“Bentar deh, Kael!” Chea menahan Kael yang akan masuk ke Restoran Aksara.
Jika Chea tidak salah ingat. Dia dan Kael pernah bertemu di dekat Restoran yang ada di depannya sekarang. Mungkin sekitar sebulan lalu, saat dia harus pulang sendirian karena Ayah yang harus kembali ke Rumah Sakit.
Dua jam lalu, saat Chea masih di rumah. Ia mendapatkan pesan dari Kael yang memintanya bertemu di depan Restoran Askara. Kael pun menjelaskan bahwa mereka tidak bisa pergi ke tempat yang Chea inginkan sebab Kael harus menggantikan temannya yang tidak bisa masuk kerja hari ini. Restoran mendapatkan booking-an untuk acara renuian dan membutuhkan tenaga tambahan sehingga meminta Chea untuk ikut membantunya.
“Kenapa?”
“Aku nggak salah denger kan?”
“Kamu nggak mau, ya?” Kael menatapnya dengan kecewa dan bingung, “Saya nggak tau lagi mau minta tolong siapa untuk bantu di Restoran. Nino nggak bisa dan Lily belum balas pesen aku.”
Chea terkejut ketika nama Lily disebut. Dia tentu tidak ingin membiarkan Kael dan Lily bersama, “Nggak gitu. Aku bisa cuman kan aku nggak pernah kerja di Restoran. Entar malah bikin kacau lagi.”
Kael kembali tersenyum, “Itu gampang kok. Nanti saya ajarin. Sekarang kita masuk dan ketemu sama Bu Nur. Dia pemilik Restoran ini.”
Chea menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengikuti langkah Kael yang sudah lebih dulu berjalan masuk ke dalam Restoran. Chea tidak yakin dirinya bisa melakukan pekerjaan yang belum pernah dia lakukan. Memang dia sering mencuci piring atau memaksa sesuatu yang mudah seperti menggoreng telur, membuat nasi goreng, membuat sup dan baru-baru ini dia mencoba membuat pasta. Tapi, tentu saja pekerjaan di Restoran akan berbeda dengan pekerjaan di rumah yang sering dia lakukan.
“Ngajak siapa kamu, Kael?” seorang wanita bersanggul menyambut kedatangan mereka.
“Dia temen saya, Bu. Namanya Chea.”
Chea melirik Kael saat menyebut kata teman. Yah, setidaknya hubungan mereka sedikit meningkat dari hubungan antar tutor dan murid ke teman.
“Oh .... cewek yang kamu hibur di jalan itu.”
“Hm?” Chea menatap wanita itu dengan tatapan bingung.
Wanita itu mengulurkan tangannya. Mengajak Chea bersalaman dan tentunya, Chea menyambut uluran tangan wanita itu, “Saya pemilik Restoran ini. Panggil saja Bu Nur.”
“Chea.”
“Kamu kok ajak dia ke sini? Nungguin kamu kerja?” mengakhiri jabatan tangan dengan Chea.
“Chea mau bantu di Restoran.”
Bu Ning menatap Chea dengan tatapan tak percaya membuat Chea tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.
###
Pandangan Kael tidak hentinya memandang Chea secara diam-diam. Memperhatikan gadis yang kini tengah sibuk mengantarkan pesanan ke meja pengunjung. Senyuman indah tidak lepas menghiasi wajah cantiknya ketika menghampiri para pengunjung yang meminta bantuannya. Kael tidak menyangka bahwa Chea bisa melakukan pekerjaan yang tidak pernah gadis itu lakukan sebelumnya. Kael tentu tahu Chea tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai waiters hanya untuk menambah uang jajannya karena Chea tidak akan pernah kekurangan uang jajan.
Nama Chea terbesit dalam benak Kael saat Bu Nur memberitahu bahwa butuh satu tenaga lagi untuk membantu di Restoran. Alasannya hanya karena dia tidak ingin membatalkan untuk tidak bertemu Chea. Kael hanya ingin bersama gadis itu di luar hari les mereka.
