Share

BAB 6

Sudah sejak pagi, Chea merasa kepalanya sangat pusing dan berkunang-kunang. Dia bahkan tidak masuk ke sekolah karena rasa pusing yang dialaminya. Jika dipaksakan untuk berdiri kepalanya terasa berputar-putar.

Chea duduk di sofa ruang tamu saat dia tidak sanggup berdiri untuk kembali ke kamarnya usai meminum obat di dapur. Kepalanya sungguh nyut-nyutan sampai dia harus menjambak rambutnya untuk meredakan rasa sakit. Hari ini dia sudah minum obat untuk kedua kalinya setelah pagi tadi tapi rasa sakit dikepalanya tidak berkurang.

Dia sudah memberitahu Ayah perihal sakitnya sebelum Ayah ke Rumah Sakit, Ayah lekas menyuruh Chea untuk ke Rumah Sakit tapi Chea menolak. Ayah pun hanya memberikan obat anemia untuknya.

Ponselnya berdering. Chea meraih ponsel yang berada di atas meja ruang tamu. Nama Kael muncul di layar ponselnya sebagai penelpon.

“Kael,” ucapnya dengan nada lemah memanggil nama laki-laki yang menelponnya.

“Kamu sakit?” tanyanya dengan nada cemas

Chea hanya bergumam untuk menjawab pertanyaan Kael.

Chea teringat bahwa siang ini adalah jadwal mereka les. Kael pasti sudah menunggunya. Ini bahkan sudah lewat satu jam, “Aku nggak bisa dateng ke les. Maaf nggak sempat ngabarin kamu.”

Rasa pusing yang dia rasakan membuat Chea tidak bisa berpikir atau melakukan apapun selain tidur sepanjang hari. Dia hanya keluar saat makan dan minum obat saja.

“Udah minum obat?”

“Udah. Barusan.” Chea memijit kembali kepalanya.

Chea mulai merasa bahwa dadanya terasa sesak. Tangannya mulai gemetar hebat. Kondisinya tidak juga membaik.

“Ka—el. Bisa ke rumah nggak? Kayaknya aku ..... aku harus ke ..... Rumah Sakit deh.”

“Kamu tunggu di sana ya. Dua pu ... nggak sepuluh menit saya ke sana. Tunggu, ya!” suara Kael terdengar panik.

“Kael.”

Chea merintih sakit sambil memegangi kepalanya usai mengakhiri panggilan teleponnya dengan Kael. Dia melihat jam dinding saat mengingat Kael akan datang ke rumah dalam waktu sepuluh menit.

Please, Chae! Kamu harus tunggu sampai sepuluh menit. Kael akan dateng.

Sepuluh menit kemudian. Suara bell rumah Chea berbunyi bersamaan dengan notifikasi pesan di ponsel Chea.

Kael :

Chea, saya di depan rumah.

Chea menarik nafas panjang menyiapkan tenanganya, sebelum dia beranjak dari sofa dan berjalan ke pintu.

Kael menatapnya dengan cemas setelah ia membukakan pintu untuk Kael.

Bruk! Chea pun jatuh pingsan dalam dekapan Kael.

###

Kael tidak pergi dari tempatnya. Dia masih berdiri di dekat ranjang tempat Chea dibaringkan. Menatap gadis itu dengan tatapan cemas meski seharusnya dia tidak perlu merasa cemas sebab Chea sudah diberikan infus dan obat oleh dokter yang bertugas di UGD. Hanya saja melihat Chea belum juga sadarkan diri membuat rasa cemas dalam dirinya belum ingin pergi.

Kael teringat sesuatu. Dia seharusnya memberi kabar ke Pak Cakra tentang kondisi Chea. Kael pun menyadari bahwa Rumah Sakit yang dia datangi adalah tempat Ayah dari gadis itu bekerja.

“Suster.” Kael memanggil suster yang berjalan melewati ranjang tidur Chea.

“Bisa minta tolong untuk hubungi pak Cakra? Dia dokter di sini dan ini anaknya.” Kael menunjuk Chea yang masih terpejam.

“Oh .... baik, Mas.”

Suster pun berjalan menuju meja resepsionis. Dia lekas mengambil gagang telpon dan menekan tombol telepon untuk melakukan permintaan Kael.

