All Chapters of Istri Dadakan si Dosen Tampan: Chapter 1 - Chapter 10
140 Chapters
Part 1 - Kata Keramat
“Apa proposalmu sudah dicek dengan teliti sebelum diserahkan ke saya, Asha?” ucap pria di depanku dingin sembari mencoret-coret lembaran-lembaran proposal yang kukerjakan setengah mati. Oh, Tuhan! Ini sudah kesekian kali bimbingan proposal untuk revisi, tapi tampaknya masih juga aku harus bertempur dengan revisian yang tiada habisnya.Bermula dari penyusunan, isi materi, sampai tanda baca titik koma–tak luput dari perhatian dosen pembimbing yang tidak pernah salah ini.Kalau penyusunan proposal saja bebannya sudah seberat dosa, bakalan seperti apa nanti di tahap olah datanya? “Kau ini niat kuliah tidak?” ucap Pak Ezar lagi yang menyadarkanku dari lamunan.“I—ya, Pak,” jawabku ragu, tak berani menatap wajah dosen muda itu. Brak!Pak Ezar tiba-tiba menghempaskan tumpukan kertas itu tepat di hadapanku. “Tapi, kenapa untuk menyelesaikan proposal seperti ini saja sulit?! Saya ‘kan sudah bilang cantumkan sumber teori, tapi ini masih ada yang belum dicantumkan. Saya juga cek kamu tidak
Read more
Part 2 - Tak Disangka-Sangka
Bodo amat dikira stress sama mereka. Toh, aku memang sudah hampir gila gara-gara dosen sialan itu. Pak Ezar benar-benar tak punya hati. Padahal, dia sendiri yang janji hari ini. Tapi, malah membatalkan dengan alasan urusan pribadinya. Sepenting apa memang urusannya? Dipikir aku juga tidak punya urusan apa? Aku sampai mengambil libur lebih awal demi bertemu dengannya. Tapi, nyatanya apa? Dosen PHP. Omongannya pedas dan lurus, tapi tidak bisa dipercaya. Tak habis thinking dengan Pak Ezar yang menentukan dan membatalkan janji seenak udelnya. “Gue sumpahin, dosen sialan itu jodohnya jauh,” ucapku kesal. Sadar tak ada yang bisa dilakukan, kupilih tetap keluar dari kos dan menuju rumah saja. ***** “Assalamualaikum,” ucapku yang langsung masuk rumah karena pintunya tak tertutup. Hanya saja, tak ada satu pun yang menjawab. ‘Ke mana perginya orang rumah?’ batinku bingung. Biasanya, mereka akan menyambut di teras kalau tahu aku akan datang. Apa mungkin mereka sedang sibuk berkutat d
Read more
Part 3 - Tak Mau
Buru-buru aku bangkit dari posisi tengkurap. Berlari cepat ke luar kamar dengan niat menemui Ibu. “Ibu!” teriakku. “Apa, Neng?” tanyanya dari arah dapur. Aku menghampirinya dan menggenggam lengannya erat-erat seakan butuh pertolongan. “Bu, aku ... Neng gak mau nikah sama orang itu,” ucapku cepat. “Ibu boleh deh cari calon lain, Neng bakal terima. Asal tidak dengan dia.” “Pliss, Bu. Neng gak mau.” “Kenapa, Neng? Kemarin bilang mau?” Ibu bertanya dengan santainya. “Iya, tapi kemarin Neng belum tau orangnya. Bu, batalkan aja, ya.” Sengaja, aku menyipitkan mata penuh permohonan. Berharap empati dan sedikit iba dari Ibu. “Oh sekarang udah lihat? Tampan kan orangnya? Dari foto aja keliatan perkasa begitu, apalagi aslinya. Percaya sama Ibu, Neng akan bahagia bersamanya.” “Ibu apa-apaan sih, ah.” Aku menggerutu sebal. Ini bagaimana konsepnya? Apa hubungannya foto sama perkasa? “Gak ada pembatalan,” pungkas Ibu. “Pernikahan bukan barang orderan.” Detik kemudian, suara deru kendaraa
Read more
Part 4 - Galak!
Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku. Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya. Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman. Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah. Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi. Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit. “Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.” Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik. Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak. Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami a
Read more
Part 5 - Malam Pertama
Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka. Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk. Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang. “Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan. “Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya. ‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’ “Cepetan buka!” “Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa. Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya. Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan
Read more
Part 6 - Jadi Istri Orang
Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri
Read more
Part 7 - Nge-date?
Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me
Read more
Part 8 - Tiga Serangkai
Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
Read more
Part 9 - Nafkah?
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Read more
Part 10 - Jalangkung
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status