Share

BAB 4

Chea tidak hentinya bersenandung sepanjang jalan bersama Ayah. Lalu lintas yang macet siang ini tidak membuat suasana hati Chea yang baik menjadi buruk. Dia bahkan tidak peduli jika mobil Ayah sudah diam selama hampir setengah jam di tengah jalan. Suara klankson kendaraan yang terdengar silih berganti pun juga tidak mempegaruhinya.

“Kita mau ke mana?” tanya Ayah.

“Nonton?”

“Ide yang bagus. Ayah udah lama nggak nonton film. Kamu cari jadwalnya dan pesan langsung biar kita nggak usah nunggu waktu lama.”

“Oke, bos.”

Chea membuka website bioskop untuk melihat jadwal film yang akan tayang siang ini, “Horor?”

“Boleh.”

Satu kesamaan Chea dan Ayah adalah mereka menyukai genre film yang sama. Jika tidak film horor, mereka akan menonton film action.

Chea pun lekas memilih film horor yang sudah ingin dia lihat. Memilih jam penayangan lalu membeli tiket untuk mereka berdua.

“Halo, Dokter Cakra,” suara seorang perempuan menyapa Ayah.

Chea tidak melanjutkan untuk memesan tiket bioskop yang hampir selesai prosesnya. Perasaannya mulai tidak enak ketika melihat nama Suster Sasta di layar kecil yang memberitahukan kepadanya siapa yang menelpon Ayah dan menganggu waktu mereka lagi.

“Dokter bisa ke Rumah Sakit? Ada pasien gawat darurat dan harus di operasi segera.”

Chea menurunkan ponselnya setelah menyadari bahwa dia akan gagal pergi dengan Ayah. Dan untuk kesekian kalinya dia kecewa.

“Sa—saya ke sana sekarang,” jawab Ayah tanpa memikirkan perasaannya.

Ayah menepikan mobilnya usai menerima telepon.

Tiba-tiba keheningan menyelimuti keduanya.

“Chea, nonton filmnya hari ini...-”

“Tahu. Aku udah denger tadi. Aku juga belum pesen tiketnya,” potong Chea.

Chea memasukan ponselnya ke ranselnya, “Aku turun di sini aja, Yah. Ayah bisa langsung ke Rumah Sakit,” ucap Chea dan berusaha untuk tetap tersenyum di depan Ayah meski sebenarnya dia merasa kecewa.

Terkadang, Chea lupa diri bahwa Ayah bisa saja membatalkan janjinya meski mereka sudah bertemu. Ayah bahkan pernah meninggalkannya di bioskop sendirian saat mereka sedang menonton film karena mendapat pesan harus kembali ke Rumah Sakit.

“Chea, Ayah minta maaf. Kita pergi lain waktu, ya.”

Ya. Ayah selalu berjanji seperti itu sejak dulu. Tapi tak pernah sekalipun janji itu ditepatinya.

###

“Kael, Ibu minta tolong kamu buang sampahnya, ya,” ucap wanita yang mengenakan celemek ketika Kael masuk ke dalam dapur.

“Iya, Bu.”

Kael melihat dua tas plastik berisikan sampah Restoran yang memiliki tinggi hampir sepinggangnya. Dia lantas menenteng dua tas plastik sampah itu dan membawanya keluar melalui pintu luar Restoran. Bak sampahnya tidak jauh hanya berjarak seratus lima puluh meter dari Restoran.

Kael menepuk dan mengelap kedua tangannya setelah dia menaruh dua tas plastik sampah di depan bak sampah hijau. Tingginya plastik itu membuat tidak bisa masuk ke dalam bak sampai sehingga Kael memilih untuk menaruhnya saja.

Kael berjalan kembali ke Restoran tapi langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang tidak asing untuk Kael. Dia memicingkan matanya agar dapat dengan jelas melihat seorang gadis yang berjalan menunduk di pinggir jalan. Langkahnya nampak lunglai saat berjalan menyusuri trotoar seorang diri.

Kael hanya memperhatikan gadis itu dengan penasaran alasan gadis itu nampak murung siang ini. Chea yang dia lihat jelas berbeda dengan Chea yang kemarin dia temui di Cafe. Raut wajah tengilnya bahkan tidak nampak karena tertutup dengan kesedihan di wajah cantiknya.

Cantik? Kael setuju dengan pendapat temannya jika Chea memang memiliki wajah yang cantik. Wajah asli orang Indonesia. Rambut hitam sebahu yang sering dikuncir dengan poni rambut dijidatnya.

“Duh ... dek, kalo jalan jangan ngelamun!” seorang wanita memperingatkan Chea dengan nada kesal karena Chea tak sengaja menabrak dengan tubuhnya.

Kael segera berlari menghampiri keduanya. Dia menarik Chea mundur agar Chea berdiri di belakangnya.

“Maaf, ya mbak. Dia nggak sengaja,” ucap Kael menggantikan Chea meminta maaf kepada wanita itu.

Wanita itu berdecak kesal dan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan dia dan Chea tanpa ingin memperpanjang masalah.

Kael berbalik menghadap ke Chea, “Kamu mikirin apa sih, Chea sampai nggak fokus gitu?”

Chea hanya menatapnya dengan .... kesal dan membuatnya bingung mengapa Chea menatapnya seperti itu. Jika karena masalah kemarin ...-

“Masalah kemarin saya minta maaf. Saya nggak ...-”

“Kamu kenapa sih muncul dihadapan aku disaat aku kayak gini?” Chea memotong permintaan maafnya yang belum selesai terucap.

