Share

BAB 5

“Perempuan kemarin siapa, Kael?” tanya Bu Nur ketika mereka berada di dapur merapikan bahan-bahan yang baru saja datang.

Kael mulai mengingat seorang perempuan yang dimaksud Bu Nur.

Kemarin dia bertemu dengan Chea di dekat Restoran. Mereka hampir berbincang selama sepuluh menitan sebelum akhirnya, Chea pulang setelah dia menghentikan taksi untuk Chea.

“Chea, maksud Ibu?”

“Jadi namanya Chea. Bagus namanya. Pacarmu, Kael?”

Kael menggeleng sambil memasukkan tomat di tempatnya dengan rapi. Tomat yang lama dia taruh di paling depan dan tomat baru dia taruh di belakang. Dulu, dia pernah bekerja di Mini Market dan cara menata barang dia aplikasikan saat menata bahan-bahan dapur di Restoran.

“Murid saya, Bu.”

“Murid kok sampai pelukan seperti itu?” Bu Nur nampaknya tidak percaya dengan jawabannya.

Kael terkekeh, “Beneran. Dia lagi sedih dan saya cuman hibur dia dengan meluk dia. Itu aja kok.”

GUYS!” Bu Nur berteriak dari dapur membuat tiga orang yang sedang membersihkan bagian depan menoleh secara bersamaan. Mereka menghentikan pekerjaan mereka

“Ada yang lagi sedih? Kael mau....-”

“Bu Nur!” Kael memotong ucapan Bu Nur yang berniat menggodanya.

Bu Nur tersenyum melihat mantan muridnya itu panik, “Nggak jadi. Lanjutin kerjaan kalian!” ucap Bu Nur kepada tiga karyawannya yang kembali melanjutkan pekerjaannya.

Kael melanjutkan pekerjaannya. Kali ini, dia beralih menuangkan saus ke dalam botolnya.

“Baru pertama Ibu liat kamu peduli sama perempuan. Dulu semasa SMA, kamu bahkan nggak pernah nunjukin rasa suka kamu ke temen perempuan kamu.”

Bu Nur menatap langit. Otaknya dipaksa untuk mengingat kenangan ketika masih menjadi guru BK di SMA “Banyak siswi yang penasaran sama kamu tapi kamu selalu acuh. Sampai dibilang manusia es. Tapi kemarin, Ibu nggak sengaja liat kamu sama perempuan itu. Kamu begitu peduli sama dia.”

“Bukannya udah sewajarnya seorang tutor, seorang guru peduli sama muridnya. Ibu kan juga gitu.”

Bu Nur memang guru terbaik semasa SMA. Guru yang sangat mengerti dan memahami keadaan murid-muridnya. Tidak heran jika sewaktu Bu Nur akan pensiun banyak murid yang menangis karena harus berpisah dengan beliau. Bahkan mereka masih sering mengunjungi Bu Nur di Restoran untuk sekedar mampir, makan atau cerita.

“Jadi, hanya peduli ya?”

Kael hanya mengangkat kedua alisnya menatap bingung atas pertanyaan yang Bu Nur berikan padanya.

###

Chea benar-benar tidak mengerti dengan yang terjadi kepadanya. Dia sudah berada di Cafe tempat di mana dia dan Kael akan bertemu untuk belajar. Datang lima belas menit lebih awal dari pada biasanya. Tentunya bukan ingin memperhatikan Kael seperti yang dia lakukan saat pertama kali bertemu Kael tapi karena tidak ingin terlambat untuk les.

Chea melihat jam di ponselnya. Dia masih memiliki waktu untuk pergi dan lagipula, Kael belum menunjukkan batang hidungnya di Cafe. Chea tersenyum sinis mengingat ucapan Kael yang memastikan bahwa dia tidak akan terlambat tapi faktanya, Chea yang datang lebih dulu dibandingkan Kael.

Chea beranjak dari duduknya. Dia memilih pergi dan mungkin akan kembali ke Cafe saat jam dua tepat atau lebih. Lebih baik seperti itu memang.

“Mau ke mana?” tanya Kael.

Chea terperanjat saat mendengar suara Kael. Tubuhnya hampir saja oleng tapi untungnya dia bisa mengendalikan tubuhnya.

“Kok udah dateng?” tanya Chea.

“Saya kan emang suka dateng lebih awal. Kamunya aja yang sekarang kecepetan.”

Kael menarik kursi di hadapan Chea dan kemudian duduk. Dia juga mempersilakan Chea untuk kembali duduk.

Chea merasa gugup secara tiba-tiba. Entah karena dirinya yang ketahuan datang lebih awal atau karena Chea teringat tentang kejadian kemarin ketika Kael menenangkannya dengan memberi semacam pelukan. Kejadian kemarin tiba-tiba saja muncul di kepala Chea bagai adegan film.

