiri mereka. Chea menatap gadis yang sengaja mengubah warna rambutnya menjadi agak blonde dengan sinis.

Jangan-jangan pacaranya Kael.

“Ditungguin juga.”

Chea menatap diam-diam perempuan yang tanpa sungkan merangkul pundak Kael yang duduk disebelahnya berdiri. Pemandangan tak mengenakan itu membuat darah Chea mendidih.

“Siapa, Kael?” Kael memajukan sedikit kursinya agar perempuan itu tak merangkulnya lagi.

“Oh ... ini Chea. Cewek yang aku ceritain.”

Chea tersentak dengan jawaban Kael saat memperkenalkan dirinya kepada perempuan itu. Dia mulai penasaran kira-kira Kael bercerita apa saja tentangnya kepada perempuan itu. Tapi, tunggu! Kenapa Kael menggunakan kata ‘aku’ saat berbicara dengan perempuan itu. Chea penasaran sedekat apa hubungan mereka sampai Kael menggunakan kata ‘aku’ kepada perempuan itu.

“Chea, ini Lily. Dia temen saya.”

Chea berusaha menutupi senyuman diwajahnya usai Kael menyebut perempuan bernama Lily sebagai teman. Dia merasa lega karena dugaannya salah tentang hubungan Kael dan Lily tapi jika melihat ekspresi Lily saat kata ‘teman’ disebut oleh Kael, perempuan itu nampak murung.

“Yuk! Nino sama Pak Bram udah nungguin lo,” ajak Lily.

“Chea, saya pergi dulu ya.”

Oh ... nggak bisa. Kael nggak boleh pergi sama cewek itu.

“Tu—tunggu, Kael!”

Kael menatap Chea begitupun dengan perempuan itu.

“Ini apa itu ...-” Chea menggaruk kepalanya tak gatal.

Dia memaksakan otaknya untuk berpikir cepat menemukan alasan agar Kael tetap bersamanya.

“Aku kehabisan uang untuk pulang. Tadi pas mau bayar minuman ternyata aku nggak bawa uang cash banyak. Jadi, anterin aku pulang ya?”

Masuk akal nggak sih? Ah... bodoh lah!

###

Kael berusaha untuk menahan tawanya mendengar alasan Chea yang memintanya untuk mengantarkan pulang. Chea bahkan tidak bisa melihatnya ketika berbicara kepadanya menandakan bahwa dia memang sedang berbohong kepadanya. Tapi, Kael tidak mengerti alasan Chea harus berbohong.

Kael memandang Lily yang sejak tadi hanya berdiri di sampingnya. Gadis yang dia kenal sebagai sepupu dari temannya yang bernama Nino itu seakan memberi isyarat bahwa Kael harus menolak permintaan Chea.

“Pinjemin duit aja, Kael. Dia kan butuh uang buat pulang.”

Kael tidak sependapat dengan Lily. Dia justru ingin mengantarkan Chea pulang dibandingkan membiarkan Chea pulang sendirian.

“Kamu mau pulang sekarang?”

“Hm?” tanya Chea, “Kamu nggak bisa anterin aku pulang?” Chea berubah kecewa.

“Nggak. Maksud saya, kamu mau kan nunggu dulu? Saya harus ketemu sama pemilik Cafe ini. Saya anter kamu setelah saya ketemu sama pemelik Cafe. Gimana?”

“Oh ... bisa kok.”

Kael memalingkan wajahnya karena dia ingin tersenyum saat melihat ekpresi wajah Chea yang berubah dari terkejut ke senang.

“Kael, bukannya kita mau pergi bertiga sama Nino?”

“Kalian aja. Aku kan juga harus kerja setelah ini.”

Kael melihat ekspresi kecewa Lily. Lily memaksanya untuk ikut bersama dia dan Nino ke tempat Pamannya yang sedang membuat sebuah acara. Tentu saja dia tidak ingin hadir dalam acara keluarga yang bukan keluarganya meski Nino merupakan temannya sejak SMA. Dia merasa tidak nyaman karena tidak diundang dalam acara tersebut.

Dan juga ... dia tidak ingin terlalu percaya diri tapi sudah berulang kali Nino mengatakan kepadanya jika Lily menyukainya. Kael juga bisa merasakannya dari cara Lily yang selalu bersikap baik dan berusaha mengambil hatinya. Sayangnya, dia hanya menganggap Lily sebagai adiknya saja mengingat Lily adalah adik sepupu Nino.

Saat Lily datang kemudian merangkulnya di depan Chea beberapa menit lalu saja, Kael merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin Chea salah paham dan mengira Lily adalah kekasihnya.