“Kamu suka dia?” tanya Bu Nur mengejutkan Kael.
Kael menggeleng cepat.
Bu Nur menatapnya penuh sidik seakan sedang mencari pembenaran atas pertanyaannya. Lalu tersenyum penuh arti.
“Udah saatnya kamu nikmatin hidup. Jangan kerja muluk lah! Pergi nge-date sama Chea.”
“Saya nggak pantes lah Bu sama dia.”
“Siapa yang bilang?”
Kael tersenyum kecil, “Bu, saya itu cuman cowok yang nggak punya siapa-siapa. Kerja sana-sini dan nggak jelas. Tapi, dia? Dia itu beda, Bu.”
Bu Nur menghela nafas, “Kamu punya Ibu, Kael.”
“MAS!” salah seorang pengunjung memanggil Kael.
Kael hanya tersenyum dan kembali melanjutkan pekerjaannya dengan menghampiri pengunjung yang memanggilnya.
Dua setengah jam sudah berlalu. Rombongan yang makan di Restoran Askara telah meninggalkan Restoran dengan perut kenyang. Menyisakan peralatan makan yang harus segera dibersihkan.
“Istirahat aja, Chea. Biar saya yang beresin.”
Kael tidak ingin terlalu banyak membuat Chea bekerja.
“Udah biarin.”
Kael meletakkan kembali nampan di atas meja. Dia mendekat kepada Chea dan menyentuh kedua pundak Chea, “Saya nggak mau kamu kecapekan.”
Kael mendorong tubuh Chea agar mendekat ke kursi dan duduk di sana.
“Tapi—.”
Kael mendelikkan matanya memperingatkan Chea agar menuruti saja perintahnya.
###
Chea membuka isi amplop cokelat pemberian Bu Nur sebelum dia dan Kael meninggalkan Restoran. Amplop berisi uang itu diberikan Bu Nur sebagai upah karena sudah membantunya di Restoran. Jumlahnya memang tidak sebanyak uang jajan yang Ayah berikan selama sebulan tapi Chea merasa senang ketika dia bisa memperoleh uang dengan hasil keringatnya sendiri.
“Kamu seneng?” tanya Kael.
Chea menolek ke Kael yang duduk disampingnya.
Mereka sudah berada di dalam KRL untuk menuju ke rumah Chea. Beruntung sekali, KRL yang mereka tumpangi tidak banyak penumpang yang naik sore ini sehingga mereka mendapatkan tempat duduk. Beberapa tempat duduk juga masih kosong.
“Iya. Pertama kalinya aku bisa cari uang sendiri.”
Kael ikut tersenyum dan tidak segan mengelus rambutnya.
“Tapi kok Bu Nur cuman kasih ke aku aja. Kamunya nggak?”
“Oh ...itu, kan aku dibayar setiap akhir bulan. Beda sama kamu yang dibayar hari ini karena cuman bantu sehari ini aja.”
Chea mengangguk mengerti. Chea menggerakan tangannya. Dia mulai merasa pegal di kedua tangannya karena bekerja di Restoran.
“Ini.” Kael memberikan salep pereda nyeri kepadanya.
Chea menerima salep itu.
“Sebelum tidur kamu olesin ke badan kamu yang pegel. Besok pagi pasti hilang kok.”
“Oke. Makasih ya.” Chea menyimpan salep pemberian Kael itu.
Mereka pun kembali menikmati perjalanan pulang mereka. Kael mengejutkan Chea karena secara mendadak memegang tangan Chea. Kael memberikan pijatan pada telapak tangan Chea.
Chea menelan ludahnya yang berhenti di tenggorokan. Chea akui dirinya merasa gugup dan hatinya berdebar kencang karena perlakuan manis Kael.
“Wajah kamu kenapa merah?”