“Kita mulai sekarang?”

“Kan kesepakatannya jam dua. Ini masih kurang sepuluh menit,” protes Chea yang tidak ingin rugi.

Kael pun menuruti permintaan Chea.

Chea mulai berpikir untuk mencari topik pembicaraannya dengan Kael. Mereka masih punya waktu sepuluh menit sebelum memulai belajar. Tidak mungkin mereka hanya saling menutup mulut mereka selama itu dan membuat suasana di antara mereka menjadi canggung.

“Kael, kemarin kamu kerja di sana?” Chea memulai pembicaraan dengan bertanya tentang pekerjaan Kael.

Dia tidak mengetahui apapun tentang tutornya. Ayah hanya memberitahu bahwa Kael termasuk salah satu siswa pintar di SMA-nya dulu dan mendapatkan beasiswa Kedokteran di UI. Hanya itu saja. Selebihnya, dia hanya menebak bahwa bisa jadi Kael merupakan mahasiswa di sebuah Universitas mungkin anak Ekonomi atau Hukum yang sering melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah uang jajan.

“Iya.”

“Terus Restoran malam itu?”

“Kerja juga.” Kae menyruput minumannya.

“Kamu punya berapa pekerjaan sih?”

Kael nampak berpikir, “Untuk sekarang sih tiga.”

Chea tidak percaya dengan jawaban Kael, “Emang bisa kamu atur waktu dari ngajarin aku, kerja di Restoran kemarin lalu Restoran malam kita ketemu dan kuliah?”

“Saya nggak kuliah, Chea.”

Chea menutup mulutnya. Dia menyadari kesalahannya saat berbicara, “Oh ... sorry.” Dia lupa tentang itu.

Kael menyunggingkan seulas senyuman kecil, “Kamu pasti udah denger dari Pak Cakra kalo saya dapet beasiswa Kedokteran tapi saya tolak, kan?”

Chea mengangguk. Dia memajukan kursinya mulai tertarik dengan topik mereka. Sejak awal, Chea penasaran alasan Kael tidak menerima beasiswa itu. Tidak salah jika saat menceritakan tentang Kael, Ayah sempat menyayangkan keputusan Kael sebab dia juga menganggap hal yang sama kepada keputusan yang Kael ambil. Tapi, Chea tahu Kael memiliki alasan sendiri dan dia ingin tahu itu.

“Jadi dokter itu bukan mimpi saya, Chea. Iya sih prospek ke depannya bagus tapi itu bukan kehidupan yang saya mau jalani di masa depan nanti.”

“Terus apa dong?”

“Musisi. Saya mau jadi musisi.”

Chea menatap dalam-dalam laki-laki dihadapannya itu. Ada kekaguman dalam diri Chea usai mengetahui alasan dibalik keputusan Kael. Di saat orang lain mencoba hidup realistis dengan mengenyampingkan impiannya, Kael justru sebaliknya. Kael mengetahui yang diinginkannya dalam hidup dan itu membuat Chea merasa iri sebab sejak Ayah memintanya menjadi dokter, Chea bahkan tidak berani bermimpi atau menginginkan sebuah profesi yang ingin dia lakukan.

###

Layaknya anak remaja pada umumnya, Chea memang sering pergi nongkrong di Cafe bersama teman-teman sekolahnya. Menghabiskan waktu bersama teman-temannya memang cara Chea mengusir rasa kesepiannya meski dia juga tidak pernah sedikitpun menunjukkan perasaan itu kepada teman-temannya.

Siang tadi dia mendapatkan pesan dari salah satu temannya bernama Anne. Gadis berkacamata minus yang kini mengenakan kaos dipadukan dengan rok jeans selutut itu mengajak Chea untuk pergi nongkrong di sebuah Cafe. Dia dan kekasihnya Barra bersedia menjemputnya sebelum mereka pergi mejemput Khalis yang kebetulan memiliki jalan searah dengan mereka.

“Waaaa!” teriak Chea, Khalis, Anne dan Barra ketika UNO balok yang sedang mereka mainkan jatuh saat Mero berniat mengambil salah satu balok yang tersusun.

Laki-laki berhidung mancung itu nampak kesal karena kalah dalam permainan. Dia sudah tiga kali kalah dan membuatnya harus menerima hukuman.

Barra menunjuk stage di depan mereka, “Lo joget-joget sekarang di sana!”

Hukuman Barra kepada Mero membuat gelak tawa para gadis yang duduk bersama mereka.

“Ada permintaan lain nggak selain bikin malu gue?”

“Gimana, girls?” tanya Barra menatap Anne, Khalis dan Chea secara bergantian.

Khalis mengangkat tangannya, “Terima pesanan salah satu tamu di sini.”

Mero terperangah tak percaya dengan hukuman yang gadis bermata sipit itu, “Lo awas ya kalo kalah!”