###

Empat puluh lima menit Chea masih menunggu Kael. Dia mulai merasa bosan karena belum pernah dalam hidupnya menunggu selama ini sendirian. Kael masih asyik berbincang dengan Lily dan dua laki-laki lainnya di meja lain. Entah apa yang sedang mereka berempat bicarakan hingga memakan waktu selama ini.

Chea selalu menunjukkan senyumannya ketika dia dan Kael bertemu pandang. Dia tidak ingin terlalu kepedean tapi sudah berkali-kali Kael memandang ke arahnya sejak bergabung dalam pembicaraan dengan ketiga temannya.

Chea melirik ponselnya. Pesan dari Kael masuk. Dia pun membuka pesan tersebut.

Kael :

Maaf, nunggu lama. Bentar lagi selesai kok.

Chea tersenyum karena mengetahui bahwa Kael mencemaskan dirinya yang sedang menunggu sendirian.

“Chea?”

Chea menoleh dan mendapati Mero berdiri di sampingnya.

“Ngapain di sini?” tanya Chea yang terkejut dengan keberadaan Mero.

“Masukin laundry-an nyokap,” jawab Mero ngasal.

Chea menatap sinis Mero ketika laki-laki itu menjawabnya dengan asal. Chea meletakkan tangannya dipelipisnya dan mendesah kesal. Kehadiran Mero akan membuat dia gagal pulang dengan Kael karena Kael bisa saja menyuruhnya pulang dengan Mero.

Mero langsung duduk di kursi yang berada di hadapan Chea tanpa meminta izin kepada Chea terlebih dahulu, “Lagian pertanyaan lo aneh. Sama siapa lo ke sini?”

“Gue sama temen.”

Chea memang tidak berbohong. Dia memang bersama Kael meski Kael sedang berada di meja berbeda dengannya.

Mero celingukan ke kanan dan ke kiri, “Mana temen lo? Belom dateng? Cewek atau cowok? Kalo cewek boleh lah kenalin ke gue.”

Suara seorang laki-laki berdeham ditengah pembicaraan Chea dan Mero. Kedua siswa SMA itu pun serempak menoleh ke sumber suara. Kael sudah berdiri di antara keduanya dengan tatapan tidak bersahabat.

“Ini temen lo?” Mero menggerakan sedikit dagunya saat menunjuk pada Kael.

Chea mengangguk. Lalu memberi isyarat agar Mero lekas pergi dari hadapannya dengan menggerakan tangannya.

Mero pun langsung menyadari bahwa keberadaannya tidak diperlukan sehingga memilih untuk meninggalkan Chea dan Kael.

“Yuk, balik!” ajak Chea.

###

Pandangan Kael tidak lepas memandang Chea yang berdiri tepat di depannya. Berdiri bersamanya dan para penumpang KRL yang tidak kebagian tempat duduk. Dia sudah menjelaskan kepada Chea bahwa jika mereka naik taksi, Kael akan merogoh uang empat bahkan bisa lima kalo lipat lebih banyak dibandingkan naik KRL. Mungkin karena kepepet atau alasan yang tidak bisa Kael duga, gadis itu menyanggupi naik KRL.

“Kamu pertama kali kan naik KRL?” tanya Kael.

Chea tersenyum tak percaya, “Sering kalik sama temen-temen.”

Kael berdeham menutupi rasa malunya karena salah menilai Chea, “Habis kalo saya liat kamu lebih sering naik taksi.”

“Aku naik taksi bukan karena nggak mau naik KRL. Tapi pengen lebih privasi aja dan kamu kan tahu kalo masuk ke kompleks rumahku jauh jalan kakinya dari stasiun.”

“Cowok tadi temen kamu?”

Saat melihat Chea berbicara dengan seorang laki-laki, Kael sudah mulai penasaran tentang laki-laki itu.

“Iya.”

“Kamu bilang ke saya kalo dateng sendirian kenapa ada temen kamu?”

“Aku aja nggak tahu kalo dia di sana.”

“Terus kenapa nggak pulang sama dia?”

“Kan kamu bilang mau anterin aku pulang.”

Kael menahan senyumannya ketika mendengar bahwa Chea lebih memilih pulang bersamanya.

“Oh ...iya, makasih udah bantu aku bilang ke Ayah kalo aku nggak mau kuliah Kedokteran.”

“Saya cuman bantu aja kok.”

Chea kemudian bersenandung. Menikmati perjalanan KRL yang masih setengah jam lagi sampai di Stasiun terdekat kompleks rumahnya.

Kael hanya memandangi wajah gadis di depannya dan tanpa sadar, seulas senyuman menghiasi wajah Kael ketika memperhatikan Chea yang sedang bersenandung.

Pukul tiga sore lewat dua belas menit. Tanggal tiga di bulan kesebelas. Pertama kalinya, hati Kael berdebar karena seorang gadis dan gadis itu adalah Chea.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status