Chea tersentak mendengar pertanyaan Kael. Dia lekas menarik tangannya dan memegangi wajahnya.
“Kamu sakit?” Kael menaruh tangannya dijidat Chea untuk mengecek suhu tubuhnya.
“Nggak tuh,” Kael menjawab pertanyaannya sendiri setelah membandingkan suhu tubuh Chea dengan suhu tubuhnya.
Chea menurunkan pelan tangan Kael dan berusaha bersikap tenang meski sebenarnya dia merasa sangat gugup.
Senja mulai menghilang ketika Chea dan Kael keluar dari stasiun. Keduanya lantas berjalan beriringan menyusuri jalan yang dikhususkan untuk para pejalan kaki. Tidak jarang, Kael memang sering mengantarkan Chea pulang hingga sampai ke rumah atas keinginan Kael sendiri.
Seperti biasa. Chea bersenandung menikmati hari yang akan beranjak gelap.
“Kamu suka nyanyi?”
Chea menoleh ke Kael yang berdiri di samping kanannya.
“Saya sering denger kamu bersenandung.”
Chea tersenyum malu. Bersenandung memang kebiasaannya dan tanpa sadar dia sering melakukannya.
“Hari Sabtu besok kamu nggak kerja kan?”
“Malemnya saya kerja. Kenapa?”
“Nge-date lah. Hari ini kita gagal untuk nge-date.”
“Oke,” jawab Kael.
Chea pun kembali melanjutkan langkah kakinya begitupun dengan Kael. Ketika mereka berjalan beriringan, jarak mereka semakin dekat sehingga membuat kedua tangan mereka bersentuhan beberapa kali. Chea merasa hatinya kembali berdebar hanya karena sentuhan tak sengaja itu sehingga ia memilih untuk menggenggam tali tas selempangnya.
Dan tanpa mereka tahu seseorang di dalam mobil tak sengaja menyaksiksan kedekatan mereka. Pak Cakra yang duduk dibelakang mobil mulai penasaran melihat putrinya sedang bersama Kael.
“Pak, itu tadi bukannya mbak Chea?” tanya Pak Ujang yang duduk dibelakang kemudi.
“Iya.”
“Nggak sekalian pulang sama kita?”
“Nggak. Biarin dia pulang sama temennya.”
Pak Cakra bertopang dagu memikirkan kedekatan Chea dan Kael. Beliau tentu bisa melihat bahwa kedekatan mereka nampaknya tak biasa. Laki-laki berusia awal empat puluh tahun itu mengenal putrinya yang tidak pernah bisa bergaul dengan baik kepada tutornya. Dulu, beliau pernah merekrut tutor perempuan berharap Chea akan betah tapi nyatanya, Chea justru membuat mantan tutornya untuk berhenti setelah seminggu membimbung Chea.
