Share

BAB 3

Secangkir latte panas tidak pernah absen menemani Kael yang sedang menunggu Chea datang. Dia datang sepuluh menit lebih awal dari kesepakatan mereka. Sesuai permintaan Chea, mereka memilih melakukan les di luar rumah. Gadis itu menjelaskan bahwa dia akan sulit berkonsentrasi jika sewaktu-waktu Pak Cakra pulang dan ikut mengawasinya.

Waktu berlalu begitu cepat ketika Kael sibuk membaca buku. Sudah pukul dua siang tepat. Kael memandang ke arah pintu berharap gadis itu tidak terlambat meski sebenarnya Chea yang akan dirugikan jika dirinya yang terlambat.

Senyum Kael muncul ketika mendapati Chea turun dari taksi biru. Chea yang berdiri tepat dihadapannya yang berbatas dengan jendela nampak kesal begitu melihat wajahnya yang nampak senang.

Tentu saja Kael merasa senang sebab dia berhasil membuat Chea menurut kepadanya karena kesepakatan yang dia buat. Setidaknya, satu kendala menjadi tutor gadis itu berhasil ditanganinya.

Chea menyeringai saat menghampirinya, “Disiplin banget sih.”

Chea duduk di samping Kael. Melepaskan tas ransel dari tubuhnya dan menaruhnya di kursi kosong di sampingnya.

“Kita mulai, ya?”

“Kael.” Chea menggaruk satu alisnya, “Masalah kemarin, kamu cukup diem aja dan jangan kasih tahu Ayahku!” ucap Chea.

Kael mengangguk karena sebenarnya dia juga tidak ingin terlibat dalam masalah keluarga Chea. Kael menyadari sesuatu hal, “Saya lebih tua tiga tahun dari kamu. Bukannya seharusnya kamu panggil saya dengan sebutan Kak?”

Chea tersenyum sinis, “Kak? Sejak kapan aku jad adik kamu?”

“Chea, saya tutor kamu. Udah sepantasnya kamu hormati saya.”

Chea memberi hormat dengan tangannya, “Gini?”

Kael menunduk untuk mengendalikan dirinya. Kesabarannya benar-benar diuji oleh gadis ini, “Oke. Terserah kamu mau panggil saya apa. Kita mulai pelajarannya. Kamu ada tugas sekolah yang harus dikerjain?”

Chea menatapnya dengan kesal. Ya. Tentu saja gadis itu kesal kepadanya karena mungkin dia satu-satunya tutor yang bisa membuat dia datang untuk belajar.

Chea mengambil tasnya. Dia membuka isi tasnya dan mengeluarkan buku pelajarannya kemudian menaruhnya dengan kasar. Kael melirik sekitarnya saat merasakan bahwa beberapa pengunjung Cafe sedang memandang ke arah mereka karena perilaku Chea yang menganggu ketenangan.

Sabar, Kael. Sabar.

###

Chea menghela nafas ketika sudah melewatkan waktu sembilan puluh menit yang menyebalkan hari ini. Mendegarkan Kael menjelaskan materi pelajaran dan mengerjakan tugas sekolahnya. Chea akui, Kael tidak seperti tutor lainnya yang mudah menyerah atau mudah terbujuk dengan kesepakatan konyolnya. Entah di mana Ayah mendapatkan tutor menyebalkan macam Kael ini.

“Kamu bisa ulangin di rumah...-”

“Nggak akan!” potong Chea saat membereskan buku-bukunya.

“Kalo ada kesulitan kamu bisa tanya saya...-”

“Jangan ngarep itu ngak akan kejadian!” Chea memotong pembicaraan Kael lagi.

Chea menatap Kael dengan kesal. Sejak awal pertemuan mereka, Kael sudah membuatnya kesal. Ya kecuali kemarin malam. Saat Kael datang untuk menghiburnya dan bahkan mengantarkannya pulang. Tapi, tetap saja dia benci dengan Kael dan berharap bisa membuat Kael berheti menjadi tutornya.

“Buat kamu.” Kael meletakkan paper bag hijau muda yang memiliki motif boneka dengan pita putih yang menempel pada tutupnya di atas meja.

Chea memandang paper bag dan Kael secara bergantian.

Tiba-tiba aja kasih hadiah?