Kael menggaruk rambutnya yang tidak gatal karena tidak paham dengan maksud perkataan Chea.

“Kamu liat aku nangis di Restoran. Sekarang aku lagi sedih kamu juga dateng. Kamu seneng mergokin aku lagi sedih atau nangis?”

Kael membuka mulutnya dan lidahnya menyentuh bagian gusi atasnya tanpa ingin menjawab pertanyaan Chea. Membiarkan gadis itu meluapkan perasaannya kepadanya.

“Udah marahnya? Kalo udah boleh saya tahu siapa yang bikin kamu sedih? Apa Ayah kamu lagi?”

###

Chea menutup matanya dengan tangan kanannya. Dia tidak boleh menangis lagi hanya karena pertanyaan Kael itu. Akhir-akhir ini, dia perasaannya lebih sensitif dibandingkan biasanya. Mendengar pertanyaan Kael saja sudah berhasil membuatnya ingin menangis.

Please, berhenti sok peduli sama aku!” pinta Chea. Kini dia sudah berkaca-kaca menahan tangisnya.

Chea tidak suka Kael mulai memperdulikannya karena dengan begitu hatinya akan merasa lunak dan dia akan mulai bersandar pada Kael. Dia tidak suka bersandar dengan orang lain seperti Kael.

Chea melangkah pergi tapi Kael menahan tangannya.

“Kamu mau ke mana? Mau pulang? Saya akan anter kamu pulang. Kamu tunggu di sini dulu.”

Chea melepaskan tangan Kael dengan kasar, “Kenapa aku harus ketemu sama kamu?”

Kenapa baru sekarang kamu dateng?

“Chea.”

Chea memukul dada Kael, “Kenapa disaat seperti ini, aku harus ketemu?!”

Kenapa cuman kamu yang ngertiin perasaanku, Kael?

Kael menahan tangan Chea agar tidak memukulnya. Kael menatapnya dengan intens.

Air mata Chea sudah jatuh membasahi pipinya, “Apa menurutmu, sekarang aku butuh seseorang untuk hibur aku?”

Aku butuh seseorang di deket aku. Please, temenin aku.

Kael tiba-tiba saja menyentuh bagian belakang kepalanya. Kael mendorong pelan kepalanya agar mendekat ke tubuh Kael. Chea bisa mencium aroma parfum Kael yang bercampur dengan bumbu dapur.

Aneh. Dia merasa mulai tenang ketika berada dalam pelukan Kael.

Berpelukan? Tidak. Mereka sedang tidak berpelukan sekarang. Kael hanya menaruh kepalanya ke tubuh Kael. Kael juga tidak mendekap kedua tangannya agar tubuh mungil Chea tetap berada pelukannya. Meski begitu. Dia merasa nyaman berada dalam tubuh kael.

Chea akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh jari telunjuk tangan kanan Kael. Dia ingin menahan agar posisi mereka seperti ini.

“Tiga menit. Saya akan kasih waktu tiga menit untuk kita seperti ini.”

###

Chea menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tidurnya. Dia masih memikirkan kejadian sore tadi bersama Kael. Cara Kael memperlakukannya dan membuat perasaannya nyaman membuat Chea tersentuh. Chea memegangi dadanya yang masih saja berdebar meski dia sudah berada di dalam kamarnya dan tidak bersama Kael. Chea berguling untuk mengubah posisinya menjadi tengkurap. Dia membenamkan wajahnya di ranjang tidurnya. Megingat peristiwa itu membuat dia merasa malu.

Suara ketukan pintu kamar Chea terdengar.

“Chea, kamu udah tidur?” suara Ayah dari balik pintu putih.

Chea melihat jam digital yang berada di meja putih samping tempat tidurnya. Pukul 19.33 dan Ayah sudah pulang padahal Ayah sempat bilang jika hari ini Ayah memiliki shift malam di Rumah Sakit.

Chea beranjak dari tempat tidur dan berjalan untuk membukakan pintu. Dia hanya keluar setengah badan.

“Kenapa, Yah?”

“Kamu udah makan? Ayah udah beli makan malam buatmu. Kita makan sama-sama.”

“Ayah aja. Aku udah makan.”

Chea berbohong. Dia belum makan sama sekali tapi dia masih enggan bertemu dengan Ayah. Dia tidak ingin suasana hatinya sudah membaik menjadi buruk lagi sebab dia masih marah dan kecewa terhadap Ayah.

“Oh ... gitu.”

“Ayah bukannya harus di Rumah Sakit sekarang?”

“Ayah izin untuk pulang sebentar untuk ganti baju dan niatnya makan sama kamu.”

Chea hanya membulatkan mulutnya, “Aku mau tidur. Kalo Ayah balik ke Rumah Sakit lagi, hati-hati.”

Chea lekas menutup pintu.

Dia juga tidak ingin bersikap dingin kepada Ayah sebab hanya Ayah yang dia punya. Tapi, Chea tidak bisa menutupi perasaannya yang kecewa jika Ayah lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan dirinya. Chea tahu sudah menjadi tugas dokter untuk ada saat keadaan darurat di Rumah Sakit tapi selain menjadi dokter, Ayah juga seorang Ayah untuk dirinya yang masih butuh keberadaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status