Kael merasa tidak yakin jika dia dan Chea harus pergi ke taman hiburan. Ada banyak tempat yang mereka kunjungi untuk pergi berkencan seperti ke sepedaan di taman, jalan-jalan ke Mall, atau nonton di bioskop. Taman hiburan memang bukan tempat yang Kael sukai sebab usianya yang sudah bukan lagi anak-anak membuatnya enggan pergi ke sana meski dia belum pernah mengunjunginya. Tapi, dia tetap pergi ke Taman hiburan karena enggan mengecewakan Chea yang sangat ingin pergi bersamanya. Gadis itu memang nampak bahagia setelah mereka turun dari busway. Selama perjalanan pun, Chea sudah merencanakan wahana permainan apa saja yang akan dia naiki sesampainya mereka di Taman hiburan. Setelah sampai, Chea pun mencari antrean terpendek di loket tiket karena enggan megantre lama. “Kael, kita naik itu yuk!” menunjuk wahana baling-baling di hadapan mereka. Kael terperangah melihat wahana yang memicu andrenalin. Dia menatap Chea yang nampak bersemangat untuk mencoba waha
Secangkir latte panas dan secangkir green tea panas sudah tersaji di atas meja. Siang ini, Kael sedang duduk bersama Pak Cakra di sebuah Cafe. Beliau mendadak menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Mungkin ingin membicarakan tentang nilai akademis Chea yang meningkat ujian kemarin. Memang sudah menjadi kesepakatan jika mereka akan bertemu setelah mengetahui hasil nilai Chea. Kael berusaha untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ini kali ketiga ia bertemu dengan Pak Cakra. Pertemuan pertama ketika Pak Cakra merekrutnya menjadi tutor Chea, pertemuan kedua di Rumah Sakit saat Chea jatuh sakit dan terakhir siang ini. Tapi, pertemuan ketiga dia justru merasa gugup dibandingkan dua pertemuan sebelumnya. “Mulai hari ini kamu nggak perlu jadi tutor Chea.” Kael terkejut mendengar ucapan Pak Cakra yang tanpa berbasa-basi, “Tapi kenapa, Pak? Bukannya nilai Chea meningkat?” Pak Cakra menarik nafas dan mengeluarkan beberapa cetak foto, “Hubungan ka
Kael kembali menyalakan ponselnya setelah setengah hari dia non-aktifkan untuk menghindari Chea. Kael memang belum siap untuk berbicara dengan Chea usai Pak Cakra mengetahu dan melarang hubungan mereka. Dua puluh panggilan tak terjawab dari Chea. Kael tersenyum tipis mengetahui bahwa gadis itu tidak menyerah meski Kael sudah tidak menghidupkan ponselnya. Sekali lagi. Panggilan telepon dari Chea dan kembali Kael abaikan. Sebuah pesan masuk ke nomor Kael, usai Chea mengakhiri panggilan teleponnya. Chea : Please, angkat telpon aku! Aku kabur dari rumah. Kael terkejut membaca pesan yang Chea kirimkan. Dia lekas menelpon Chea usai mengetahui bahwa gadis itu memilih meninggalkan rumah. “Halo,” suara gadis itu menyambutnya. “Kamu di mana sekarang?” tanya Kael. “Kenapa nanyain? Cemas? Dari tadi kenapa hape-nya dimatiin?” “Jangan bercanda, Chea! Kamu di mana sekarang?” sua
Chea kembali berulah dengan tutor barunya. Dia tidak lagi serius belajar dan justru asyik bermain game diponselnya. Mengabaikan Bella yang sedang menjelaskan salah satu rumus Matematika. Kelakuan Chea tidak berhenti disitu saja, apalagi saat sampai di Cafe dia lekas memesan makan siang dengan alasan perutnya lapar. Sebuah nofitikasi pesan dari Kael mengejutkan Chea. Chea yang sejak tadi duduk bersantai langsung duduk tegap dan lekas membaca pesan dari Kael. Sejenak dia seakan lupa bahwa semalam Kael membuatnya kesal. “Chea! Kamu nggak dengerin saya?” ujar Bella yang menyadari bahwa selama dia menjelaskan Chea sibuk dengan ponselnya. Chea memberi isyarat dengan meletakan jari telunjuk ke mulutnya sendiri agar Bella berhenti berbicara. Kael : Kamu nggak serius belajar lagi? Mata Chea terbelalak membaca pesan dari Kael. Pesan yang mengisyaratkan bahwa Kael sedang berada di dekatnya. Chea lekas mencari keber