Kael kembali menatap Chea. Tangan kananya bergerak ingin menyentuh tangan Chea tapi niat itu dia urungkan. Dia sadar bahwa tidak seharusnya dia menyetuh tangan Chea yang bukan siapa-siapanya. Kael tidak boleh memiliki rasa kepada gadis itu.

“Di mana anak saya, Sus?”

Kael menoleh saat mendengar suara panik Pak Cakra.

Suster yang sedang berdiri di belakang meja resepsionis menunjuk ke arah Kael. Kael menunduk sejenak menyapa Pak Cakra.

“Oh .... Kael.” Pak Cakra lantas menghampiri Chea yang terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.

“Saya tadi hubungi Chea karena dia nggak datang untuk les dan katanya dia sakit. Dia minta saya untuk anterin ke Rumah Sakit tapi setelah saya datang dia pingsan.” Kael menjelaskan secara singkat kronologis dia bisa bersama Chea.

“Harusnya saya langsung bawa dia ke Rumah Sakit begitu tahu dia sakit,” keluh Pak Cakra yang nampak menyesal.

Pak Cakra pun menoleh ke arah Kael. Pria yang mengenakan jas putih, “Kael, terima kasih ya sudah bawa Chea ke Rumah Sakit. Chea biar saya yang jaga. Kamu bisa pulang sekarang."

Pulang?

Kael masih ingin di sini paling tidak sampai Chea sadar baru dia akan pulang.

Kael pun terpaksa berpamitan dan meninggalkan Chea yang masih juga belum sadar dengan berat hati.

###

Chea mulai merasa bosan karena sudah berada di Rumah Sakit sejak kemarin siang. Ayah memaksanya untuk dirawat di Rumah Sakit selama satu sampai dua harian meski sebenarnya, Chea sudah merasa lebih baik. Kepalanya sudah tidak pusing lagi dan dia juga sudah tidak merasa sesak saat bernafas. Dokter mengatakan bahwa dia hanya perlu beristirahat saja dan jika memang itu yang disarankan, dia bisa beristirahat di rumah.

Chea termangu ketika memeriksa ponselnya dan mengetahui bahwa ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Kael. Chea kembali mengingat bahwa dia sempat mengabaikan panggilan telepon Kael saat membawa ponselnya ke luar kamar untuk makan dan minum obat. Waktu itu, dia tidak berpikir untuk menerima panggilan telepon Kael.

Chea tersenyum mengetahui Kael juga mengirimkan banyak pesan.

Kael :

Ini udah lebih lima belas menit.

Kamu lupa sama kesepakatan kita?

Kalo nggak bisa dateng seenggaknya kasih tahu lew*t w*.

Kenapa nggak angkat telponnya?

Kamu baik-baik aja kan? Kenapa nggak datang?

Chea, tolong angkat telepon saya!

Chea terkejut ketika sebuah pesan baru dari Kael masuk dan tentu saja langsung dia baca karena dia sedang membaca pesan Kael kemarin.

Kael :

Kamu gimana keadaannya?

Chea lekas mengetik pesan balasan untuk Kael.

Chea :

Udah lebih baik kok. Makasih udah bawa aku ke Rumah Sakit.

Kael :

Sama-sama. Ya, udah kamu istirahat.

Bibir Chea manyun karena obrolan via pesan dengan Kael berakhir begitu saja.

Minta dia dateng kalik ya?

Pesan baru dari Kael pun kembali masuk.

Kael :

Saya boleh jenguk kamu?

Bibir Chea kembali tersenyum. Dia tentu tidak memiliki alasan untuk menolak kunjungan Kael.

Chea memeriksa keadaannya usai membalas pesan Kael. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Chea berdecak kesal saat melihat bibirnya masih pucat melalui kamera ponselnya. Dia tidak mungkin menyambut Kael dengan wajah yang pucat. Tapi, tidak ada bedak dan lipstick di laci kamar rawatnya. Chea menjatuhkan kepalanya ke bantal.

###

Kael terpana melihat kamar rawat Chea yang dua kali lipat dari kamar kosnya. Fasilitasnya bahkan lebih lengkap ada TV, Lemari Es, AC, Sofa yang nampak nyaman dan kamar mandi dalam. Kamar rawat Chea lebih pantas disebut dengan kamar hotel.