“Kamu ulang tahun kemarin. Saya cuman bersikap baik sebagai tutor kamu,” ucapnya dengan nada dingin.

Chea menerima hadiah itu dengan ragu, “Nggak perlu repot-repot sih.” Dia membuka paper bag dan mengambil hadiah di dalamnya.

Gantungan kunci kaktus. Hadiahnya memang tidak mewah bahkan ini kali pertama dia mendapatkan hadiah sesederhana itu seumuran hidupnya. Tapi anehnya, hadiah sederhana itu membuat dirinya tersentuh. Dia bisa merasakan ketulusan Kael dari gantungan kunci itu.

“Saya duluan.” Kael beranjak dari duduknya.

Chea menahan tangan Kael agar tidak pergi, “Hujan.” Tangan lainnya menunjuk ke jendela yang memperlihatkan keadaan luar yang diguyur hujan.

Chea kembali menatap Kael yang kini sedang melihat tangan Chea menggenggam tangan Kael. Chea lantas melepaskan tangan Kael.

Bego! Ngapain gue pegang tangan dia sih?!

“Di sini aja dulu. Nggak bawa payung kan?” ucap Chea menahan Kael akan menemaninya sebentar dengan menjadikan hujan sebagai alasannya.

Chea mengangkat tangannya, “Mas!” Dia memanggil salah satu waiters.

“Kita makan aja ya. Belajar bikin perutku laper.” Chea memegangi perutnya yang mulai lapar.

Chea mulai membuka buku menunya, “Nasi goreng seafood satu sama lemon tea dingin satu. Kamu mau pesen apa, Kael?”

Latte hangat aja, Mas.”

“Kamu nggak makan?”

Kael menggeleng.

“Aku yang traktir sebagai ucapan terima kasih karena kemarin udah anterin aku ke rumah dan kadonya.”

“Itu aja, Mas.” Kael tetap enggan memesan makanan.

Chea menghela nafas frustasi. Dia hanya ingin makan dengan Kael agar memiliki teman untuk makan. Tapi, apa boleh buat? Kael yang tidak ingin memesan makanan dan paling tidak, dia tidak duduk sendirian di meja makan.

Dia memang paling tidak suka makan sendirian sehingga Chea jarang makan di rumah. Saat ingin makan, Chea selalu pergi ke tempat makan. Setidaknya, dia tidak terlalu kesepian jika makan di tempat umum meskipun datang sendirian. Mengajak Kael makan bersamanya memang hanya sebagai alasan saja. Dia tidak ingin Kael tahu bahwa dia merasa kesepian dan butuh teman untuk menemaninya makan.

###

Kael memandang jam tangannya dengan gusar. Dia sudah melakukan hal yang sama empat kali dalam waktu lima belas menit. Minumannya sudah diantarkan bersama minuman Chea tapi tidak dengan nasi goreg yang Chea pesan. Nampaknya, pembuatan nasi goreng membutuhkan waktu yang lama. Waktu luang Kael hanya tersisa sekitar setengah jam lagi sebelum dia kembali bekerja di Restoran milik Bu Nur. Perjalanan ke Restoran membutuhkan waktu sekitar lima belas menit itupun jika dia tidak harus menunggu lama busway-nya.

“Kamu mau pergi, Kael?”

Kael menoleh, “Ng—ngak.”

“Pergi aja lagi. Udah sering kok makan sendirian.”

Kael kembali menatap Chea yang sibuk dengan makanannya.

Dia memang bisa saja pergi meninggalkan Chea. Toh, hujan juga sudah reda tapi hati kecilnya memilih untuk tinggal. Tidak tega rasanya meninggalkan gadis itu sendirian di Cafe. Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan, Kael merasa bahwa Chea sedang kesepian sehingga dia tidak bisa membiarkan Chea sendirian.

Pesanan Chea akhirnya datang juga. Gadis itu mulai menyantap nasi goreng seafood yang dia pesan lima belas menit lalu.

“Kesepakatan apa yang kamu sama Ayahku sepakati sampai kamu tolak tawaran aku kemarin?” tanya Chea

“Kamu mau bantu saya untuk wujudin kesepekatan itu?” Kael tentu tak akan memberitahukannya.

Chea tersenyum miring, “Jangan mimpi!”