Kael sedang asyik membaca buku sembari menunggu Chea yang sedang belajar dengan Bella di meja lainnya. Meski sudah diberikan restu menjadi kekasih Chea tapi Kael tetap tidak diperbolehkan menjadi tutor Chea lagi karena Pak Cakra tidak ingin Chea justru menjadi tidak fokus belajar. Kael memaklumi keputusan Pak Cakra itu. Segelas air putih ditaruh di atas meja Kael oleh salah seorang waiters. Kael menatap heran sebab dia tidak memesan air putih hangat melainkan latte panas kepada waiters tersebut. “Mas, tapi kan saya pesennya latte bukan air putih.” “Aku yang ganti pesenan kamu.” Chea pun duduk di kursi samping Chea dan memberikan intruksi dengan isyarat bahwa laki-laki yang membawakan minuman untuk Kael agar meninggalkan mereka. “Kenapa?” “Kamu udah minum dua cangkir latte. Nggak baik tahu banyak-banyak minum kafein.” Kael melirik dua cangkir yang masih berada di mejanya. Dia tak memb
Chea menatap kosong jendela rumah yang pecah pagi tadi. Merenungi nasibnya yang berubah dalam sekejap. Keluarganya yang baik-baik saja tertimpa masalah hingga rumahnya terkena teror. Chea masih belum bisa mempercayai kejadian hari ini yang terjadi pada keluarganya. Tante Monic sudah menjelaskan semuanya tentang Ayah yang menyerahkan diri ke kantor polisi usai melakukan malpraktik kepada pasiennya. Lebih mengejutkan untuk Chea, selama sebulan Ayah dan pihak Rumah Sakit berusaha mencari titik tengah permasalahan ini kepada keluarga pasien yang menuntut ganti rugi karena kelalaian Ayah dan Chea tidak tahu itu. Sayangnya, kedua belah pihak tidak menemukan titik tengah dan Ayah tak setuju dengan keputusan Rumah Sakit yang enggan membayar ganti rugi sehingga memilih menyerahkan diri. Tidak berhenti disitu saja. Ayah yang sudah menduga bahwa media akan heboh dengan kasus ini, tidak ingin Chea mengetahui dan mengalami hal yang tidak menyenangkan sehingga berniat mengirim Che
Lima tahun kemudian. Chea telah banyak berubah sejak lima tahun terakhir. Poni yang menghiasi jidatnya tak lagi nampak karena Chea lebih memilih memanjangkan poninya. Gadis remaja yang duduk dibangku SMA telah berubah menjadi perempuan dewasa yang baru saja merayakan hari jadinya. Chea berlari di coridor Rumah Sakit bersamaan dengan kode peringatan darurat yang berbunyi. Di belakangnya, seorang dokter dan dua perawat ikut berlari terburu-buru. Jika romobongan paramedis berlari menuju lift, tapi tidak dengan Chea yang berlari menuju ruang UGD. Chea berhenti di depan meja Resepsionis, “Suster...-” dia berusaha mengatur nafasnya sebelum melanjutkan perkataannya. “Chea!” seorang pria memanggil namanya. Chea menoleh ke sumber suara. Pria berbadan tegap dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh sentimeter melambaikan tangan kepadanya. Chea pun segera berjalan dengan salah satu tangan di pinggangnya menghampiri pria berkemej
Chea sudah tidak lagi merasa asing dengan tempat yang sering dia kunjungi sekali dalam seminggu. Kunjungan rutin agar dia bisa bertemu dengan Ayah yang masih mendekam di penjara untuk menebus kesalahannya. Sepuluh tahun. Hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim kepada Ayah. Waktu yang tak sebentar untuk mereka berpisah meski sekarang sudah setengah dari hukuman yang Ayah jalani.Pria di hadapannya sudah banyak berubah. Rambut hitamnya yang mulai memutih. Wajahnya yang mulai semakin menua dengan kerutan di wajahnya. Kaos yang dikenakannya sudah terlihat longgar dan nampak lusuh. Entah sudah berapa banyak Ayah kehilangan berat badannya selama hidup di balik jeruji besi. Ayah tidak pernah ingin menerima kaos baru pemberian Chea dan selalu memilih mengenakan kaos lamanya.“Kamu jadi pindah?”Chea memang tidak pernah menyembunyikan apapun dari Ayah. Semua ia ceritakan karena dia ingin Ayah tidak terlalu merasa bersalah karena telah membuatnya tinggal sendirian.