Khalis menjulurkan lidahnya kepada Mero.

“Udah pilih mana?” kata Anne.

Mero pun berdiri dan berjalan ke arah panggung. Laki-laki berambut agak ikal itu mulai berjoget tanpa iringan musik membuat para pengunjung dan karyawan Cafe tertawa dengan tingkahnya. Tidak terkecuali hea dan teman-temannya yang ikut tertawa karena puas telah menghukum Mero yang kalah dalam permainan mereka.

“Kael?” celetuk Chea saat melihat Kael berdiri di atas panggung membawa gitar hitam.

Kael meminta Mero menyudahi jogetannya dan meminta turun dari panggung.

Pandangan Chea tidak bisa lepas memandangi Kael yang mulai menyetel gitarnya dan mengatur tinggi stand mic agar sesuai dengan posisi mulutnya.

Kemarin Kael memberitahunya jika selain menjadi tutor dan bekerja sebagai waiters di Restoran, Kael juga sering manggung di Cafe atau Restoran yang mengadakan live musik. Chea menduga bahwa sore ini, Kael sedang melakukan salah satu pekerjaannya itu.

Chea menyunggingkan senyuman ketika dia dan Kael tak sengaja bertemu pandang.

“Lo kenal, Chea?” tanya Anne.

Chea menoleh pada Anne dan dia menjawab dengan menggeleng.

Bukan karena dia tidak ingin Anne dan teman lainnya tahu jika Kael adalah tutornya tapi dia hanya tidak ingin mereka menjadi kepo tentang Kael. Cukup dia saja yang tahu tentang laki-laki yang akan menemani waktu mereka dengan bernyanyi itu.

“Suaranya enak banget di dengerin,” puji Khalis yang nampak terpesona dengan suara Kael saat membawakan lagu milik Band Ungu.

Chea setuju dengan pendapat Khalis. Suara Kael tidak hanya enak di telinga tapi juga membuat ia yang mendengarkan merasa tenang. Chea tidak tahu bahwa laki-laki yang selalu bernada dingin saat berbicara dengannya memiliki suara indah seperti itu.

###

“Dari mana kamu?” suara Ayah menyambut kepulangan Chea.

Chea tidak terkejut dengan kehadiran Ayah sebab dia sudah melihat mobil Ayah parkir di depan rumah.

“Main sama temen.”

Ayah menatap jam dinding, “Sampai jam segini?”

“Ini baru jam delapan, Yah. Belum terlalu malem.”

Padahal biasanya Chea pulang sekitar jam sembilan malam atau bahkan lebih. Tentunya Ayah tidak tahu itu karena sibuk di Rumah Sakit atau ketika pulang, Ayah berpikir dia sudah tidur di dalam kamar.

“Chea, dari pada kamu kluyuran nggak jelas. Mendingan kamu belajar di rumah supaya nilai kamu itu bagus. Bentar lagi kamu akan ujian, kan? Ayah nggak akan tolerir lagi kalo nilai kamu masih tetap jelek atau lebih jelek.”

“Di rumah? Ayah pernah nggak sih mikirin aku gimana kalo di rumah? Aku sendirian, Yah makanya aku milih pergi sama temen-temen aku.”

“Ayah nggak keberatan kamu pergi sama temen-temenmu tapi kamu harus tahu waktu. Kamu udah kelas tiga dan sebentar lagi kamu akan ujian lalu masuk Universitas. Kurangi main kamu, Chea!”

Chea enggan menatap Ayah karena merasa kesal dengan sikap Ayah yang masih belum memahaminya.

“Ayah tahu kamu kesepian. Ayah memang nggak bisa selalu ada buat kamu. Ayah minta maaf. Tapi pekerjaan dokter nggak seperti yang kamu pikirin selama ini. Pekerjaan dokter adalah pekerjaan yang hebat makanya Ayah mau kamu seperti Ayah.”

Chea pun memandang Ayah.

“Kael kasih tahu semuanya sama Ayah. Harusnya, Ayah tanya kenapa nilai kamu bisa turun sedrastis itu bukan malah cari tutor supaya nilai kamu jadi bagus lagi.”

Chea terkejut saat mendengar nama Kael disebut oleh Ayah. Dia tidak menyangka bahwa Kael akan memberitahu Ayah tentang alasannya tidak ingin mengikuti jejak Ayah menjadi dokter.

“Maafin Ayah yang belum bisa ngertiin kamu, Chea.”

Chea menahan nafasnya saat kembali membuang muka dihadapan Ayah. Tentu saja dia lakukan itu karena tidak ingin menangis dihadapan Ayah. Dia menghapus air matanya yang menetes secepat mungkin.

Rasa sesak di dalam diri Chea pun mulai berkurang. Dia mulai bisa bernafas normal lagi.

Makasih, Kael.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status