“Pak Cakra sempat cerita kalo kamu dulu termasuk anak berprestasi tapi nilai kamu langsung turun drastis saat kenaikan kelas tiga. Saya pikir tentu ada alasan dibalik ini,” celetuk Kael ingin mengetahui yang terjadi dengan Chea.

Jika ingin membuat nilai Chea meningkat, Kael harus mengetahui penyebab mantan murid pintar itu menjadi merosot drastis nilainya.

Keduanya beradu pandangan.

“Kamu lakuin ini supaya kamu nggak dipaksa untuk masuk ke Kedokteran kan?” tebak Kael setelah mendengar cerita Chea semalam.

Chea mengalihkan pandangannya. Matanya berkedip berulang kali.

“Udah sempet kamu omongin ke Pak Cakra kalo kamu nggak mau untuk kuliah Kedokteran?” Melihat rekasi Chea sepertinya memang benar.

Chea enggan masih menjawab pertanyaannya dan memilih untuk menikmati makannya.

“Nggak ada salahnya kamu bilang apa yang kamu mau ke Ayah kamu. Saya rasa Pak Cakra akan mengerti.”

Chea meletakkan dengan kasar sendok dan garpunya. Kael terkejut dengan kelakuan Chea. Chea menatapnya dengan tatapan kesal.

“Kamu itu selain nyebelin. Suka banget ya ikut campur sama urusan orang lain. Nyesel tahu nggak minta kamu tetep di sini untuk nemenin makan. Bikin nggak nafsu makan aja.”

Gadis itu lantas mengambil tasnya dan berlalu pergi. Tidak ada yang Kael lakukan selain menyaksikan Chea yang mulai menjauh dari tempatnya berada. Kael menghela nafas panjang. Niatnya hanya ingin membantu Chea tidak ada maksud lain. Terkadang niat baik belum tentu baik untuk orang lain. Dan itu berlaku untuk niat baiknya kepada Chea.

###

Kepulangan Chea disambut dengan sebuah kardus sepatu di atas meja ruang tamu. Ayah memang bukan tipe pria romantis yang suka memberikan kejutan baik untuk dirinya atau saat Ibu masih hidup. Tapi dia tidak menyangka jika Ayah tidak membungkus kardus sepatu itu dengan kertas kado atau paling tidak memberikan pita agar nampak spesial saat Chea melihatnya.

Chea menangkat satu alisnya saat melihat sepatu kets merah yang sudah menjadi keinginannya sejak sebulan lalu. Entah dari mana Ayah mengetahui sepatu yang sedang dia inginkan. Ukuran sepatu itu juga pas untuknya. Dia tidak menyangka jika Ayah tahu juga ukuran sepatunya.

Ponsel Chea berdering. Telepon dari Ayah.

“Kamu udah pulang?” tanya Ayah diseberang telepon.

 “Udah. Makasih kadonya, Yah.”

“Kamu suka?”

“Tentu dong. Ini kan sepatu yang aku pengen tapi Ayah tahu dari mana kalo aku lagi pengen sepatu ini?”

“Tante kamu yang kasih tahu Ayah. Kamu ada waktu besok?”

“Ada. Kenapa emangnya?”

“Kita pergi ya sebagai gantiin makan malam yang batal. Ayah akan jemput kamu di sekolah.”

“Ayah nggak di Rumah Sakit?”

“Ayah masuk malam jadi bisa pergi sama kamu. Mau kan?”

“Iya, aku bisa kok.”

Semoga besok nggak batal lagi.

Chea tidak yakin jika Ayah akan menepati janjinya. Chea teringat dengan gantungan kunci pemberian Kael. Dia mengeluarkan gantungan kunci itu. Chea menjatuhkan tubuhnya ke sandaran sofa. Mengangkat tangannya yang memegang gantungan kunci pemberian Kael. Meski Kael adalah laki-laki menyebalkan yang mulai mencampuri urusan pribadinya tapi dia tahu jika Kael adalah laki-laki yang penuh perhatian.

“Aku kelewatan nggak, ya?”

Chea teringat bagaimana perilaku dan ucapannya pada Kael sore tadi. Chea memukul keningnya. Dia merasa menyesal telah melakukan itu kepada Kael.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status