Setelah semalaman mencemaskan Chea, Kael memang berniat untuk menjenguk Chea. Dia ingin mengetahui sendiri bahwa Chea memang sudah baik-baik saja. Dia bahkan tidak bekerja di Restoran milik Bu Nur karena ingin meluangkan waktu menjenguk Chea. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Meminta izin untuk tidak bekerja padahal saat sakit pun, Kael selalu memaksakan diri untuk bekerja.

“Kamu mau berdiri di situ?” Chea menyadarkannya dari lamunan.

Kael menoleh kepada Chea yang sudah duduk di sofa dan sedang menikmati buah. Kael pun menghampiri Chea. Dia menaruh parcel buah yang dia beli sebelum ke Rumah Sakit. Dia tidak mungkin membawa tangan kosong saat menjenguk Chea.

“Kamu beneran udah nggak pa-pa?”

Chea mengangguk, “Paling sore nanti udah boleh balik. Bosen juga di sini.”

 “Aku nggak sangka kamu akan telpon aku sampai sepuluh kali.

Kael berdeham karena merasa malu. Kemarin dia mendadak cemas karena Chea tidak memberinya kabar sehingga terus-terusan mengirimkan pesan dan menelpon Chea.

“Saya takut kamu nangis ditengah jalan dan nubruk orang lagi,” canda Kael.

Gadis itu nampak kesal dengan ucapannya. Kael pun tersenyum untuk mencairkan suasana yang mulai menegang di antara keduanya, “Bercanda kok.”

“Kamu cemas kalo terjadi sesuatu sama aku?”

Pertanyaan mengejutkan dari Chea membuat Kael tercekat. Dia bahkan tidak bisa menelan ludah yang berhenti ditenggorakannya. Kael memalingkan wajahnya.

“Bukannya udah sewajarnya kalo saya cemas sama murid saya yang nggak ada kabarnya.”

Chea hanya menaikkan alisnya malas enggan memberikan komentar pada ucapannya.

###

Dua minggu kemudian.

Chea memandangi lembar soal yang dibagikan oleh guru setengah jam lalu. Lima puluh soal yang harus dijawab tapi belum satupun soal yang Chea jawab. Bukan karena Chea tidak bisa mengerjakan soal sains yang sedang diujikan hari ini. Chea hanya enggan mengerjakan soal itu saja. Dia memang seperti itu setiap menghadapi ujian. Tidak sekalipun bersungguh-sungguh mengerjakan soal untuk mendapatkan nilai bagus.

Chea teringat dengan Kael yang sudah membimbingnya hampir dua pekan ini. Kael memang tidak menuntutnya untuk nilainya meningkat dari ujian terakhirnya. Tidak seperti beberapa tutor yang meminta Chea untuk meningkatkan nilainya agar mereka tidak dipecat.

Chea menggerak-gerakan pensilnya untuk berpikir. Jika dia tidak mengerjakan soal-soal itu, nilainya pasti akan sama seperti kemarin dan Kael akan dipecat oleh Ayah. Tapi, jika dia mengerjakan soal-soal itu, Kael pasti akan tetap menjadi tutornya.

Chea meletakkan kepalanya di atas meja. Dia frustasi dengan keputusan yang harus dia ambil.

Chea menarik nafas panjang sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh. Dia tidak ingin Kael kehilangan pekerjaan dan membuatnya tidak bisa bertemu dengan Kael lagi.

Bertemu Kael lagi. Ya. Sejak Kael hadir dalam kehidupan Chea, ia selalu ingin bertemu dengan Kael. Dia tidak semalas dulu ketika harus berangkat untuk les tapi justru sebaliknya. Chea tidak pernah sabar bertemu dengan Kael.

Cinta?

Chea tidak bisa semudah itu menafsirkan perasaannya kepada Kael meski rasa itu bisa saja memang hadir di dalam hatinya. Hadirnya Kael tidak saja membuat Chea menjadi tidak kesepian, tapi semangat belajar Chea kembali hadir dan masih ada hal baik yang Kael berikan sejak hadir dalam kehidupan Chea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status